P2Tel

Bermula dari sakit flu

Pada tahun 2003, saya pensiun dari perusahaan yang sudah mengayomi saya selama 38 tahun. Saya cukup berbahagia dengan karir dan gaji yang baik, yang telah diberikan oleh perusahaan kepada saya. Saya juga berbahagia dengan uang pensiun yang lumayan besar, sekalipun sering kali kurang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari pascapensiun.

Karena kondisi itu, saya kemudian menjadi konsultan dan juga mengajar di beberapa lembaga pendidikan. Dari mengajar itu saya mendapatkan sedikit tambahan uang pensiun saya. Sementara istri saya, Dik Tien, meniti karir baru sebagai MC untuk upacara perkawinan adat Jawa. Saya melihat, ia sangat menikmati profesi ini. Karena keluwesannya, Dik Tien cukup laris dan sering mendapatkan job order.

 

Perolehan fee nya lumayan besar. Anak-anak saya yang berjumlah tiga orang semua sudah mandiri. Mereka semua sudah memiliki karier dan pekerjaan sendiri sejak tiga tahun sebelum saya pensiun. Sejak saya pension, mereka sudah tidak pernah merepotkan dengan meminta bantuan keuangan dari kedua orang tuanya. Sungguh, bagi kami berdua, inilah suatu kehidupan yang harus disyukuri.

Setelah pensiun, saya memilih hobby yang murah, tapi sangat menyenangkan dan energik, yaitu cross country, termasuk di dalamnya mendaki gunung. Sudah ada beberapa gunung di sekitar Bandung yang sudah pernah saya daki sampai ke puncaknya. Pada saat usia saya mendekati 60 tahun, tepatnya empat tahun yang lalu, saya masih mampu mendaki puncak Gunung Tambora di Sumbawa, NTB.

Hobby ini tentu saja membutuhkan fisik yang sehat dan hanya bisa dicapai dengan latihan yang rutin dan teratur. Selama ini saya hampir tidak pernah menggunakan fasilitas kesehatan yang disediakan oleh perusahaan. Saya jarang sakit. Bila pun sakit, saya biasa mengunjungi dokter langganan di daerah Bandung Selatan.

 

Saya sangat bersyukur karena kesehatan saya termasuk prima, kecuali masalah pendengaran yang sudah mulai berkurang. Gigi pun sudah mulai bertumbangan, dan enggan bertengger di mulut saya. Namun demikian, saya masih merasa malas untuk memakai gigi palsu, seperti yang biasa dilakukan kebanyakan orang.

Istri saya juga termasuk orang yang sehat, dan jarang sakit. Sifatnya periang dan ceria. Ia memiliki rasa humor yang tinggi. Dik Tien sifatnya sangat terbuka. Ia juga sangat mudah bergaul karena keluwesan dan sifatnya yang terbuka, kenalannya sangat banyak. Koleganya berasal dari segala lapisan dan kalangan, mulai dari ibu-ibu pensiunan yang tinggal di pinggir sungai sampai ibu-ibu pejabat tinggi.

Saat masih remaja, prestasi Dik Tien ini di lapangan basket dan lapangan badminton ternyata cukup baik. Karena itu tidaklah mengherankan jika saat ia sudah berumur lebih dari setengah abad ini, kegemaran berolahraganya tidak pernah berkurang. Agaknya ini pula yang menjadi penyebab mengapa tubuhnya selalu sehat, dan jarang sekali terkena sakit.

Sekalipun Dik Tien sendiri tidak percaya, istri saya setidaknya menurut anggapan saya sendiri, termasuk wanita berparas cantik. Terutama bila ia mengenakan pakaian tradisional Jawa. Karena kecantikannya, saya sering memanggilnya dengan sebutan bidadariku.

Saya seringkali bergurau dan bercanda dengannya. Salah satu ungkapan gurauan yang pernah saya sampaikan adalah bila saya yang mati lebih dulu, nikahlah dengan pria lain. Karena pasti masih banyak pria yang antri untuk menggantikan saya.

Kami juga sering berjalan berdua, menikmati masa tua berdua. Salah satunya pendakian untuk berwisata alam. Saya lupa tepatnya, tetapi sekitar tahun 2009, saya mengajak istri saya untuk mendaki gunung Burangrang yang terletak di sebelah utara kota Bandung.

 

Gunung ini sudah sering saya daki, sehingga saya tidak khawatir membawanya ke puncak. Alhamdulillah, sekalipun dengan penuh kelelahan, ia berhasil juga sampai ke puncak. Di puncak gunung, Dik Tien berfoto ria dengan teman-teman saya.

Dalam rombongan pendaki saat itu, Dik Tien merupakan satu-satunya wanita. Ia pun sudah berumur lebih dari 55 tahun, usia yang lebih tua daripada banyak pria dalam rombongan pendaki itu. Tidak ada yang menyangka bahwa pada saat itu, segumpal tumor ganas sudah bersarang di dalam perutnya. Inilah kehendak Tuhan yang Mahakuasa atas semua hamba-Nya.

Beberapa minggu setelah pendakian itu, istri saya menderita sedikit flu. Ia harus ke dokter. Padahal ketika itu, ia sedang menerima job order untuk menjadi MC sebuah acara. Ia pun harus menyanyikan sebuah tembang Jawa. Dokter keluarga kami, biasanya dapat membantunya dengan memberikan obat yang cespleng, sehingga ia tidak perlu kehilangan suara pada saat yang dibutuhkan.

Pada saat ia berbaring di kamar periksa dokter yang sudah berusia lebih dari 85 tahun itu, Dik Tien meminta dokter untuk memeriksa sebuah benjolan kecil di bagian bawah perutnya. Kemunculan benjolan itu hanya kadang-kadang. Sama sekali tidak mengganggu aktivitasnya.

“Ini mungkin Kista”, ungkap dokter.
“Saya sarankan, segera diambil saja benjolan itu”, kata dokter sepuh itu lagi.
“Apa ini bukan kanker, dok?” istri saya bertanya.
“Ah, tidak. Ibu ‘kan sehat. Segar bugar. Tidak ada keluhan apa-apa. Saya berharap benjolan ini hanya kista. Namun, sebaiknya, saya menyarankan untuk memeriksanya, dan mengangkatnya”, dokter itu melanjutkan.

Keterangan dan penjelasan dokter tersebut sangat melegakan kami berdua. Namun ternyata, beberapa hari kemudian, penjelasan itu menjadi awal dari kisah panjang yang dituliskan dalam buku ini…****

(Dikutip dari buku Bulan Madu Pasien dan Caregiver. Penulis: SH. ISBN 978 979 778 157 6. Penerbit Humaniora. Cetakan pertama, Rabiul Tsani 1433/Maret 2012 M, halaman 8-13- Agus Suryono)-FR

Tulisan Lainnya :

Exit mobile version