Psikologi

Naik sepeda

Ahmad baru saja memulai tahun pertama kuliah di Yogyakarta. Bahasa jawanya masih nol besar, hanya tahu satu dua kata sederhana dalam bahasa Jawa. Ahmad senang berpetualang, sore2 Ahmad suka bersepeda-ria keliling kampung2 sekitar tempat kost nya.
Karena masih baru, tak heran beberapa kali Ahmad tersesat; tapi ia memegang prinsip “malu bertanya tersesat di pengkolan…” Jadi setiap kali bingung, ia bertanya kepada penduduk setempat. Coba bayangkan, ketika Ahmad kebingungan menemukan arah jalan pulang, seorang bapak tua yang ia tanyai manggut-manggut dengan penuh semangat memberikan petunjuk:
“Sampeyan jalan terus mawon arah ngalor, mangke wonten protelon, nah…sampeyan menggok ngetan, terus bablas…mboten menggok-menggok nganti sampeyan nemu wit ringin gedhe sisih tengen dalan, trus sampeyan njupuk arah ngidul, bablas nganti nemu dalan aspal gedhe. Sampeyan pilih dalan sing mudhun, ojo njupuk sing munggah…. Ora nganthi sepuluh menit pasti tekan ngarep omahmu…”
Ahmad “manggut-manggut” sok ngerti. Padahal dalam hati ia mengumpat2 diri sendiri karena tidak bawa kamus bahasa Jawa! Masalahnya Ahmad sangat minim dalam membaca arah mata angin dan sama sekali tidak tahu artinya “ngetan, ngulon, ngidul…”

 

Kata2 yang Ahmad tahu artinya cuma “wit ringin” – Ahmad tahu maksudnya pohon beringin. Selebihnya….amit amit. Iya kalau pohon beringinnya masih ada di situ. Lha kalau sudah ditebang?
Ketika di kesempatan lain tersesat lagi, Ahmad bertanya pada seorang wanita muda yang juga sedang bersepeda.

 

Gadis cantik itu berpikir sejenak lalu menanyakan beberapa hal untuk memastikan bahwa ia tahu persis tujuan yang ditanyakan Ahmad. Akhirnya ia mengatakan: “Mas ngikutin saya saja, kebetulan saya mau ke rumah si-Mbah saya dan melewati rumah yang mas tuju; nanti kalau sudah sampai tempatnya saya kasih tahu…”
Untuk Ahmad yang masih awam, gadis yang baik itu menjadi “jalan” baginya. Ia bukan hanya penunjuk jalan seperti si bapak tua; ia sendiri adalah “jalan” bagi si Ahmad, sehingga melaluinya, Ahmad bisa sampai ke tempat yang ingin dituju.
Hendaknya hidupmu bukan hanya menjadi “penunjuk jalan”, tetapi menjadi “Jalan” itu sendiri; sehingga melaluimu, orang lain bisa berjalan searah denganmu untuk mencapai tujuannya sendiri. Dan hendaknya jalanmu menjadi jalan yang menuju pada kebenaran, bukan kesesatan, yang memberi terang, bukan kegelapan dan kekacauan, yang menuju pada hidup, bukan kematian.
Untuk menjadi jalan, tidak ada kemungkinan lain yang terbaik kecuali membuat hidupmu sendiri dikenali, dipahami, dimengerti, dan dicintai orang lain. (Justinus Darmono)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close