Pengalaman Anggota

Wayang A n t a r e j a (1) – Vila Sigala gala

//Pengantar. Untuk Espisode ini, cerita wayangnya agak ngawur dan tidak sesuai pakem, tapi nama2 tetap sesuai pakem. Karena itu bagi yang sudah tahu pakem, mohon maklum, karena anda tahu yang pakem itu seperti apa. Bagi yang belum tahu cerita sesuai pakem, silahkan baca pakemnya, agar tahu yang pakem, banyak kok di internet//

Alkisah, sebagai pembuka cerita, inilah kerajaan Hastina Pura, Hastina atau Astina. Kerajaaan besar di dunia wayang. Saat itu Kerajaan Hastina Pura diperintah oleh raja Destarastra yang kadang disebut Drestarastra atau Dretarastra. Destarastra mempunyai putra yang berjumlah 100 dan disebut Kurawa 100 atau Kurawa atau Korawa saja.

Sebenarnya ketika raja Hastina Pura sebelumnya, yaitu Pandu Dewanata meninggal, pewaris tahta adalah putra tertuanya, yaitu Puntadewa. Sayangnya saat itu Puntadewa masih belum dewasa, maka belum bisa diangkat menjadi raja.

 

Oleh karena itu sementara menunggu Puntadewa dewasa, maka kekuasaan kerajaan Astina dititipkan dan dipegang oleh Destarastra, kakak dari Pandu. Sayangnya Destarastra ini terlahir buta, jadi tidak bisa menjalankan tugas sebagai raja seutuhnya.

Ketika Astina diperintah oleh Destarastra, maka rakyat hidup menderita. Hal ini karena pemerintahan praktis dipegang oleh Dewi Gendari yang istri Destarastra dan Patih Sengkuni yang adik dari Dewi Gendari.

 

Mereka hanya mementingkan foya-foya daripada membangun kerajaan yang adil dan makmur. Maka anak-anaknya, yaitu Kurawa 100 menjadi anak-anak manja dan kurang dalam ilmu kepemimpinan, manajemen pemerintahan, maupun ilmu kesaktian dan ilmu keprajuritan.

Mereka juga lebih senang mengimpor berbagai barang dan hasil pertanian dari negara lain, dibanding berusaha kuat dan mandiri di bidang pertanian seperti yang pernah dicanangkan oleh leluhurnya puluhan tahun silam sebelumnya.

 

Dalam Rencana Jangka Panjang Pembangunan Negara, yang mana pada tahap pertama negara harus mandiri di bidang pertanian. Selanjutnya masuk ke dunia indistri, itupun tahap awalnya adalah industri pertanian, baru ke industri lainnya.

 

Setelah pertanian kuat dan bisa swasembada pangan di segala bidang (termasuk perikanan, peternakan, kehutanan), tidak ada yang namanya impor barang pertainan (termasuk perikanan dan peternakan), barulah industri digarap.

Mereka, para Kurawa, bisa hidup ber-foya2 sebab mendapat upeti dari para saudagar. Para saudagar ini yang kemudian mempengaruhi kebijakan para punggawa Astina. Tak heran pertanian, peternakan, perkebunan dan kehutanan yang sebenarnya sangat didukung oleh alam yang luas.

 

Dan sangat subur penuh potensi tanaman asli (yang dalam bahasa ilmiah disebut plasma nutfah) yang sangat banyak, unik dalam arti tidak dimiliki negara lain, juga sektor perikanan yang sebenarnya didukung oleh alam berupa sungai, danau dan laut luas penuh ikan.

 

Semua menjadi tidak maju, sebab kebijakan yang berpihak kepada para petani, peternak dan nelayan, selalu bisa diganjal ole para saudagar. Maka jika panen raya harga jatuh, jika gagal panen mereka menderita. Akhirnya banyak petani dan nelayan yang beralih profesi menjadi buruh di berbagai sektor, termasuk menjadi sopir (termasuk ojeg).

Tentunya hal ini akan petensial menurunkan kemampuan swasembada bidang pertanian (termasuk di dalamnya perkebunan) dan perikanan.

Para saudagar ini juga mempengaruhi kebijakan di bidang lainnya, seperti pertambangan, industri, keuangan, penegakan keadialan. Di bidang penegakan keadilan misalnya, hukum seringkali bisa dibeli dengan uang.

Untunglah negara Hastina ini kaya hasil alamnya. Entah kalau sumberdaya alam habis, bagaimana nasib negara ini. Maka saat itu rakyat Hastina Pura banyak berdoa agar negara segera kembali ke jaman kejayaan, jaman diperintah Pandu Dewanata yang bergelar Kresna Dipayana, yang memerintah dengan sangat bijaksana.

Patih Sengkuni dan para Kurawa yang mengetahui pewaris tahta adalah anak-anak Pandu, mereka menjadi benci terhadap para putra Pandu yang disebut Pandawa Lima. Ibaratnya kalau ada kesempatan, kalau perlu mereka ingin menyingkirkan Pandawa.

Pada saat Kurawa dan Pandawa sudah dianggap menginjak masa dewasa, kemudian Sengkuni membuat acara pesta penyambutan kedewasaan Kurawa dan Pandawa. Seharusnya setelah Pandawa dianggap dewasa, tahta kerajaan diserahkan dari Destarastra kepada Puntadewa sebagai anak tertua Pandu.

 

Puntadewa dan Pandawa yang mendapat undangan menyambut dengan gembira adanya acara ini, dengan harapan setelah dianggap dewasa, kekuasaan akan diserahkan kepada Puntadewa.

Puntadewa (Samiaji / Yudistira), anak tertua dari Pandu, yang namanya Pandu Dewanata. Puntadewa punya adik 4 orang, yaitu Bima, Permadi, Pinten dan Tangsen. Permadi disebut Arjuna, Palguna dan masih mempunyai banyak nama lagi. Sedangkan Pinten dan Tangsen setelah dewasa disebut Nakula dan Sadewa. Bima sering disebut juga Sena, atau Bratasena *).

Pesta pesta penyambutan kedewasaan itu diadakan jauh dari istana Hastina Pura, di suatu kawasan nan asri yang dipenuhi dengan rumah vila. Vila-vila itu masih baru dan dibuat bagus-bagus dengan bahan dari kayu pilihan sehingga nyaman untuk ditinggali. Masing-masing vila diberi nama yang indah – indah. Pembuatnyapun arsitek nomor wahid di negara Hastina.

Berbagai acara hiburan diadakan di pesta itu. Berbagai seni tari dari seluruh penjuru negara didatangkan, ada wayang kulit semalam suntuk, ada wayang golek dengan dalang ternama, ada orkes keroncong, orkes melayu, dangdut, band, sampai musik jazz.

 

Tentunya ada pula layar tancap dengan “sound system” yang stereo dan “full soround”. Tentu semua hiburan tersebut versi jaman wayang. Banyak penjual makanan, minuman dan mainan yang mencari rejeki di tengah keramaian tersebut.

Kurawa yang terdiri dari 100 orang menempati beberapa vila, sementara Pandawa plus ibunya, yaitu Dewi Kunti ditempatkan di sebuah vila dari kayu nan cantik bernama Vila Sigala-gala. Vila itu dalam bahasa Jawa atau Sunda adalah bale dan dalam bahasa Indonesia balai yang artinya rumah.

 

Maka ada istilah Bale Kambang (rumah terapung), Bale Somah (rumah tangga); Bale Endah, ada pula Balai Kota; Balairung, dsb. Jadi Vila Sigala-gala bisa juga disebut Bale Sigala-gala atau Balai Sigala-gala.

Acara penyambutan kedewasaan itu berlangsung beberapa hari. Nah, pada suatu hari ada serombongan orang kampung yang datang ke vila yang ditempati oleh Kurawa. Mereka adalah rakyat yang kena gusur pembangunan tanpa mendapat ganti rugi yang layak.

 

Bahkan ada yang tidak mendapat ganti rugi sama sekali, padahal sudah memiliki Sertifikat Hak Milik yang disingkat SHM dan membayar PBB atau Pajak Bumi dan Bangunan secara rutin setiap tahun atas tanah dan rumahnya itu.

Di siang itu mereka meminta makanan dan minuman yang disediakan untuk Kurawa yang memang melimpah ruah. Namun kedatangan mereka diusir oleh petugas keamanan Kurawa karena dianggap mengganggu pesta saja. Kemudian mereka menuju ke vila yang ditempati oleh Pandawa.

Sesampai di vila yang ditempati Pandawa yaitu Vila Sigala-gala hari sudah sore. Mereka mengutarakan maksudnya, yaitu ingin ikut meminta makan dan minum. Puntadewa atau Samiaji ternyata menerima mereka dengan baik, bahkan mereka diajak masuk vila, ke dalam ruang makan.

 

Kemudian makan bersama Pandawa. Mereka ini terdiri dari 6 orang, ada yang badannya besar ada pula yang kecil. Pandawa dan para tamu itu kemudian menikmati makan malam bersama, sebab memang sudah waktunya untuk makan malam.

Mereka menikmati hidangan makan malam lahap, sebab siangnya Pandawa banyak ikut pertandingan dan permainan. Para tamu itu dari pagi belum makan. Mereka semua, para Pandawa, Kunti dan tamu2 tadi makan dengan lahap, kecuali Bima yang tidak ikut makan dan minum, sebab berada di kamar kecil, karena perutnya sakit dan melilit, ingin ke belakang dan sudah tidak bisa ditahan lagi.

Lama Bima di kamar kecil. Setelah Bima merasa plong dengan sakit perutnya, kemudian dia keluar dan mau bergabung dengan saudara-saudara, ibunya dan para tamu untuk makan bersama. Tetapi betapa terkejutnya Bima, karena semua yang ada di situ sudah ‘teler’, mabuk, tidak seorangpun yang sadar.

“Lho, lha kok pada teler semua? Ini akibatnya kalau orang suka minum minuman keras berlebihan”, kata Bima dalam hati. Satu persatu digoyang-goyang badannya, tetapi tidak ada yang bangun. Dari mulut mereka keluar busa.

” Ada yang tidak beres. Ini pasti keracunan”, pikir Bima. Belum hilang kebingungan Bima, tiba2 dari bagian vila kanan muncul api, pertanda ada kebakaran. Belum sempat memeriksa sumber api, di bagian depan vila juga muncul api nan besar, lalu sebelah kiri dan disusul bagian belakang vila juga terbakar.

” Wah, pasti vila ini sengaja dibakar”, kata Bima dalam hati lagi.
Bima yang berbadan besar, lebih besar dari orang besar pada umumnya, menggendong ibu dan ke-4 saudaranya. Tamu yang 6 orang tidak bisa digapai lagi sebab pundak kiri-kanan dan kedua tangan Bima sudah dipenuhi oleh badan ibu dan keempat saudaranya yang sudah lemas seperti orang mati tersebut.

Bima bingung, ke depan ditunggu api, ke belakang, ke kiri dan ke kanan api besar yang menjilat-jilat menunggu. Dengan menggendong lima orang, Bima kebingungan ke sana kemari, sementara api semakin membesar dan bagian vila di sana-sini sudah mulai rubuh dengan api dan bara yang menyala . . . . .

Bersambung Jum’at depan …………….
Catatan : *) Sena merupakan nama lain dari Bima, lengkapnya adalah Brata Sena. Sena artinya prajurit, tentara, kesatria. Brata Sena bisa berarti Sena sang anak dari Kunti Talibrata (ibunya), arti lain dari brata adalah prasetia (janji), tapa atau puasa.

 

Jadi Brata Sena bisa berarti juga prajurit yang suka bertapa, suka berpuasa atau prajurit yang selalu menepati janji. Kalau ada film berjudul Xena atau orang bernama Xena, mungkin maksudnya dia bersikap prajurit, kesatria, sekalipun seorang wanita (Widartoks 2016; dari grup FB-MKPB Telkom)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Lihat Juga
Close
Back to top button
Close
Close