Iptek dan Lingk. Hidup

Decacorn Buah Perantauan Gojek

(teknologi.bisnis.com)-JAKARTA; Bukan kebetulan Gojek butuh kurang dari 1 tahun sejak mengumumkan berekspansi ke luar negeri mengemban status decacorn. Keputusan Gojek merantau terkait keberhasilan menembus valuasi US$10 miliar.

 

Tahun-2018 di Bali, CEO Gojek Nadiem Makarim pertama bicara di publik soal ambisi Gojek ke pasar regional. Nadiem, dan founder 3 perusahaan berstatus unicorn asli Indonesia lain :  William Tanuwidjaya (Tokopedia), Achmad Zaky (Bukalapak) dan Ferry Unardi (Traveloka), ke Bali memenuhi undangan Menkominfo Rudiantara untuk bicara di ajang Nexticorn 2018.

 

Kehadirannya di acara ajang “perjodohan” pemodal dan pemilik perusahaan rintisan asal Indonesia ini diharapkan menginsipirasi kepada founder yang merintis bisnis teknologi sekaligus menambah keyakinan investor mendanai startup lokal.

 

Rumor Gojek melebarkan bisnis ke negeri jiran saat itu ramai. Tim Gojek telah menjalin komunikasi dengan perusahaan taksi di Singapura dan berkonsultasi dengan otoritas transportasi di Filipina. Dalam hitungan bulan, Gojek merealisasikan ambisinya. Go-Viet meluncur di Vietnam dengan gegap gempita. Tidak tanggung2, Presiden RI hadir sebagai tamu istimewa.

 

Rintisan Bervaluasi US $5 Miliar atau lebih

Di Thailand, Gojek bernama Get. Aplikasi ini melayani transportasi dan pengiriman barang di 14 wilayah di Bangkok. Ekspansi di Singapura juga bergulir. Paham perbedaan pengguna aplikasi di Negeri Singa, yang lebih akrab dengan bayar nontunai, Gojek menggandeng Bank DBS mitra pembayaran digital.

 

Upaya Gojek “menjajah“ kandang Grab mulus. Hanya sedikit miskomunikasi jadwal operasi perdana. Calon2 pengguna di Singapura yang mencoba aplikasi Gojek pagi hari saat ingin berangkat beraktivitas, gagal pesan. Alasan Gojek, operasi perdana baru dijadwalkan berlangsung sore hari.

 

Batu sandungan di Singapura tak sebesar di Filipina dan Gojek merasakan susahnya jadi perusahaan asing setelah ber-tahun2 menikmati keuntungan sebagai “anak emas” di rumah sendiri. Aplikasi izin usaha layanan transportasi yang diajukan anak usaha Gojek, Velox Technology Philippines Inc., ditolak otoritas setempat. Alasannya, Velox perusahaan yang 100% dimiliki perusahaan asing.

 

Di Filipina, penyedia aplikasi digital layanan transportasi, minimal 60% sahamnya harus dimiliki entitas lokal. Aturan ini ditetapkan Agustus 2018, pada bulan sama ketika Velox mengajukan izin di Manila. Sampai kini, izin Gojek di Filipina belum keluar.

 

Gojek bukan yang pertama di pasar luar negeri. Traveloka jauh lebih awal. Aplikasi pemesanan daring Traveloka bisa diakses di hampir semua negara di Asia Tenggara, dan jadi aplikasi terpopuler di Thailand. Langkah Gojek keluar kandang, berbeda. Bisnis Gojek lebih rumit dan unik dibanding Traveloka.

 

Lebih rumit, karena bisnis Gojek melibatkan ratusan mitra di lapangan dan bersinggungan regulasi yang kompleks. Lebih unik, karena Gojek lahir sebagai solusi teknologi untuk masalah khas Indonesia. Kenapa Gojek repot2 adu nasib di perantauan jika berjaya di rumah sendiri. Langkah Gojek berekspansi, justru caranya untuk menjawab keraguan ini bahwa Gojek sebatas jago kandang.

 

“Kami ada membuktikan teknologi bisa memajukan negara. Cetak biru kami harus bisa diterapkan di negara lain lagi. Kami mau uji [hipotesis ini],” kata Nadiem di acara Nexticorn 2018. Keputusan Gojek itu bukan sebatas ambisi. Empat syarat ekspansi dipenuhi : Penetrasi pasar yang kuat di pasar lokal, kesuksesan bertarung menghadapi pesaing, staf yang mampu berkompetisi di pasar asing, dan modal.

 

Misi Nadiem mulia. Di balik semua ada alasan bisnis konkret Gojek berekspansi ke negara tentangg yaitu Grab. Setelah Uber mundur dari Asia Tenggara, Grab beberapa tahun terakhir bebas merambah pasar di seluruh kawasan tanpa gangguan. Tiap negara baru yang dimasuki Grab itu kesempatan perusahaan yang berbasis di Singapura itu memperluas target pasar.

 

Setiap pasar baru, jutaan calon pengguna baru, berarti “aset” baru dijajakan ke pemodal. WaKetum Asosiasi Modal Ventura Startup Indonesia dan partner di Convergence Ventures Donald Wihardja menjelaskan Gojek tidak bisa menyerahkan negara lain di Asia Tenggara ke Grab.

 

Kini, Grab lebih mudah menghimpun dana dari investor karena mereka menguasai pasar di lebih dari satu negara. Di sisi lain, Gojek pasarnya Indonesia. Hasilnya, valuasi Grab melambung melewati Gojek.

 

Tanpa saingan, Grab mudah menggenjot jumlah pengguna di negeri jiran. Setelah dominan dan tergoyahkan, Grab mengerahkan seluruh modalnya bertarung di Indonesia. Ini membuat Gojek kewalahan di negara sendiri.

 

Ini sebabnya Gojek membawa pertempuran ke luar negeri, supaya Grab tidak ongkang2 kaki di luar Indonesia. Strategi yang dipilih unik. Daripada repot2 memecah konsentrasi ke luar Indonesia, Gojek memilih menggandeng mitra lokal di tiap negara untuk bikin Grab ribet.

 

“Saya rasa yang dilakukan Gojek pas dengan menggandeng mitra lokal. Mereka punya teman di negara lain untuk bertarung dengan Grab. Tujuannya satu, agar Grab tidak dominan di regional,” kata Donald.

 

Laporan dari CB Insight, valuasi Gojek kini menembus US$10 miliar yang berarti perusahaan on-demand ini berstatus decacorn. Status decacorn yang diemban Gojek menunjukkan strategi Gojek melangkah ke luar kandang ada hasilnya, bukan hanya ekspansi. Agresivitas Gojek di fintech via Go-Pay juga berjasa.

 

Kini tinggal menunggu. Di belakang Gojek, ada Tokopedia dengan valuasi US$7 miliar. Ada Bukalapak yang cenderung tertutup valuasinya dan Traveloka yang lebih dulu go international. (Reporter/Editor : Demis Rizky Gosta; Bahan dari : https://teknologi.bisnis.com/read/20190405/266/908492/decacorn-buah-perantauan-gojek)-FatchurR *

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close