Psikologi

Medsos dan adu domba-Tapi kenapa kita mudah terpengaruh(1/2)

(edukasi.kompas.com)- Menjelang pemilu legislatif dan pilpres 2019, sebagai tahun politik, dan (menurut saya) tahun fitnah dan kebohongan, sebaiknya kita (termasuk saya) belajar sedikit mengenai psikologi massa.

 

Sudah banyak, tak terhitung teman2 kita di medsos mengingatkan teman yang lain untuk berpikir sebelum bicara, tabayyun sebelum menulis suatu hal, klarifikasi sebelum share status. Namun status2 ngawur2an, komen fitnah dan yang mendekati fitnah, tudingan2an kanan-kiri, ad hominem, share berita bohong, yang maksud semula haqul yakin benar, eh ternyata berita bohong

 

Atau pernyataan tidak benar, lalu terlanjur gengsi untuk mengklarifikasi. Tentu termasuk dari saya. Teguran dan peringatan ini biasanya tidak ngefek. Konon sumber hoax tidak banyak dan hanya dari kelompok tertentu yang ingin memecah belah bangsa sendiri.

 

Saya tidak akan membahas sumbernya, yang saya bahas ini kita meresponnya. Kita tiba2 benci dengan seseorang begitu mendalam hanya karena membaca status. Dngan orangnya saja tidak kenal, ketemu juga belum pernah, apalagi ngobrol. Medsos jadi ajang kampanye positif seperti sedekah rombongan, atau komunitas tolong-menolong seperti Info Cegatan Jogja (ICJ).

 

Tapi banyak jadi ajang hujat dan caci maki. Tanpa sadar, kita menikmatinya. Lho? Saat menyalurkan kebencian sambil jempol sibuk di smartphone itu otak kita menyemburkan dopamine. Dalam kadar yang berbeda, dopamine juga yang disemburkan otak ketika kita orgasme (bagi yang sudah pernah). Dopamine neurotransmitter di dalam otak yang mengatur perasaan senang, puas, dan nikmat.

 

Apalagi kalau status kita direspons oleh status lain pendukung atau yang balik mencaci. Semburannya makin kencang ketika kita merasa “menang” saling hujat atau lawan berantem kita lalu diam saja. Kepuasan makin men-jadi2. Dalam novel “1984” Karya George Orwell. Masyarakat totalitarian dikumpulkan Dalam auditorium setiap minggu untuk event “two minutes hate” atau “dua menit kebencian” untuk ber-sama2 menghujat dan mencaci maki “musuh” negara.

 

Bahkan Winston Smith, si protagonis yang diam2 pemberontak yang juga bisa disebut “musuh” negara, ikut larut dalam kebencian. Katanya “A hideous ecstasy of fear and vindictiveness, a desire to kill, to torture, to smash faces in with a sledgehammer, seemed to flow through the whole group of people like an electric current, turning one even against one’s will into a grimacing, screaming lunatic.”

 

Artinya “Kegairahan yang mengerikan pada ketakutan dan dendam, hasrat membunuh, menyiksa, untuk menghantam muka orang dengan palu, semua mengalir, menyembur dalam kerumunan atau kelompok seperti aliran listrik, mengubah tiap orang dalam kelompok jadi wajah2 menakutkan.” Harap maklum saya lampirkan versi aslinya (bahasa Inggris), karena siapa tahu terjemahan saya salah.

 

Medsos itu kerumunan massa. Dalam kerumunan, individu jadi anonymous, kehilangan identitas. Individu dalam kerumunan kehilangan tanggung jawab pribadinya, secara ekstrim kehilangan rasa malunya, rasa hormatnya pada manusia lain di luar kelompoknya (out-group), bahkan moralitas bisa lenyap. Apalagi akun2 medsos yang tidak menunjukkan identitas sebenarnya.

 

(Artikel ini telah tayang di kompas.com dengan judul “Media Sosial dan Adu Domba, Mengapa Kita Mudah Terpengaruh?”, Bondhan Kresna W. M.Psi Editor : Bambang Priyo Jatmiko; https://edukasi.kompas.com/read/2018/02/26/07325541/media-sosial-dan-adu-domba-mengapa-kita-mudah-terpengaruh)-FatchurR*** Bersambung……

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close