Islam

Makna hidup

Berikut adalah beberapa pemahaman inti tentang makna hidup menurut Al Quran.

🌺PERTAMA: HIDUP ADALAH IBADAH
Arti hidup dalam Islam ialah ibadah. Keberadaan kita dunia ini tiada lain beribadah ke Allah. Makna ibadah yang dimaksud ibadah yang benar, bukan berarti hanya shalat, puasa, zakat, dan haji saja, tetapi ibadah dalam setiap aspek kehidupan. “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS Adz Dzaariyaat:56)

🌺KEDUA: HIDUP ADALAH UJIAN
Allah berfirman dalam QS Al Mulk [67] : 2 yang terjemahnya,
”(ALLAH) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Allah menguji manusia melalui hal2 : Sesuai dengan QS Al Baqarah [2]:155-156 sbb,“Akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah2an, dan berikan berita gembira kepada orang2 sabar, (yaitu) orang2 yang bila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.”

🌺KETIGA: KEHIDUPAN di AKHIRAT LEBIH BAIK DIBANDING KEHIDUPAN di DUNIA
Dalam QS Ali ‘Imran [3]:14, “Dijadikan indah (pandangan) manusia kecintaan ke apa2 yang diingini, yaitu: wanita2, anak2, harta banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang2 ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).“
QS Adh Dhuha [93]:4, “Hari kemudian (akhirat) lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan).”

🌺KEEMPAT: HIDUP ADALAH SEMENTARA
Dalam QS Al Mu’min [40]:39, Allah berfirman,“Hai kaumku, kehidupan dunia ini hanya kesenangan (sementara) dan akhirat itulah negeri yang kekal.“

Dalam QS Al Anbiyaa
[21]:35, “Tiap2 yang berjiwa akan merasakan mati. Kami menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.“ (Drs. Nanang Hidajat; dari grup WA-BPTg)-FR
———-

 

Sajian lainnya : DO’A
Diceritakan oleh Prof. Mahfud MD pada awal Ramadhan, 4 tahun yg lalu pada ceramah malam pertama tarawih yg  diberikan beliau ketika masih Ketua MK : Mengenai seorang lelaki tua tukang becak yg sanggup menyekolahkan anak2nya hingga jadi orang. Di atas kertas, muskil baginya bisa mengantarkan anak2nya sekolah hingga perguruan tinggi. Namun kemustahilan itu toh terlampaui juga.

Mahfud, yg mengenal lelaki itu, tentu penasaran. “Bagaimana Bapak sanggup melakukan semua itu, apa yg sudah Bapak lakukan untuk anak2?!” +/- begitu pertanyaannya pada lelaki itu. Dengan bahasa Jawa halus, lelaki itu menjawab “Saya hanya berusaha menjalankan pekerjaan saya dgn sebaik2nya, Pak.”

“Mosok hanya itu, Pak?” Mahfud penasaran. Ia berharap ada rahasia lain yg disimpan oleh lelaki itu.
Karena didesak, dengan wajah malu2 akhirnya lelaki sepuh itu menjawab, “Sejak masih muda, saya rutin mengamalkan sebuah doa, Pak,” ujarnya.
“Wah, doa apa itu?” Mahfud jadi kian penasaran.

“Nganu, Pak, doanya cuma pendek saja. Lha wong saya saja tidak banyak belajar agama,” aku si lelaki pengayuh becak, sembari tersipu.
“Panjang dan pendeknya doa itu tidak masalah, Pak. Wah, tapi doanya bagaimana ya, itu?!” Pokoknya Mahfud semakin penasaran.

“Tiap kali mengayuh becak, sejak muda, pada setiap kayuhan saya selalu membaca doa ini, ‘lawala wala kuwata’. Nggih, ming mekaten,” ujar si pengayuh becak. Kali ini raut mukanya penuh kebanggaan.

Mahfud MD. kontan tercenung. Sbg lulusan pondok, ia tahu yg dimaksud lelaki tua pengayuh becak itu bacaan ‘hauqalah’, yg aslinya berbunyi “laa haula wala quwwata illa billah” (tiada daya upaya kecuali karena Allah). Hanya, karena lelaki tua itu tak pernah belajar mengaji, maka ia hanya mengingat bacaan itu dalam redaksi yg lain, semampu yg didengarnya saja.

Tapi bayangkan, sungguh Allah memang Maha Pemurah dan Maha Pengasih, ujar Mahfud. “Bahkan sebuah dzikir yang redaksinya keliru pun diijabah-Nya,” kelakar Mahfud dalam ceramahnya.
Memang, bukankah nilai sebuah doa tak terletak pada susunan redaksionalnya?! Bukankah Yang Kuasa tak mungkin keliru mendengar atau memahami maksud hambaNya?!

Tapi kita, yg fakir ini, masih gemar mempertengkarkan soal kemasan dan redaksional, sehingga sering jadi kehilangan esensi (niat dan ketulusan hati yaitu terbebas dari riyak dan sombong). Sadar Allah di atas segalanya, termasuk dalam hal diterimanya/tidak suatu amal Ibadah yg tidak sesuai di mata kita belum tentu tidak sesuai di mata Allah.

 

Bersihkan hati kita dari perasangka buruk dan mudah menghakimi orang lain, sebaiknya kita lebih waspada apakah amalan yg Allah beri kekuatan untuk kita lakukan sudah diterima atau belum dari pada kita sibuk memikirkan amalan orang lain. Hakikat doa itu bukan pada bahasanya, bukan pula pada lafalnya, tapi… pada tulusnya hati pengucapnya. (Drs. Nanang Hidajat; dari grup WA-BPTg)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Lihat Juga
Close
Back to top button
Close
Close