Psikologi

Dua Orang Baik namun Perkawinan Tak Bahagia

Ibu saya sangat baik, sejak kecil saya melihatnya begitu gigih menjaga keutuhan keluarga. Ia selalu bangun dini hari, memasak bubur untuk ayah karena lambung ayah kurang baik. Dia masih harus memasak nasi untuk anak2 yang sedang dalam masa pertumbuhan…

Setiap sore, ibu selalu menyikat panci supaya tidak ada noda sedikitpun. Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan rumah agar tidak berdebu. Ibu, wanita yang rajin. Namun, di mata ayah, ibu bukan pasangan baik. Tidak hanya sekali ayah menyatakan kesepian dalam perkawinan, tapi saya tidak paham.

Ayah saya adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, serius dalam pekerjaan, setiap hari berangkat kerja tepat waktu dan saat libur ayah punya waktu untuk mengantar kami ke sekolah. Ia seorang ayah yang penuh tanggung jawab, mendorong anak-anak untuk berprestasi dalam pelajaran.

Ayah adalah seorang laki-laki yang baik di mata anak-anak, ia besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami. Hanya saja, di mata ibu, ia bukan pasangan yang baik. Kerap kali saya melihat ibu menangis terisak secara diam-diam.

Saya melihat dan mendengar ketidakberdayaan dalam perkawinan ayah dan ibu, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka. Seharusnya mereka layak mendapat perkawinan yang baik. Saya bertanya pada diri sendiri, *”Dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia?”*

Setelah dewasa, akhirnya saya memasuki perkawinan dan perlahan-lahan saya mengetahui jawaban itu.
Di masa awal perkawinan, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan keluarga, rajin bekerja dan mengatur rumah dengan sungguh2 berusaha memelihara perkawinan sendiri.

Anehnya, saya tidak merasa bahagia dan suamiku sepertinya juga tidak bahagia. Saya merenung, mungkin rumah kurang bersih, masakan tidak enak, lalu dengan giat saya membersihkan rumah dan memasak dengan sepenuh hati.

Namun, rasanya, kami berdua tetap tidak bahagia. Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan rumah, suami saya berkata, “temani aku sejenak mendengar alunan musik!”. Dengan mimik tidak senang saya berkata, “Apa tidak melihat masih ada separoh lantai lagi yang belum dipel?”

Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata yang sangat tidak asing di telinga, dalam perkawinan ayah dan Ibu. Saya sedang mempertunjukkan kembali perkawinan ayah dan ibu, sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkawinan mereka. Ada beberapa kesadaran muncul…

Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan teringat akan ayah yang tidak mendapat apa yang dia butuhkan dalam perkawinannya.

Waktu ibu habis untuk membersihkan rumah pada hal yg dibutuhkan ayah adalah menemaninya. Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga adalah cara ibu dalam mempertahankan perkawinan. Ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih namun ibu jarang menemani ayah. Ia berusaha mencintai ayah dengan caranya.

Kesadaran membuat saya membuat keputusan yang sama. Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami, menemaninya mendengar musik, dan dari kejauhan, saat memandangi kain pel di atas lantai seperti menatapi nasib ibu.

Saya bertanya pada suamiku, “Apa yang kau butuhkan?”
“Aku membutuhkanmu untuk menemaniku… Rumah kotor sedikit tidak apa-apa..” ujar suamiku.
Saya kira dia perlu rumah yang bersih, ada yang memasak, dst.
“Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku.”

Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya benar-benar membuat saya terkejut. Kami meneruskan menikmati kebutuhan masing-masing, dan baru saya sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia, kami memiliki cara masing-masing bagaimana mencintai, namun, bukannya cara yang diinginkan pasangan kita.

Sejak itu, saya deretkan daftar kebutuhan suami, dan meletakkannya di atas meja. Begitu juga suamiku, dia deretkan daftar kebutuhanku. Puluhan kebutuhan yang panjang dan jelas. Misal: Waktu senggang menemani pihak kedua mendengar musik, saling memeluk setiap pagi, memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat, dstnya.

Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang sulit. Misal: “dengarkan aku, jangan memberi komentar”. Ini adalah kebutuhan suami. Kalau saya memberinya usul, dia bilang dirinya merasa tampak seperti orang bodoh. Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki.

Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya, kalau tidak saya hanya mendengarkan dengsn serius. Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun jauh lebih bermakna dalam pernikahan kami…

Bertanya pada pasangan kita, *”Apa yang kau inginkan?” ternyata dapat menghidupkan pernikahan.*
Kini, saya tahu kenapa perkawinan ayah dan ibu tidak bisa bahagia, mereka terlalu bersikeras menggunakan cara sendiri dalam mencintai pasangannya, bukan mencintai pasangannya dengan cara yang .diinginkan pasangannya.

Kita mungkin lelah melayani pasangan, namun dia tidak menghargai. Akhirnya kita kecewa dan hancur. Tuhan menciptakan perkawinan, maka menurut saya, tiap orang pantas dan layak memiliki perkawinan yang bahagia, asalkan cara yang kita pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan oleh pasangan kita! (Feri dari grup WA-SS; Dari fb Ustadz Satria Hadilubis)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close