Opini dan sukses bisnis

Wanita DIsWay

(jambi-independent.co.id)- Saya gagal mendapat tukang cukur di Bogor. Yang disiarkan Liputan6 itu. Yang di bawah pohon. Yang mengenakan APD. Ia mencoba berubah; menyesuaikan diri dengan era Covid-19.

 

Semoga berhasil. Atau jangan-jangan menyerah –semoga tidak. Atau banting stir ke yang lebih baru –lewat eksperimen di bawah pohon tadi. Kan banyak orang berhasil lewat percobaan bidang lain yang gagal. Berani dulu mencoba sesuatu itulah kuncinya –hasilnya bisa jadi di tempat yang lain lagi. Juga “Wanita DI’s Way” yang satu ini.

 

Dia saya pilih karena dia wanita biasa. Tidak kaya tapi juga tidak miskin. Tidak tua juga tidak muda. Cerdas, meski tidak jenius.  Dia tidak selalu bahagia tapi juga tidak selalu berduka. ‘Wanita DI’s Way’ hari ini sudah mencoba berubah. Sebelum Covid-19 dia jualan jilbab. Di arena seperti bazaar. Di pelataran mall di Jakarta Selatan.

 

Setelah PSBB dia pusing harus hidup dari mana. Dia coba berubah. Untuk, mungkin, yang ke-11 kali. Dia mulai jualan makanan online. Awalnya memberi harapan. Kian ketat PSBB kian merosot jualan online-nya. Hari itu matanyi terus melihat ke layar ponsel. Ketika sehari penuh layar ponselnya no order dia mikir lagi. Harus cari uang ke mana.

 

“Wanita DI’s Way” ini pun naik motor: ke pasar Kramat Jati. Hampir satu jam jauhnya –dengan kecepatan wanita. Dia melihat ada peluang apa di situ. Dia lihat harga-harga. Awalnya dia berencana : nanti sore harga Kramat Jati itu akan dia sebar ke tetangga. Malamnya baru dia bertanya: apakah ada yang berminat.

 

Dia punya nomor ponsel seluruh tetangganya itu –berkat kegiatan sosialnyi. Lalu keesokan harinya akan balik ke Kramat Jati untuk belanja –sesuai dengan order.  Saat kembali ke tempat parkir, ia duduk dulu di parkir sepeda motor itu. Lalu muncullah di pikirannyi: kalau bisa sekarang mengapa harus besok. “Saya ini  sudah buang bensin ke Kramat Jati. Harus ada hasil,” gumamnyi.

 

Dia kembali ke dalam pasar. Dia potret harga-harga yang di atas bahan makanan di situ. Dia kirim foto-foto harga itu ke para tetangganyi. “Langsung ibu-ibu tetangga minta dibelikan yang saya potret itu,” katanyi. “Sampai uang saya tidak cukup,” tambahnyi.

 

Dalam perjalanan pulang ponselnya berdering. Dia berhenti di pinggir jalan TB Simatupang. Ada tetangga yang pesan tambahan. “Tidak mungkin lagi balik ke Kramat Jati,” ujarnyi.

 

Sambil siap-siap mau jalan lagi dia lihat ada lelaki membawa dagangan bandeng presto. Banyak yang belum laku. Dia tanya harganya. Harga itu dia sebar ke ponsel tetangganyi. Dalam 10 menit respon masuk. Sangat deras. “Semua bandeng bapak itu pindah ke sepeda motor saya,” katanya.

 

Setiap kali ke Kramat Jati dia mengenakan ‘pakaian dinas’ Covid19-nyi: masker, sarung tangan, penutup kepala, plastik topeng wajah dan baju luaran. Dia ‘marah dalam hati’:  banyak orang yang abai PSBB. Padahal dia  sampai meninggalkan bazaarnyi demi PSBB.

 

“Wanita DI’s Way” ini punya suami. Tapi dia tidak mau suaminya terlalu banting tulang. Sang suami pernah stroke. Cukup kalau suami kerja kantoran. Yang bayarannya untuk cicilan rumah. Yakni rumah tipe 50 di Depok. Dengan tanah 90 m2. Sekitar 10 menit dari lapangan golf Matoa. Suami mau diajak berhemat. Ke kantor naik motor. Sampai terminal bus. Motor dititipkan di situ. Pindah naik TransJakarta.

 

Untuk keperluan lain istrilah yang ambil tanggungjawab: biaya sekolah anak, makan keluarga, pakaian dan perawatan ibunya yang lagi sakit. Dia tidak menyangka kegiatan sosialnyi 3 tahun lalu berpengaruh baik di saat sulit seperti ini. Padahal waktu itu tidak ada niat apa pun kecuali membantu orang.

 

Waktu itu dia bersilaturahmi ke semua tetangga. Yang umumnya rumahnya lebih besar dari rumahnya. Dia ingin tetangga itu menyumbang beras satu jumput saja (sekitar setengah gelas). Seminggu sekali. Dia sanggup keliling mengumpulkannya. Setiap hari Jumat pagi.

 

Meski targetnya satu tetangga hanya satu jumput, praktiknya ada yang sampai menyumbang 5 kg. Beras itu dikirim ke panti asuhan terdekat. Kalau hasilnya lagi banyak dikirim ke dua atau tiga panti asuhan. “Di kampung itu saya lebih terkenal dari suami,” ujarnyi sambil tersenyum.

 

Kini, di saat PSBB, silaturahminyi 3 tahun terakhir memberinya jalan keluar. Para tetangga tahu reputasi “Wanita DI’s Way” penjual jilbab ini. Dia dianggap orang baik. Sebenarnya dia tetap ingin jualan jilbab di pelataran mall itu. Tapi dia harus menaati aturan PSBB. “Tidak semua orang patuh. Saya lihat banyak yang tidak peduli PSBB,” ujarnyi.

 

“Wanita DI’s Way” ini sempat merasa sulit. Tapi dia tidak pernah menyerah. Kesulitan kali ini dia anggap biasa. Dia sering dalam keadaan lebih sulit. Dia biasa kerja serabutan sejak muda. Waktu jadi karyawan hotel di Bali dia cari uang tambahan: bekerja paruh waktu di travel milik orang Jepang. Yang pekerjaannya sepele: memasukkan nama-nama hotel yang ditawarkan ke turis Jepang.

 

Setamat SMA di Semarang dia ‘lari’ menjauh dari kota pacarnya: patah hati. Dia ke Bali –kuliah perhotelan. Dia menikah. Tapi tetap cari uang. Bisa beli sawah di Ubud. Juga membeli sebuah rumah.

 

Tapi perkawinannyi gagal –setelah punya 2 putri. Dia tidak kuat jadi sasaran kekerasan fisik terus. Dia minta cerai. Sang suami tidak keberatan –asal rumah itu untuk sang suami. Dia pun pergi bersama dua anaknyi. Begitu saja. Kos di rumah orang. Sambil tetap bekerja di dua tempat tadi.

 

Sampailah dia bertemu suaminyi yang sekarang. Yang kerja di anak perusahaan Telkom. Yang memberinya satu anak lagi. Kali ini laki-laki, sudah kelas 6 SD –sudah hafal 15 juz Alquran. “Wanita DI’s Way” ini bertekad tiga anaknya harus jadi orang. Yang pertama kerja di Yakult. Yang kedua baru lulus sastra Perancis di Unnes Semarang.

 

Dia menyekolahkan anak ketiganyi di pesantren: agar kelak bisa berbakti pada ibunya –ketika kelak sang ibu tua. Sang anak juga tahu bagaimana sang ibu merawat ibunyi sampai –baru saja– meninggal dunia.

 

Kegiatannyi ke Kramat Jati kini terancam. Dia lagi mendapat tantangan baru: seorang tokoh di komplek perumahannya tidak suka padanya. Tokoh itu akan melarang kedatangan barang belanjaan dari luar. Dianggap bisa membawa virus.

 

Dia belum tahu bagaimana lagi nanti. Tapi dia yakin bisa menemukan jalan baru. Dia minta pendapat saya. Padahal saya tidak tahu persis situasi sebenarnya. Maka saya hanya mengirimkan padanya satu pertanyaan:

 

Misalkan kita bisa membuat Bill Gate bangkrut-habis, lalu Bill Gate kita buang ke tengah hutan di Afrika. Apakah Bill Gate akan menjadi orang miskin?

 

“Wanita DI’s Way” itu tahu jawabnya. Dia pun tertawa. Anda pun tahu jawaban itu. (Dahlan Iskan; Bahan dari : https://jambi-independent.co.id/read/2020/04/25/50225/wanita-dis-way)-FatchurR *

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close