Malam sebelum perjalanan ke Burangrang, saya agak sulit tidur. Dari daftar peserta, yang pernah dan siap mendaki hanya beberapa orang saja. Yang belum pernah mendaki, tapi saya tahu kebugaran fisiknya prima, juga hanya beberapa saja. Kebanyakan, besok adalah percobaan pertama mendaki gunung sesungguhnya. Kondisi tersebut menyebabkan saya galau dan khawatir. Saya khusuk berdoa semoga besok diberikan keselamatan kepada kami semua.
Masih, terpengaruh oleh kegalauan saya semalam, pada saat saya menyapa pagi, sebelum kami mengadakan stretching, sekali lagi saya pesan kepada teman-teman untuk tidak menjadikan puncak Burangrang sebagai target. Maksudnya, agar kita bisa mengukur diri, kalau tidak mampu ya turun, tidak perlu malu.
Saya sebutkan bahwa puncak Burangrang sekedar milestone, bahwa ternyata kebugaran tubuh saya memungkinkan, kapabel. Jadi tujuan utamanya dari semua kegiatan ini adalah mencari ridla Tuhan, sebagai balasan atas nikmat Nya bahwa kita diberikan kesehatan dan kesempatan.
Burangrang menyimpan banyak misteri, Ada pesawat yang jatuh, tanpa sebab dan teselip tanpa diketahui. Ada korban yang juga gugur dalam pendakian. Beberapa jalur, kiri kanan jurang
puluhan bahkan lebih dari seratus meter. Pada beberapa tempat, ada semak jebakan, bila kita injak langsung kita terjun ke jurang yang menganga.
Maka saya wanti-wanti sebelum berangkat agar tidak takabur. Takabur, apalagi dihadapan Tuhan dan ciptaan Nya mengundang hukuman. Bahkan tepat sebelum berangkat, saya sarankan bagi pemeluk Islam untuk selalu berdzikir, setiap saat dimana tempat.
Sekalipun, semula ada yang tersendat, namun akhirnya 100% sampai menyentuh puncak. Saya bersyukur, tetapi belum lega. Masih khawatir, karena perjalanan turun boleh jadi lebih berbahaya, perut kenyang jadi kurang waspada, sepatu lecet, karena jari-jari menekan ke ujung sepatu dan tentu saja sudah kelelahan.
Yang sangat membesarkan hati saya adalah kedua Sherpa. Melebihi harapan saya. Mereka bukan sekedar kuli angkut, tetapi dengan tulus betul-betul menjaga rombongan. Keduanya fisiknya prima, pengalamannya luar biasa. Saya jadi sangat tenang dan berani memimpin di rombongan depan dengan
para old-crack.
Namun justru terlalu pe-de, para oldcrack ini, hanya sekitar beberapa ratus meter dari truck yang menunggu malah kesasar beberapa kilometer. Pesan saya untuk tidak Takabur, ternyata memakan korban diri sendiri.
Saya segera calling pak Tjahyanto yang masih di belakang untuk menanyakan kepada penduduk dan tentara yang sedang oleh raga dekat tanki biru, agar tidak mengalami hal yang seperti kami, kesasar. Mohon maaf, agak kacau juga suasana saat itu. Tambahan lagi, pimpinan pak Zainal, yang ikut rombongan terakhir, tidak membawa hand-phone. Terpaksa pak Tjahyanto menjadi pimpinan ex-officio. Terima kasih pak.
Saya sempat sangat panik, menerima laporan pak Tjahyanto hanya 10 orang di truck. Kami yang berjalan 5 orang, jadi kemana dan siapa yang 2 orang lagi. Berulang kali di absen, masih membingungkan. Akhirnya misteri terkuak, yang ‘hilang’ justru pak Mustadjab dan pak Maman, kedua-duanya top-nya rombongan. Rupanya, kedua beliau ini menyusul keatas lagi dengan berjalan kaki. Alhamdulilah, lengkap berangkat dan pulang. Saya lega banget.
Pulang naik angkot, rombongan berantakan, satu angkot yang karena sudah kelelahan berjalan tambahan beberapa km akibat tidak tertampung truk langsung naik angkot ke markas P2Tel.
Sedangkan satu angkot lagi masih panas bernegosiasi harga di terminal Parongpong.
Belajar dari pengalaman ini, pak ThW mengusulkan persyaratan tambahan untuk pendakian berikutnya, para pendaftar agar mengukur sendiri BMI, nya. BMI adalah angka hasil perhitungan berat tubuh dibagi kuadrat tinggi dalam meter. Bagi yang index BMI, nya masih diatas 25, di sarankan berolah raga rutin, ketat sampai memenuhi syarat. (Salam 4T-SH)-FR