Psikologi

Estetika dari Timur

(BATIK MOTIF POLENG)-Batik dengan motif poleng berasal dari “agemannya”, atau busana Sang Werkudara, tokoh pewayangan ”Panenggaking Pandhawa ” atau pelindung dari keempat saudaranya yang dikenal Pandawa Lima. Puntadewa, Werkudara, Harjuna, Nakula, dan Sadewa. Motif Poleng pada dasarnya terdiri atas 2 (dua) warna, yakni hitam dan putih.

Ini dipakai Werkudara muda yang acap disebut Bimasena. Hitam-putih melambangkan Sang Bimasena berkarakter kokoh. Yang buruk dikatakan buruk, yang baik dikatakan baik. Sifat dan watak itu menjadi landasan menjalankan dharma, atau kuwajiban hidup berupa menegakkan kebenaran, memberantas angkara murka, melindungi rakyatnya.

Keteguhan seperti itulah yang mendorong Sang Bimasena berproses bertemu Sanghyang Nawaruci atau Sang Marbudyèngrat. Di dalam pertemuannya di tengah samudera luas, menjelaskan apa yang tengah dicari Sang Bimasena yaitu Banyu Suci Perwitasari atau Tirta Mahapawitra.

Setelah Sang Bimasena memahami maknawiyah Tirta Mahapawitra, maka kain dodot poleng yang tadinya 2 warna : hitam dan putih, lalu ia boleh mengenakan dodot poleng yang terdiri 5 warna, yang acap disebut kain Bang Bintulu Aji, yang, terdiri atas warna: merah, hitam, kuning, dan putih.

Akan tetapi, makna poleng sebagai busananya Sang Werkudara tidak bisa dipisahkan dengan busana lain. Ia merupakan kesatuan yang menjadi cermin utuh bagi Sang Werkudara. TENTANG MAKNA POLENG Empat warna poleng merupakan simbol dari sedulur papat.

Ketika manusia dilahirkan kedunia, Tuhan menyertainya, menyiapkan 4 saudara yang bisa kita mintai tolong tanpa kita bayar. Yaitu: bumi, api, angin, dan air. Bumi lambang kekuatan dan sekaligus sifat dermawan. Ia siap memberi apa saja yang dikandungnya atau yang tumbuh di atasnya untuk keperluan seluruh makhluk hidup, tanpa kecuali.

Api adalah lambang enerji, sifatnya menyempurnakan segala yang belum sempurna, agar memiliki daya yang lebih luhur. Dalam kehidupan sehari-hari, api berdaya guna melahirkan enerji untuk keperluan apa saja. Misal menjalankan mesin, memasak, dan juga membakar benda2 yang buruk agar jadi bersih.

Angin adalah simbol kecepatan. Kecepatan dan ketepatan bertindak perlu dimiliki setiap insan, karena disana ada hukum alam yang apabila dilanggar akan menjadi bencana bagi manusia. Angin, juga menjadi ruh kehidupan. Ia akan mengisi ruang-ruang kosong dengan daya hidup yang dimilikinya. Sebab, tanpa angin, segala sesuatu akan berhenti bernafas alias mati.

Air adalah simbol intelektualisas. Oleh karena Tirta Mahapawitra itu yang dicari Sang Bimasena, maka air merupakan sumberdaya hidup, karena intelektualitas itu merupakan sumber daya hidup. Intelektualitas itulah yang menempa, membentuk, dan memproses seseorang agar menemukan jatidirinya sebagi sumber petunjuk hidup.

Dalam pemaknaan lebih lengkap, air simbol intelektualitas memiliki beberapa intisari. Air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Artinya: rendah hati, penuh perhatian kepada sesama manusia terutama yang berada di bawahnya, tidak melihat ukuran selera yang berada di atasnya, tidak berprasangka, tidak takabur, dan tidak menyombongkan diri.

Air selalu menjaga alirannya agar tidak tertahan. Dibendung akan naik, dihalangi akan pindah, dipukul akan menghindar. Artinya, selalu menjaga diri agar tidak berbenturan dengan orang lain: baik dalam bentuk berselisih ucap, berselisih fikir, apalagi berbenturan fisik.

Air bisa berubah bentuk sesuai iklimnya. Panas, menguap – dingin, menjadi es. Maknanya, mampu menyesuaikan dan menempatkan diri dalam segala keadaan dan masalah yang dihadapi. Air, bisa digunakan sebagai alat ukur, water pass dalam ilmu bangunan, air ketinggiannya selalu sama, bermakna memelihara hubungan dan menghormati sesama.

Air adalah satu faktor utama untuk menumbuhkan. Selalu menumbuhkan dan memberi dorongan yang positif. Air juga pandai beradaptasi. Di dalam butir kelapa bernama air kelapa, di sungai disebut air sungai, di laut disebut air laut, di danau – air danau, di sawah – air sawah. Mengandung arti mampu menyesuaikan dimanapun ia berada.

Air adalah anasir paling dekat dengan kehidupan manusia dimanapun berada. MAKNA WARNA DALAM MOTIF POLENG Hitam, merupakan perlambang kekuatan. Sang pemilik kekuatan selalu memiliki watak, perkasa, mudah marah dan tersinggung, serta berwatak berangasan. Bila dibiarkan, akan menghalangi perbuatan keutamaan.

Merah bermakna tabiat penuduh, hatinya mudah panas, dan selalu mengajak perselisihan. Jika dibiarkan, akan menutupi kewaspadaan . Kuning, sebagai lambang birahi. Birahi disini bukan hanya birahi dalam hal seksualitas, tetapi juga dalam hal kepemilikan harta benda, jabatan, dan kekuasaan. Putih, menuntun ke arah hidup suci.

Mumpuni didalam olah spiritualitas dan mampu menerima ilmu ma’rifat dari Sang Maha Pencipta. POLENG SEBAGAI INSPIRASI MENYEMPURNAKAN HIDUP PEMAKAINYA Dalam kehidupan di dunia fana ini, manusia selalu berusaha hidup dalam tatanan dan hukum2 yang disebut: kedaulatan akal pikiran, kedaulatan alam semesta, dan kedaulatan illahi.

Kedaulatan akal pikiran bermakna, manusia harus menggunakan akal pikirannya se-mata2 mengubah benda2 alam menjadi benda-benda budaya. Kedaulatan alam berupa hukum tabur tuai yang tidak bisa ditawar. Siapa yang melanggar hukum alam, maka ia akan terkena akibatnya. Apa yang dituai – berasal dari apa yang ditabur.

Kedaulatan illahi, adalah kekuasaan mutlak yang disebut takdir, dimana orang yang sudah mencapai puncak religiusitasnya, akan mampu menguraikan takdirnya sendiri. Untuk itu, manusia harus belajar mati di dalam hidup. Untuk apa? Untuk menjadi manusia yang purba diri. Sebab, dalam khasanah hidup spiritual ada disebut 3 jenis manusia.

Kaum berilmu, terhalang karena keluasan ilmunya. Ia tidak bisa bertemu kepada Sang Pencipta, justru karena sangat kaya dengan ilmu. Orang yang ilmunya sangat luas selalu cenderung mengedepankan ilmunya agar supaya dipandang sebagai orang yang pandai. Artinya ia lebih mengutamakan ilmunya daripada Tuhannya. Para ahli hukum, tak mampu menembus karena kehalusan hikmahnya.

Orang yang sudah tuntas mempelajari hukum, setiap keputusan selalu ditimbang hingga seadil dan sebijaksana mungkin. Akibatnya ia menempatkan diri sebagai sang adil dan yang bijaksana itu sendiri. Akhirnya ia mengesampingkan Sang Maha Adil dan Sang Maha Bijaksana. Yang tidak terhalang hanya orang-orang arif, sebab ia menempatkan hatinya dalam cahaya cinta kasih Illahi.

Jika sedang tidak diperlukan. Oleh Tuhan ia diletakkan pada kedudukan diatas segala kedudukan. Jika Allah perlu, ia akan diterjunkan kedalam masyarakat, dengan membawa cinta kasih, kehormatan, dan kebahagiaan. Untuk sampai ke tataran arif, maka manusia bisa belajar mati di dalam hidup. Adapun tataran latihan mati di dalam hidup itu ada 4:

Kematian putih, berkaitan laku menahan amarah dan menghindari dendam dalam diri. Kematian merah, bertalian laku kesuhudan yaitu, laku pasrah melalui sabar, tawakhal, dan ikhlas, serta menjalani hidup moderat, maju meningkat tahap demi tahap. Kematian hijau, berhubungan laku menanggalkan seluruh perhiasan lahiriah dan mulai mengenakan pakian bathiniah berupa akhlak yang mulia.

Kematian hitam, adalah berupa laku tidak lagi mementingkan diri sendiri, yaitu berupa laku kasih sayang kepada seluruh ciptaan, meskipun mereka tidak tahu membalas budi, bahkan mungkin malah memusuhi kita. (George Sudarsono Esthu; http://www.kompasiana.com/soedarsonoesthu/estetika-dari-timur_570dd812587b6117055f459c)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Lihat Juga
Close
Back to top button
Close
Close