Aku cinta Indonesia

Puja Mandala Simbol Toleransi di Bali

(benarnews.org)- Tiap hari, ratusan pengunjung domestik dan mancanegara ke sini tak hanya beribadah, tapi juga melihat bagaimana toleransi diterapkan.

Jamaah shalat Jumat berduyun-duyun ke Masjid Ibnu Batutah di Desa Bualu, Kec-Kuta Selatan, Badung, Bali, waktu itu. Saat yang sama, suara genta dari Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa. Doa umat Hindu Bali, Puja Tri Sandya, juga mengalun dari Pura Jagatnatha.

Suasana shalat Jumat di Masjid Ibnu Batutah, Nusa Dua, terasa berbeda. Masjid ini terletak di bagian paling barat deretan tempat ibadah: Gereja Katolik, Vihara Buddha Guna, Gereja Protestan Jemaat Bukit Doa, dan Pura Jagatnatha.

Lima tempat ibadah ini di satu kawasan Puja Mandala. Dalam bahasa Bali, Puja Mandala berarti tempat pemujaan. Puja Mandala di Nusa Dua tak hanya sebagai tempat ibadah, tapi juga melambangkan toleransi antar-agama.

Dibangun tahun 1994, Puja Mandala dimaksudkan sebagai kawasan tempat ibadah 5 agama yang diakui pemerintah : Islam, Katolik, Protestan, Budha, dan Hindu. Menurut Muhammad Jumali, Sekretaris Pengurus Masjid Ibnu Batutah, pembangunan Puja Mandala bermula dari keinginan karyawan Muslim PT Pengembangan Pariwisata Bali (BTDC) di Nusa Dua untuk membangun mushalla.

BTDC, pengelola kawasan elite di Nusa Dua yang jadi pusat hotel, pertemuan, dan konferensi berskala internasional. “Dulu kami kalau mau shalat, terutama shalat Jumat, harus ke tempat lain, seperti Tanjung Benoa atau Tuban. Dari situ terpikir membuat mushalla di BTDC” katanya kepada BeritaBenar.

Mushalla terbangun pada 1992. Karena banyak Muslim yang ikut shalat, tak hanya karyawan BTDC tapi juga warga sekitar, pihak BTDC menyediakan lahan 2,5 ha di Bualu sebagai tempat pembangunan masjid baru. Agar lebih terpadu, di tempat berjarak 3 km dari pusat BTDC, pengelola menyediakan lahan untuk 4 agama lain: Katolik, Budha, Protestan, dan Hindu.

Dua pejabat saat itu, Dirut BTDC, Nadirsyah Zein dan Menparpostel Joop Ave berperan penting dalam pembangunan Puja Mandala, terutama Masjid Ibnu Batutah. “Meski penganut Nasrani, Joop Ave yang mengadakan penggalangan dana pertama dengan menggelar buka puasa bersama di rumahnya di Jakarta,” kata Jumali yang juga pensiunan karyawan BTDC.

Menurut Jumali, peran aktif Joop Ave dalam mendukung pembangunan masjid menjadi bukti bahwa Puja Mandala sejak awal memang hasil dari toleransi antar-umat beragama.

Saling membantu
Toleransi juga tercermin dalam keseharian antar pengurus rumah ibadah itu. “Kami saling menghormati dan membantu dalam kegiatan sehari-hari,” ujar Romo Evensius Dewantoro dari Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa. Menurut dia, ibadah shalat lima waktu justru menghidupkan Puja Mandala.

“Bayangkan jika tidak ada kegiatan tiap hari, tempat ini mati” katanya. “Dengan ibadah, tiap hari ada doa di Puja Mandala. Betapa indahnya.” Momen Jumatan di masjid, misa dan Natal di gereja, atau Odalan di pura makin menguatkan solidaritas antar-umat. Menurut Romo Even, panggilan akrabnya, pihak gereja dan masjid yang berdampingan biasa berbagi tempat untuk umat masing-masing.

Saat Jumatan, misalnya, tempat parkir gereja jadi lokasi bagi kendaraan umat Islam yang shalat kalau tempat parkir masjid penuh. Sebaliknya, saat misa atau Natal, umat Katolik menggunakan tempat parkir di lantai paling bawah Masjid Ibnu Batutah. “Natal tahun itu, kami minta air ke masjid karena mereka punya sumur, sementara air PDAM kami macet,” jelas Romo Even.

Paguyuban koordinasi
Sebagai sarana komunikasi, semua pimpinan agama bergabung di Paguyuban Antar-Umat Beragama Puja Mandala. Menurut Ketua Paguyuban, yang juga Lurah Benoa, I Wayan Solo, paguyuban bertujuan mempererat komunikasi dan membangun toleransi antar-umat beragama di Puja Mandala.

Ketika ada kegiatan suatu agama agar tak terjadi benturan dan tabrakan dalam penggunaan tempat. “Melalui rapat koordinasi, kami saling memaklumi sekaligus menghindari ketersinggungan antar-umat satu dengan yang lain,” kata Solo. Dalam rapat rutin, para pimpinan agama saling mengingatkan tentang pentingnya membangun harmonisasi antar-umat beragama.

“Betapa kita sedih kalau di daerah lain ada demo, seperti Jakarta. Kami ingatkan masing-masing umat di sini agar tak terprovokasi dengan isu SARA” ujarnya.“Rumah ibadah yang tidak punya logika bisa berdiri sejajar harmonis, tapi kita yang dibekali logika dan peradaban, saling tersinggung satu sama lain”.

Dengan harmoni terbangun, Puja Mandala jadi simbol harmoni dan tolerasi di Bali, khususnya Nusa Dua. Tiap hari, ratusan pengunjung domestic-mancanegara datang ke sini tidak hanya beribadah, tapi juga melihat toleransi diterapkan. “Kami tidak hanya berpikir tentang Nusa Dua, tetapi kami ingin tunjukkan kepada dunia inilah bukti harmoni di Indonesia,” pungkas Solo.

(Anton Muhajir; Bahan dari : https://www.benarnews.org/indonesian/berita/id-pujamandala-161230-12302016140319.html)-FatchurR *

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close