Pengalaman Anggota

Hal Memanjat (FE 114)

Saat remaja saya senang panjat memanjat. Bermain di atas pohon atau bermain di genting adalah kegemaran saya. Saya memanjat banyak jenis pohon. Saya pernah memiliki rumah pohon yang saya buat sendiri diatas dahan pohon jambu monyet.

 

Di sana saya bisa duduk dengan nyaman diatas deretan papan yang saya susun, bahkan saya juga bisa tiduran diatas ketinggian sekitar lima meter.

 

Salah satu yang mengasyikan bila kita bisa berpindah pohon, naik dari satu pohon kemudian saat berada di ketinggian kita berayun pindah ke pohon lain di dekatnya. Saat itu tidak terpikir betapa berbahanya tindakan itu. Kedua dahan yang diinjak tidak mungkin bergerak sinkron, ibaratnya kita menginjak kedua kaki di dua perahu, bila terlambat memindahkan kaki, bisa-bisa kita tercebur.

 

Demikian juga saat berpindah pohon, biasanya dahan yang bersandingan adalah ujung dahan yang kecil dan lentur, terlambat berayun bisa-bisa kita bisa melayang jatuh. Hal yang sama juga pernah saya lakukan dari genting pindah ke pohon kedondong tetangga dan turun dari sisi tembok yang lain.

 

Ketika ayah saya pindah ke Kebumen, di rumah dinas yang saya tempati ada pohon kelapa tinggi. Daerah Kebumen memang daerah penghasil kelapa yang penting, sehingga Belanda membangun sebuah pabrik minyak kelapa besar di sana. Adanya pohon kelapa di belakang rumah itu, menantang untuk dipanjat.

 

Pohon itu nampak tidak terpelihara dan jarang dipanjat. Kelapa tua, beberapa diantaranya bekas di lubangi tupai berserakan dibawahnya. Tidak seluruh batangnya ada tataran (bekas tebasan golok untuk tempat meletakan ujung kaki). Warna batang bagian atas coklat dan ada berlumut.

 

Memanjat sampai ke mahkota daun diatas tidaklah sulit. Namun sampai diatas, saya sempat berpikir bagaimana caranya nangkring diatas pelepahnya? Saya tidak bisa terlalu lama berpikir, karena tangan tidak boleh lama2 menahan berat badan. Kemudian saya meraih satu pelepah yang masih hijau dan kuat, tangan yang lain meraih satu pelepah yang lain.

 

Kedua kaki kemudian saya lepaskan pelukannya kebatang dan  ….. wuiiis …. saya berayun di ketinggian. Tentu saja saya sangat ketakutan. Dengan mengerahkan segala kekuatan, kaki kanan saya ayunkan ke pelepah lain dan dengan kuat saya kaitkan kepangkap pelepah itu. Barulah saya kemudian berani melepas tangan, karena saya sudah duduk diatas pelepah.

 

Lega rasanya. Posisi saya duduk santai dan buah2 kelapa ada dibawah kaki saya. Kemudian saya membungkuk meraih butir kelapa. Dengan asyik saya pelintir kelapa-kelapa yang sudah tua. Kelapa jatuh gedebugan kebawah. Namun saya tidak bisa berlama-lama diatas, karena semutnya juga sudah mulai menjalar ke badan. Saya harus segera turun.

 

Ketika saya memandang ke bawah….. semua tampak kecil dari ketinggian. Ya Allah …… ketakutan yang luar biasa. Bagaimana caranya turun? Tidak mungkin saya berteriak minta tolong? Siapa yang bisa menolong saya? Saya harus melakukannya sendiri. Dengan hati-hati saya melangkah diantara pelepah-pelepah itu. Saya memilih sela yang bisa saya susupi diantara dua pelepah.

 

Dengan rasa takut saya memandang kebawah. Kedua tangan saya pegang erat pada dua pelepah dan badan saya saya susupkan kebawah. Kalau saat naik tadi saya ketakutan melayang, sekarang saat melayang turun ketakutan saya dobel dua kali.

 

Setelah sejenak melayang, segera kemudian kedua kaki saya meraih batang kelapa dan menangkupkannya ….. klep….. aman. Lega bukan main saya. Tangan saya lepas dan saya bergegas turun sambil setengah merosot. Kulit dada saya sampai merah, bekas tergesek batang kelapa tapi dengan penuh kelegaan saya meloncat ke tanah.

 

Kapok? Ya tidak, sekarang saya sudah mahir. Kedua, ketiga dan seterusnya saya menjadi terbiasa. Malah, kadang-kadang saya memetik kelapa yang masih muda. Srut …. srut …. Sedap.  (sadhono hadi)

 

Respon dari SSA :

Pak SH mengingatkan pada pohon kersen/chery depan rumah di ndukuh Kebumen.  Sering saya tidur2-an  diantara dahan dan rantingnya yang ulet, memandang kehamparan sawah depan rumah diselingi semilir angin. Wah nikemat walaupun ada gatal gatal dibadan karena lugut kersen.

 

Respon dari Murjanto :

Rupanya urusan pajat dipagi itui cukup menggelitik ketenangan sanubari empu penulis (Bpk SH), sehingga beliau berkenan segera menulis tetang asyiknya panjat memanjat

 

Saya juga terbiasa manjat pohon kelapa dari kecil termasuk pohon Pepaya yang lurus tinggi (karena postur saya yang cungkring kali), sampai-2 saya ngalami patah tulang 4x, yang 2x di punggung dan kaki juga karena urusan panjat memanjat.

Hebat..?, ah enggak juga. Wong dulu saya jalani dengan perasaan biasa saja/enjoy, apalig nyatanya jatuh juga sampai patah tulang (nggak hebat, sial). Jatuh dari pohon terduduk dari pohon jambu sampai dada sesak, pernah juga saat malam karena kaget ternyata paman bangun dan keluar rumah sedang kitanya lagi nggragas diatas pohonnya dengan teman.

 

Respon dariPrasetya B. Utama :

Masa kecil di desa tidak akan terlepas dari urusan panjat memanjat.  Sekolah SR dulu sejauh 4km melalui hutan. Senengnya kalo musim tanaman berbuah. Harus selalu memanjat untuk memetiknya. Ada buah duwet (juwet, jamblang), kecacil (buah kosambi), mulwo, … juga daun2an yang enak disayur (untuk oleh2 Ibunda di rumah).

 

Di pekarangan rumah ada pohon sawo yg besar. Sering bawa kranjang untuk menyimpan sawo di atas pohon. Keesokan harinya atau lusa atau beberapa hari lagi bisa dinikmati sambil nangkring di atas cabang2 pohon sawo.

 

Tapi, untuk pohon kelapa saya tak berani …. pernah suatu kali mencoba …. kaki gemetaran dan terpaksa turun lagi. Barangkali pengalaman masa kecil itu yg menyebabkan setelah pensiun menyukai dunia tanam2an (lagi).

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close