Selingan

Wayang-Gatutkaca(28)-Durgandini-Palasara

Palasara memandangi wanita ini, dia lihat, wanita ini cantik, tapi kudisan dan anyirnya yang membuat kelihatan jelek dan berbau. “Mengapa memandang saya seperti itu? Jijik ya?”, tanya wanita itu.
“ Oh, tidak”, jawab Palasara menggeleng.
” Kalau boleh tahu siapa namamu?”
” Saya Durgandini Tuan”, jawab wanita itu.
“ Kok anda sakit seperti ini, sejak kapan dan apa tidak coba berobat ”, tanya Palasara.
“ Sejak kecil, sudah berobat, tapi belum ada yang mampu. Saya mengidap ini sejak kecil”, katanya.

Tanpa ragu dia cerita penyakitnya, seraya mendayung satang. Palasara mendengar seksama, sambil bawa anak burung. Ketika hampir sampai di seberang, ibu burung menyambut anaknya yang mulai terbang itu. Lalu diajak meninggalkan Begawan Palasara dan Dewi Durgandini dan tak lupa berterima kasih dengan kicauan ‘tralala trilili’ yang menyegarkan.

Dewi Durgandini putar balik perahunya. Saat itu Palasara bersedia bantu mengobati penyakit Dewi Durgandini. Sebagai Begawan dia sering menolong orang sakit, dia ahli pengobatan herbal. Dia mengobati penyakit Dewi, dengan obat yang diminum, dioleskan bagain yang sakit, dan rutin mengajak Dewi Durgandini mandi di telaga yang mengandung mineral, mengobati  khususnya penyakit kulit.

 

Jika airnya diminum, menyegarkan badan dan membuat awet muda, ini berkat kandungan mineral yang di air itu. Di lain waktu Palasara mengajak dan menggosok badan Dewi Durgandini di sungai besar, yang di jaman wayang airnya jernih, karena belum ada sampah dibuang sembarang, belum campur lumpur dan tanah dari pegunungan akibat penggundulan lahan.

Ketika Palasara menggosok punggung Dewi, kudis dan nanah berguguran ke sungai. Kini badan Dewi bersih dan harum. Palasara tak kuasa membendung hasrat prianya. Maka keluarlah air laki2nya. Air itu lalu bertemu nanah dan penyakit Dewi Durgandini di sungai.

 

Dari situ menjelmalah manusia raksasa yang kelak diberi nama Rajamala. Kemudian muncul satria Kicakarupa, Rupakica, Setatama, Dewi Rekatawati atau Dewi Ni Yustinawati, juga Gandawana jelmaan bau anyir . Palasara tetap mengobati penyakit Dewi yang belum sembuh total. Maka perlahan penyakit Dewi sembuh. Kulitnya yang bopeng2, menghitam, mulai jadi putih, halus mulus.

 

Dengan ramuan herbal khusus, bau badannya hilang, berubah jadi wangi alami. Wangi dari diri Dewi Durgandini, bukan wangi parfum, dari bunga2an. Wangi bersemayam di badannnya, tidak hilang dan lekang sepanjang waktu. Singkat cerita, dia benar2 sembuh, sesuai sumpahnya, Dewi Durgandini menyatakan bersedia diajadikan istri Palasara.

 

Palasara ragu, karena lama jadi pertapa dan tidak tertarik dunia, tidak tergoda wanita, dan menjauhinya. Namun menghadapi Dewi yang cantik, danntiap kali ketemu untuk mengobati, Palasara tak tahan juga. Mereka menikah sederhana di rumah Dasabala yang mulai bertambah tua itu. Dasabala bahagia Karena Dewi sembuh dan bersuami. Akhirnya Dewi Durgandini punya anak Abiyasa.

Rajamala, Kicakarupa, Rupakica, Setatama, Dewi Rekatawati dan Gandawana diangkat jadi anak angkat. Menurut dalang, kelahiran Rajamala dan adik2nya, menurut logika tak masuk akal, cairan laki2 Palasara di sungai dan bertemu nanah dan penyakit Dewi Durgandini bisa melahirkan anak manusia.

Ini kiasan, menurut bahasa Jawa, “sanepa”. Hanya penggambaran sebelum Palasara menikah resmi dengan Dewi Durgandini telah punya anak : Rajamala dan adik2nya itu. Siapakah ibu dari anak2 itu? Dewi Durgandini  atau orang lain? Tak bisa dipastikan, karena tidak ada data akurat. Kita sepakati mereka anak angkat Palasara-Dewi Durgandini.

Ada versi lain. Ketika Dewi mendayung pulang dengan Palasara setelah antar anak burung, perahu bergolak. Penyakit Durgandini bukan penyakit biasa, ada makhluk penganggu. Palasara berkelahi dengan pengganggu itu di atas perahu di tengah sungai. Akibatnya perahu ber-goyang2 dan pecah terbelah dua dari depan ke belakang dan hancur.

 

Haluan perahu jadi raksasa yang diberi nama Rajamala. Pecahan perahu yang simetris jadi dua kesatria kembar kelak dinamai Kicakarupa dan Rupakica. Dayung perahu jadi wanita cantik yang diberi nama Dewi Rekatawati. Masih ada pecahan lain dan jadi Setatama serta Gandawana.

Palasara-Dewi Durgandini terdampar di pulau yang ada di sungai besar itu. Mereka, Rajamala, Kicakarupa, Rupakica, Setatama, Dewi Rekatawati dan Gandawana jadi anak angkatnya. Palasara menikahi Dewi Durgandini setelah sembuh. Masih ada satu versi lagi, tidak perlu diceritakan ya. Anak2 angkat Palasara dan Dewi Durgandini itu disuruh mengabdi ke Kerajaan Wirata.

Sekarang kita bahas dulu tentang Abiyasa. Kelahiran Abiyasa anak Palasara-Dewi Durgandini membawa kebahagiaan. Bukan saja berdua, juga Dasabala. Kebahagiaan Dewi tak berlangsung lama, sebab setelah dia punya anak : Abiyasa, Palasara sering meninggalkan memenuhi panggilan jiwa yang lama : bertapa dan menolong orang yang kesusahan.

 

Dewi Durgandini yang ber-anak kecil, sering ditinggal suami lama, ber-minggu2, kesepian. Apalagi setelah Abiyasa besar, umur 7 tahunan anak kandungna itu diajak Palasara bertapa dan mengelana di hutan. Ketika Abiyasa remaja, dia ikut jejak ayahnya jadi pertapa. Saat itu Dewi Durgandini benar2 sendirian tanpa anak kandung, tanpa suami. Di rumah untuk waktu lama, ber-tahun2. Sepi.

Suatu hari, raja Astina, Prabu Sentanu melanglang buana, melewati rumah Dewi Durgandini bersama Dasabala itu. Jelang lewat wilayah itu, punggawanya menceritakan Dewi Durgandini itu cantik, tubuhnya bau harum. Sang Dewi lama ditinggal suaminya, Palasara. Maka Prabu Sentanu, yang penasaran, mampir ke rumah Dewi Durgandini.

Ketika ketemu Dewi, Prabu Sentanu kaget, selain cantik, harum, juga wajahnya mirip Dewi Gangga, istrinya yang meninggalkannya lama dan tak kembali. Prabu Sentanu terpesona, tak berkedip memandang Dewi dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia ingat  punggawanya, Dewi Durgandini kini sendiri, maka Prabu Sentanu saat itu melamar, menjadikan istrinya.

Dewi Durgandini senang pinangan ini, apalagi yang meminang adalah raja dari kerajaan besar, Astina. Namun dia juga bingung, sebab saat itu status dia adalah istri Palasara. Dasabala yang banyak makan garam, menengahi, dia usul agar Dewi Durgandini diberi kesempatan berfikir seminggu, menerima atau tidak. Prabu Sentanu menyetujuinya.

Maka Prabu Sentanu kembali ke ibukota Astina, tak jadi melanjutkan perjalanan. Pikiran Prabu Sentanu tertuju ke Dewi Durgandini, seakan panah asmara Dewi Durgandini menembus jantung hatinya. Sang Prabu tiap hari gelisah menunggu keputusan Dewi.

Dewi Durgandini pusing. Dia sadar sebagai istri Palasara yang menyembuhkan penyakitnya, bukan hanya fisik, tapi juga perasaan terbuang, perasaan terhina. Dia mencintai Palasara dan anaknya Abiyasa. Di sisi lain, Palasara lama pergi tak ada kabar. Kalau cari juga tidak tahu.

 

Pertapa kadang pindah2 bertapanya, apalagi ‘tapa ngramai’, sebab ‘tapa ngramai’ akan keliling masuk keluar kampung menerangi kegelapan, menolong yang kesusahan dan mengobati yang sakit. Waktunya bisa ber-bulan2, tak tentu arah. Kewajiban suami memberi nafkah lahir dan batin terbengkalai.

Di sisi lain, raja besar melamarnya. Menolak berarti tolak rejeki, kesempatan berharga. Tapi berarti melupakan suami, yang menyembuhkannya, mengangkatnya dari jurang kenistaan. Perkara pelik. Dewi Durgandini tiak enak makan-tidur. Kalau siang, bagai neraka, malam seperti di penjara. Hati wanita mana yang gak risau bin galau?. Bersambung Jum’at depan….. (Widharto KS-2017; dari grup FB-ILP)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Lihat Juga
Close
Back to top button
Close
Close