Islam

Jowo digowo-Arab digarap dan Barat diruwat

~ Walau seorang ulama / kyai, tapi Cak Nun selalu berpakaian layaknya orang biasa. Bisa dikatakan ganok bedane karo wong dodol akik, buruh pabrik atau sales kaos kaki.

“Kalau saya datang berpakaian gamis dan sorban, tidak ada salahnya. Cuman saya takut semua orang berkesimpulan, saya lebih pandai dari yang lain. Lebih parah lagi, kalau mereka berkesimpulan saya lebih alim. Kalau itu tidak benar, itu khan namanya ‘penipuan’ “kata Cak Nun.

“Kalau benar, apakah akhlak itu untuk dipamerkan ke orang lain (melalui pakaian)? Maka se-mampu2 saya, berpakaian begini untuk mengurangi potensi ‘penipuan’ saya. Anda tidak boleh mendewakan saya, me-Muhammad-kan saya, meng-habib-kan saya, karena saya adalah saya karena Allah menjadikan saya sebagai saya dan tidak karena yang lain. Maka Anda obyektif saja sama saya” lanjut Cak Nun.

Menurut Cak Nun, ulama harus bisa berpakaian yang sama dengan pakaian umat yang termiskin. Cak Nun tidak menmasalahkan yang bergamis dan berserban. Malah salut sama mereka yang menunjukan kecintaannya pada Rasul dengan meniru persis yang ada di diri Rasul.

 

Tapi baju Rasulul tidak sebagus dan sekinclong yang dipakai kebanyakan orang sekarang. Baju Rasul ada 3 jenis : yang dipakai, yang di lemari dan yang dicuci. Semua orang Arab di jaman nabi, model pakaiannya seperti itu. Nggak cuma Rasul; Abu Jahal, Sueb, Sanusi, Atim dan orang Arab lain, model klambine seperti itu.

Jadi sunnah Rasul yang mendasar Akhlaknya bukan kostumnya. Orang yang disukai Tuhan adalah orang yang menyebut dirinya buruk, biso rumongso, nggak rumongso biso. Yang diragukan keihklasannya itu orang menyebut dirinya baik. Semua nabi mengaku dirinya dzolim :

 

“Inni Kuntu Minadzolimin”(aku termasuk orang dzolim). Nggak ada nabi yang mengaku dirinya sholeh. Kalau ada orang yang mengaku paling benar atau alim, langsung tinggal mulih ae…ndang baliyo sriii.

“Kalau sama Tuhan kita harus 100%, kalau pada ilmu kita, cukup 99%. Seluruh yang saya ketahui dan yakini benar itu belum tentu benar. Maka saya tidak mempertahankan yang saya yakini benar karena mungkin anda mendapatkan ilmu yang lebih tinggi.” kata Cak Nun.

Karena itu saat bersama jamaahnya, Cak Nun memposisikan diri sama, sama2 belajar. Cak Nun  lebih suka jamaah yang berproses daripada yang ahli ibadah. Karena itu lebih tepat sasaran. Bukan pengajian pada orang yang ngerti Al Quran, bukan pengajian yang menyuruh haji orang yang sudah berhaji, menyuruh ngaji orang yang sudah ngaji tiap hari, menyuruh orang shalat yang sudah shalat, dst.

“Tidak apa2 kalau ilmu agamamu masih pas2an, itu membuatmu jadi rendah hati. Banyak orang yang  merasa tahu ilmu agama, malah menjadikannya tinggi hati, ” begitu pesan Cak Nun.

“Kalau saya kadang bicara berbahasa Jawa, jangan dibilang Jawasentris. Saya cuman berekspresi sebagai orang Jawa. Saya lahir dan dibesarkan di Jawa, diperintah Tuhan jadi orang Jawa. Maka saya mencintai dan mendalami budaya saya. Siapa bilang Jawa itu tidak Islam. Kalau saya ayam saya nggak akan jadi kambing. Kalau anda kucing jangan meng-anjing2-kan diri. Kita disuruh Bhineka (ber-beda2) kok..!

“Banyak orang menyebut Cak Nun penganut kejawen. Kejawen opo. ‘Software’ Cak Nun lebih canggih karena laku tirakat luar biasa sejak kecil. (Laku tirakat yang tidak bertujuan untuk menguasai ilmu hitam koyok mbah2 dulu). Sehingga beliau waskito, punya sidik paningal, punya pandangan yang tajam dan jernih soal kehidupan.

Little bit wagu kalau ada orang Jawa (atau Indonesia) malah mem-bangga2kan budaya Arab atau Barat. Benci kebaya tapi nggak ngasih solusi cara kebaya bisa Islami. Ingat : Jowo digowo, Arab digarap dan Barat diruwat. (Sugeng SW-72; Sumber: – Emha Ainun Najib; http://nusantarakini.com/2017/05/23/cak-nun-jowo-digowo-arab-digarap-dan-barat-diruwat/)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close