Islam

Kontemplasi & Qodaran

Sebuah kontemplasi kehidupan rakyat kecil yg gak mengenal gaji ke-13, THR..dsb..
‘Wah…pisangnya bagus-2 Mbah’. Kataku sembari berjongkok di depan perempuan sepuh yg jualan di pinggir jalan depan pasar’
‘Lha monggo dipundut….… ” kata perempuan itu riang.
Sungguh sangat sepuh, rautnya penuh kerut. Kulitnya hitam. Kurus badannya. Tapi suaranya mengkling riang, giginya terlihat masih utuh. ‘Ini kepok kuning… bagus dikolak.
Ini kepok putih… kalau digoreng sangat manis’. Lha kalau itu… pisang pista, kulit tipis… harum manis.
Tapi jangan dibeli karena belum mateng’

Aku hanya diam memperhatikan gerak tangannya yg cekatan, meskipun  telah ndredheg  (gemetar.)
‘Sudah lama jualan, Mbah…?’
‘Belum, ini ngejar rejeki buat lebaran’
‘Putranya berapa Mbah?’
‘Kathah , banyak ..… pada glidik/kerja’
‘Kok nggak  rehat aja to Mbah… siyam-2 kok jualan’
‘Lha nggih, ini karena siyam niku to, nggak boleh rehat. Mumpung Gusti Allah paring sehat…’
Aku tercenung dgn jawaban perempuan sepuh itu. Kulihat tangannya mengelap  kening dan dahinya yg dlèwèran keringat dgn selendang lusuhnya.
Diantara para penjual ‘liar’ dipinggir jalan depan pasar itu, Perempuan sepuh ini satu diantaranya yg menggelar dagangan tanpa iyup (peneduh).
Padahal hari itu panas luar biasa. ‘Kalau pulang jam berapa Mbah?’
‘Jam 3 sudah pulang, lha ada kewajiban nyiapkan wedang buat anak-2 TPA’
‘Kok kewajiban, yg mewajibkan siapa Mbah ?’
‘ Nggih kula, ya saya sendiri …’
‘Ooo…begitu…. Setiap hari, selama puasa?’
“ Inggih… wong cuma  anak 50an..’
‘Wah panjenengan  hebat nggih Mbah…’
‘Halah cuma wedang sama penganan kecil-2..’
‘Yang penting bocah-2 rajin ngaji, mbah seneng. Jangan bodoh kaya Mbahe yang cuma bisa Fathikah’ .
Aku makin tercekat. Kumasukkan semua pisang yg ditawarkan ke dalam tas kresek.
‘Kok banyak banget …… mau buat apa?’ Tanya si mbah heran.
Aku hanya tersenyum. ‘Semua berapa Mbah?’
Perempuan sepuh itu menyebutkan nominal yg membuatku tercengang.
‘Kok murah banget Mbah…’
‘ Mboten… itu sudah pas, ini bukan pisang kulakan, panen kebun sendiri…’
‘Nggih…matur nuwun…’ kataku sembari mengulurkan uang….
‘Aduh… nggak ada kembalian , belum kepayon (laku)…’
‘Saya tukar dulu’
Aku sengaja meninggalkan perempuan sepuh itu. Pisang telah kuletakkan di motor.
Mesin motor pun kunyalakan. Agak menjauh dari perempuan sepuh itu..
Kumasukkan bbrp lembar uang lima ribuan yg masih baru, ke dalam amplop, Cukup dibagi satu-2 unt anak TPA yang katanya cah 50an tadi. Penutup lem ampop kubuka lalu kurapatkan.
‘ Niki mbah, sudah saya tukar, sudah pas nggih…’
Perempuan sepuh itu menerima amplop masih dgn tangan dredheg gemetar.
Tanpa menunggu jawaban, aku segera pergi. Esoknya aku mampir lagi…tapi kosong
Berikutnya aku mampir lagi…kosong juga.
Penasaran kutanyakan pada ibu pedangang sebelahnya. ‘Mbahe kok nggak jualan Mbak?,
‘Oh nggak, beliau … jualan kalau panen pisang aja, .…’
‘ Sampeyan to yg kemarin ngasih amplop ..…
Walah Mbahe nangis ngguguk..… jare bejo, dapet qodaran.’ . . . . .

Qodaran… barangkali yg dimaksudkan adalah lailatul qodar. Malam yg konon lebih baik dari 1000 bulan.
Para malaikat turun dari langit,  Langit hati kita. Menyelesaikan segala urusan.
Allah melapangkan rejeki dan kemuliannya bagi yg dikehendaki, Pun mempersempit bagi yg dikehendaki pula. Rejeki sesuai kapasitas kita. Lantas siapakah yang mendapatkannya ??

Barangkali perempuan sepuh inilah yg mendapatkannya. Bukan karena ia ahli ibadah. Bukan pula karena I’tikafnya yg  kuat di masjid. Tapi dialah pelaksana dari yang katanya ‘hanya’ bisa *fathikah* itu.
Kesungguhan I’tikaf yg luar biasa. Bertindak, berlaku, dan berpasrah dalam keriangan rasa.
I’tikaf di masjid yg digelar dalam keluasan Yang Maha. Bukan masjid yg sekedar bangunan ibadah.
Kecintaannya yg sederhana dgn penyiapan wedang dan penganan bagi 50an bocah selama puasa, sungguh bukan perkara mudah. Hanya cinta tuluslah yang bisa.

Aku jadi ingat  pertanyaan teman, tentang pencapaian Lailatul Qodar. Benarkah ia turun di 10 hari terakhir malam ganjil? Maka, malam terbaik dari 1000 bulan bukan instan. Tak bisa dijujug dgn akhiran, semua butuh proses, karena karunia terindah butuh wadah. Yang dibangun dgn menapis kebaikan sebelum, selama dan sesudah Ramadhan. Itu sesungguhnya *QODARAN* Rezeki tak terduga. (MAF)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close