Aku cinta Indonesia

Ventilator Salman

(disway.id)- Dosen ITB ini tidak terkena Covid-19, tapi mengisolasi diri di Masjid Salman, ITB, Bandung. Di situ sang dosen merenung: bagaimana membantu penderita Covid-19. Sesuai keahliannya. Maka tercipta ventilator made in Indonesia. Dinamakan : Vent-I.

 

Ini alat kesehatan yang diperlukan; di samping alat pelindung diri (APD). Sampai-sampai Presiden Donald Trump bertengkar dengan para gubernur di AS. Ya gara-gara semua rumah sakit kekurangan ventilator. Akhirnya Trump menggunakan UU pertahanan: minta pabrik mobil Ford, GM, dan pabrik turbin GE memproduksi ventilator. Itu pun sulit.

 

Jumlah yang meninggal akibat Covid-19 di AS membumbung. Sampai kontainer berpendingin dijajar di halaman RS di New York: dijadikan kamar mayat tambahan. Itu yang dibayangkan Dr. Ir. Syarif Hidayat –dosen ITB yang lagi lockdown di Masjid Salman itu. ”Sudah 2 minggu ini saya tidak pulang. Siang malam mengerjakan rancangan ventilator ini,” katanya.

 

Saya pernah beberapa kali ketemu Dr. Syarif Hidayat. Dulu, beberapa kali ke ITB –untuk memberikan kuliah umum. Ventilator penemuan Syarif ini mendekati final.

 

Tim dari Kemenkes sudah ke Masjid Salman. Untuk menguji ventilator pertama made in Indonesia itu. Alat itu dikalibrasi. Diuji. Dites. ”Mudah-mudahan tak lama lagi izin dari Kemenkes keluar,” ujarnya. Dia optimistis. Ia sudah konsultasi dengan tim dari FK Unpad, Bandung.

 

Unpad sudah memberi rekomendasi. Alat itu bisa dipakai dan berfungsi. Dengan rekomendasi FK Unpad itu Syarif maju ke Kemenkes. Lewat tengah malam, ketika ide ventilator itu lahir, Syarif perlu uang untuk membuat modelnya. Tapi ia tidak mau jauh-jauh mencari dana. Itu terlalu lama dan rumit. Ia minta uang ke pengurus Masjid Salman. Menggunakan dana masjid.

 

Itu tak sulit. Syarif pernah jadi ketua takmir Masjid Salman, dua periode. Ia tahu uang yang ia minta itu masih dalam kemampuan masjid. Dan ia optimistis karyanya itu tidak akan sia-sia. Saya percaya itu. Saya langsung pesan 50 buah. Agar proyek Syarif ini cepat berkembang.

 

Saya tahu ventilator Syarif ini –ia beri nama Vent-I, singkatan dari Ventilator Portable Indonesia– bukan yang wah. Wujud fisiknya tidak secantik ventilator bikinan luar negeri. Yang sudah kompak. Tapi saya setuju: yang terpenting fungsinya. Syarif tidak mau memberi harapan berlebihan. ”Vent-I ini khusus untuk pasien yang di luar ICU,” katanya.

 

Justru itu yang penting, terutama keadaan wabah seperti ini. Sedapat mungkin pasien dicegat di ruang perawatan. Jangan sampai banyak yang masuk ICU. Tak ada ICU yang mampu menampung. Tanpa bantuan ventilator, oksigen yang masuk tubuh sangat minim. Akhirnya fungsi bagian tubuh yang lain terganggu. Ujung-ujungnya pasien menjadi gawat –harus masuk ICU.

 

Umumnya rumah sakit hanya punya 2 ventilator. Maksimum 3 buah –khusus di RS besar. Itu hanya ada di ICU. Praktis tidak ada RS yang punya ventilator di luar ICU. Itu lantaran harga ventilator mahal. Bisa Rp 300 juta/unit. Memang ada ventilator portable. Bikinan Tiongkok, harganya bisa Rp 25 juta/unit. Tapi, kini, tidak ada barangnya. Jadi rebutan sedunia.

 

New York saja, satu kota, perlu 70.000 ventilator. Sampai-sampai Trump tidak percaya. Dikira 1 RS  hanya perlu 1-3 ventilator. Kelangkaan itu membuat RS mulai bikin skenario darurat: pasien yang sudah tidak ada harapan jangan diberi ventilator. Atau ventilator yang terpasang pun dicabut. Kalau pasien yang lama dipasangi ventilator itu tidak mendapat kemajuan.

 

Bayangan Syarif: jangan sampai terjadi. Kelangkaan ini harus diatasi. ”Kalau perlu ventilator ini bisa dipakai Indonesia meningkatkan diplomasi,” katanya. Ia yakin Indonesia bisa ekspor Vent-I besar-besaran. Untuk itu Syarif membuka diri: silakan,. Siapa pun yang mampu bisa memproduksi Vent-I. Syarif perkirakan pabrik elektronik Polytron dan pabrik mesin seperti Pura Barutama mampu mengerjakannya.

 

Demikian juga BUMN seperti PTDI dan PT Len Bandung. Syarif siap menyerahkan gambar desain yang siap produksi. Dia pikirkan rantai pasoknya. Ia menghindarkan diri dari sistem pasok alat kesehatan. Agar komponen Vent-I itu mudah didapat di pasar bebas. ”Kalau pakai komponen alat-alat kesehatan tidak mungkin lagi. Sudah langka di dunia,” katanya.

 

Misalnya pompa. Syarif pakai pompa air yang ada di pasar, juga selang. Dia pakai selang mesin cuci baju itu. Biaya total satu unit Vent-I ini bisa ditekan jadi Rp 12,5 juta. Sangat hemat untuk negara miskin. Tentu Syarif menunggu izin edar dari Kemenkes. Beberapa hari lagi. Tim Kemenkes proaktif. Mereka yang sudah datang ke Bandung.

 

Teman-teman Syarif di ITB tidak heran atas penemuannya ini. Syarif dikenal sebagai dosen yang sering menemukan teknologi baru. Ventilator ini, kata temannya, segini baginya–sambil teman itu menjentikkan jari kelingkingnya. Syarif pernah menemukan teknologi kapal. Khusus untuk memasang kabel bawah laut. Kabel listrik maupun kabel optik.

 

Sebutkan di mana ada kabel bawah laut –di situ pasti ada nama Syarif Hidayat. Ia itu Si Doel Anak Betawi dalam versi cerdas dan kreatif. Ia lahir di Jakarta. Hanya SMA-nya di SMAN3 Bandung. Lalu masuk tehnik elektro (arus kuat) ITB. Gelar masternya juga diraih di ITB. Sedang gelar doktor ia peroleh dari Tokyo University, Jepang.

 

Waktu saya telepon kemarin, Syarif masih terus di lokasi lockdown-nya. Salat malamnya dilakukan di bengkel daruratnya itu, di Masjid Salman itu. Nikmat apa lagi yang akan kita dustakan dari Masjid Salman ini. (Dahlan Iskan; Bahan dari : https://www.disway.id/r/889/ventilator-salman)-FatchurR *

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close