Selingan

Antara Kwetiau Ipoh – Mi Tarik Lanzhou

(#-Oleh_Dahlan_Iskan); CARILAH mi sampai ke Lanzhou. Dan carilah kwetiau sampai Ipoh.

Alhamdulillah, dalam 1 minggu saya dapat dua2nya. Ke Ipoh dulu. Lalu ke Lanzhou seminggu kemudian. Saya harus ke dekat2 Ipoh, tepatnya ke Universiti Utara Malaysia (UUM), di Negara Bagian Kedah.

 

Biasa Ceramah. Di universitas dengan 30.000 mahasiswa yang didirikan Dr Mahathir Mohamad 30 tahun lalu. Hanya itu yang beda. Selebihnya, tidak merasakan saya lagi di negara bagian dengan pemerintahan partai Islam. Saya lihat, ada beberapa gereja mencolok. Lebih banyak lagi bangunan kelenteng. Dengan suku Tionghoa-nya. Dengan toko2 bertulisan huruf Mandarin-nya yang gemuruh.

Patung Buddha Tidur terbesar di Asia Tenggara ada di Kelantan ini. Perdagangan di Kota Bharu sangat ramai. Ternyata penduduk Kelantan dikenal terbesar jiwa dagangnya. Terutama perempuannya. ”Orang Kelantan itu seperti orang Padang,” ujar Pak Chairul, pengusaha besar di Kuala Lumpur yang asli Minang.

Tidak ada dominasi perusahaan besar di Kelantan. UKM yang maju. Itu terkait dengan kebijakan unik di bidang agraria. Yang hanya berlaku di Kelantan. Soal kepemilikan tanah. Hanya Kelantan yang memiliki hukum ini: Orang yang tidak lahir di Kelantan tidak boleh beli tanah di Kelantan.

Beristri orang Kelantan pun belum dianggap sebagai orang Kelantan. Beli tanah masih harus atas nama sang istri. Sebaliknya, warga Tionghoa pun diperlakukan sama. Begitu lahir di Kelantan, dianggap orang Kelantan.

Sebelum subuh, saya pergi ke masjid. Saya cari yang terdekat. Itu saya ketahui dari pengeras suara.
Ternyata saya kesasar. Suara itu memantul karena dinding hotel. Seperti dari arah yang berbeda. Subuhannya pun tidak beda dengan yang ada di masjid2 ahli sunah kita. Lalu, saya ikuti kuliah subuhnya.
Satu jam lebih. Sampai matahari sudah agak tinggi. Dan saya tidak mengerti sama sekali. Bahasa Melayu-nya sangat berbeda. Kalaupun saya tahu apa saja topik kuliah panjangnya, itu karena si penceramah banyak mengutip ayat Alquran. Yang saya tahu apa artinya.

Dari Kota Bharu tidak banyak pilihan. Ke mana-mana jauh. Balik ke Kedah jauh. Harus muter Thailand lagi. Padahal, saya harus ke Ipoh. Dan tiket saya berikutnya ke Lanzhou. Itu membuat saya harus ke Hongkong lewat Penang.

Ya sudah. Sama-sama muter, sekalian ke Kuala Terengganu, ibu kota Negara Bagian Terengganu. Naik bus umum. Lima jam. Sekalian ingin tahu sistem angkutan umumnya. Lalu ke Kuantan, ibu kota Negara Bagian Pahang. Lima jam.

Lagi. Sekalian biar tuntas: menjelajah semua negara bagian di Malaysia. Memang tinggal Terengganu, Pahang, dan Perak yang belum saya injak. Sabah, Sarawak, Johor, Melaka, Negeri Sembilan, Perlis, dan Selangor sudah pernah.

Dari Pahang, mendadak ada acara rapat di Kuala Lumpur. Dengan orang-orang bank di sana. Berarti bisa ke Ipoh dari Kuala Lumpur. Tinggal dua jam lagi. Naik mobil. Maka, setelah rapat-rapat di Kuala Lumpur, saya pun ke Ipoh, ibu kota Negara Bagian Perak.
Itulah negara bagian yang zaman dulu dikenal pusat produksi perak dunia. Ada satu SMA terkenal di Kuala Kangsar. Di sini sultan Perak beristana. Saya mengunjungi SMA itu. Yang melahirkan banyak tokoh Malaysia. Termasuk mantan Wakil PM Dr Anwar Ibrahim. Dan yang satu ini pula: Dr Ir Azahari yang tewas di Malang saat Densus 88 menyergap rumah kontrakannya.

Malamnya, saya baru benar2 ke Kota Ipoh. Langsung ke Pecenongan-nya Ipoh. Puluhan resto berjualan menu yang sama. Kwetiau. Dengan meja2 sampai meluap ke perempatan. Bukan main meriahnya. Dan lahapnya. Semua makan kwetiau. Dan ayam garam. Dan ceker ayam. Dan murah. Di Malaysia makanan lebih murah dari Indonesia.

Ternyata kampus UUM itu praktis nempel di perbatasan Malaysia dengan Thailand. Begitu selesai acara di UUM, muncullah keinginan untuk nyeberang. Padahal, seharusnya bisa ke Ipoh. Makan kwetiau. Tapi, ke Ipoh bisa belakangan.

Saya begitu ingin ke Pattani. Wilayah terselatan Thailand itu, Sejak masih jadi wartawan. Ingin meliput pergolakan di sana. Biarpun kini lebih aman, saya tetap ingin tahu Pattani. Yang mayoritas penduduknya Islam. Yang kebanyakan perempuannya berkerudung. Yang budayanya Melayu. Yang sering bergolak karena ingin merdeka.

Ternyata betul. Kawasan itu sangat Melayu. Sulit cari pathay, masakan Thailand yang saya sukai. Dua kali masuk resto, selalu masakan Melayu. Hanya, ada rasa kecut Thailand-nya. Ketika saya tanya kenapa tidak ada menu pathay, dijawab tidak ada yang suplai minya. Rakyat bicara bahasa Thai, tapi mengerti bahasa Melayu.

Di Pattani saya masih bisa merasakan ketegangan. Masih banyak pos penjagaan militer yang didirikan.
Bahkan di tengah kota. Tanda masih sering terjadi kekerasan bersenjata. Setelah kenyang, saya pun melihat peta. Pattani ternyata lebih dekat ke Kota Bharu, Negara Bagian Kelantan, Malaysia. Sama-sama di pantai timur semenanjung.

Mending tidak balik Kedah. Yang lokasinya di pantai barat semenanjung. Ke Kota Bharu saja. Nyeberang masuk Malaysia lagi, tapi di arah berbeda. Sekalian lihat yang lain: Keadaan satu2nya negara bagian di Malaysia yang pemerintahannya di bawah partai Islam itu. Apakah hukum syariah diberlakukan dengan ketat. Apakah beda dengan wilayah lain Malaysia.

Kota Bharu lebih besar dari yang saya bayangkan dan saya perkirakan ramai sekali. Ada hotel bintang-5, tempat saya menginap. Ada tiga mal besar. Perempuan umumnya berkerudung, tapi ada yang lengan bajunya pendek. Atau berkerudung dengan bawahan celana jins ketat. Di kantin terbuka yang panas di waktu magrib itu saya lihat ada yang makan dengan baju tank top.

Hanya, tidak ada gambar wayang (baca: bioskuo) di Kota Bharu. Tapi, larangan itu tidak akan lama. Mulai ada pemikiran untuk mengizinkannya. Meski dengan pembatasan tertentu. Misal, ada gambar wayang khusus untuk penonton laki2. Lalu, ada gambar wayang khusus untuk penonton perempuan.

Persoalannya: Bagaimana dengan yang sudah berkeluarga? Muncul ide baru: Adakan saja bioskop khusus untuk penonton yang sudah berkeluarga. Suami yang ingin mengajak istrinya nonton film bisa ke gambar wayang jenis ketiga itu. Sudah tiga tahun soal rencana gambar wayang itu dibahas, tapi belum ada keputusan Setelah kenyang, saya ingat: Inilah negara bagian terakhir yang saya kunjungi.
Penjelajahan ke Malaysia saya tutup dengan kwetiau. Tentu saya tidak akan lupa duriannya.
Jenis musang king. Orang Tionghoa menyebutnya mu shang huang. Kapan itu?
Waktu saya ke UniMAP, universitas Malaysia di Negara Bagian Perlis, saya melahapnya.

Saya tidak boleh lupa menulis Perlis. Di sini saya dapat honoris causa. Dari UniMAP. Tapi, saya baru tahu sekarang: Perlis adalah satu-satunya negara bagian di Malaysia yang pahamnya Wahabi. Mungkin karena sultan Perlis, dulunya, keturunan Hadramaut.

Di Malaysia soal agama (dan tanah/agraria) sepenuhnya urusan sultan setempat. Yang kalau di Perlis disebut raja. Di Negeri-9 disebut yang dipertuan. Di Penang disebut ketua menteri. Di Sabah dan Sarawak disebut menteri besar.

Paham Wahabi di Perlis tidak bisa berkembang di Malaysia karena aturan sultan ; Melarang ulama atau kiai dari negara bagian lain berdakwah di wilayahnya. Ulama Wahabi Perlis tidak pernah dapat izin dakwah di luar Perlis. ”Jadi, tidak pernah ada ketegangan antara Sunni dan Wahabi,” ujar Rektor UUM Profesor Dato’ Dr Mohamed Mustafa Ishak saat menjamu saya makan malam.

Gara-gara hanya ingin ke Pattani, akhirnya terjerat ke mana-mana. Padahal, saya sudah ditunggu Lanzhou. (Agus Suryono; dari grup FB-ILP; sumber dari : @Jawa Pos News; Networkhttp://www.pontianakpost.com/antara-kwetiau-ipoh-dan-mi-tarik-lanzhou-3-habis)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close