P2Tel

Lumpur Pembilas Emosi

Mengenang peristiwa tragis Tsunami Aceh, Desember 8 tahun silam, saya sunting kembali sebuah “cerpen fiktif” persembahan saya via Media massa  tahun 2005. Semoga tidak lagi pernah terulang. Sejak Achmad di PHK oleh perusahaan tempat  bekerjanya di Banda Aceh, dia mengalami perubahan diri secara  drastis.

 

Bermodal ijazah SMU dan sedikit pengalaman kerja, dia telah berkeliling melamar kerja kembali ke beberapa kantor pemerintah dan perusahaan swasta lainnya. Namun tidak satupun yang bersedia menerimanya dengan alasan “ tidak ada lowongan kerja ”.

 

Waktu terus berjalan seiring uang tabungannya  juga terus terkuras menipis  tanpa ada penambahan sepeserpun.  Untuk sekedar dapat membeli rokok, dia paksakan waktu malamnya ikut menjadi petugas keamanan kampung dengan honor sekedarnya. Karena himpitan ekonomi  dan stres, akhir-akhir ini timbul perubahan sikap dan perilaku Achmad yang berbeda dengan sebelumnya.

 

Dia berubah jadi orang yang emosional dan sensitif.  Hampir tiap hari terjadi keributan di rumahnya. Istri dan anak perempuan satu-satunya yang berumur 5 tahun menjadi pelampiasan emosinya. Keluarganya hanya prihatin dan sering menangis pada tiap pertengkaran yang kadang penyebabnya hanya sepele.

 

Dia tak suka istrinya masih ikut arisan ibu-ibu kampung. Apalagi kalau istrinya mengeluh, uang belanja dan keperluan sekolah anaknya. Yang paling dia benci, mendengar teguran dan sindiran ibu mertuanya. Achmad sering mengatai mertuanya  cerewet dan serakah. Bagi istri dan ibu mertuanya, mereka pikir lumrah kalau menegur Achmad agar tidak menjadi pemalas, pemarah dan lupa shalat. Bangun tidurnya siang dan seharian hanya termenung sambil menghisap rokok kretek kesayangannya.

 

Dari hasil kerja ronda malam, memang tidak bisa diharap untuk  menambah uang lauk pauk. Praktis hampir setahun  kehidupan mereka hanya mengandalkan sisa tabungannya di BRI dan uang pensiun janda PNS rendahan ibu mertua Achmad.

 

Untung saja almarhum ayah mertuanya meninggalkan rumah milik sendiri walau sederhana tetapi telah menjadi tempat bernaung bagi mereka. Boleh dikata Achmad bersama istri-anaknya, tinggal dan menumpang hidup pada mertuanya.

 

Minggu pagi 26/12/04, seperti biasanya Achmad bermalas-malasan di tempat tidur walau matahari mulai beranjak naik. Dia merasa cukup alasan untuk santai karena ketika subuh dia baru kembali dari tugas ronda kampung. Sekarang dia telah terjaga dari tidurnya yang hanya sebentar.

 

Beberapa kali mulutnya menguap karena matanya masih mengantuk tapi kesadaran saraf otaknya tidak mau lagi diajak kompromi untuk tidur kembali.  Badannya berbaring gelisah, bergelut dengan hatinya yang menebar getaran rasa cemas. Semua diluar jangkauan otaknya untuk mengetahui penyebab perasaan kalut yang dihadapinya.

 

Tiba-tiba pendengarannya merasa terusik oleh samar-samar suara ibu mertuanya yang berbicara dengan istrinya di luar kamar. Awalnya dia tidak ingin mendengar dan tidak mau peduli dengan apa yang mereka bicarakan. Sepintas namanya di sebut-sebut. Masa  bodoh pikirnya. Dasar cerewet!!.

 

Dia mencoba menutup telinganya dengan bantal. Tapi suara mereka masih juga tembus. Ketika terdengar suara keras ibu mertuanya, dia menggeliat bangun dan telinganya berusaha menangkap apa sebenarnya yang keluar dari mulut ibu mertuanya.

 

“Bilang pada suamimu ya. Kalau sampai awal tahun 2005 belum juga bisa memberi nafkah hidup kamu dan anakmu, lebih baik cerai saja. Buat apa hidup dengan suami pengangguran, pemalas dan pemarah. Dirumah ini dia hanya jadi benalu dan setan,” suara keras dan ketus ibu mertuanya.

 

Mendengar itu, Achmad berdiri gemetar.  Perasaan hati yang gelisah dan cemas hilang, berubah menjadi amarah. Matanya melotot dan giginya gemeretak merasakan kobaran api membara dalam hatinya. Dengan keras dia membuka daun pintu dan membantingnya ke tembok dinding. Duaarr..!!. Bunyinya memekakkan gendang telinga. Tampak berdiri dihadapannya, istri dan ibu mertuanya yang kaget. Mereka kemudian beranjak pergi menghindar sambil melengos dan mencibir mencemohkan.

 

“Hey sebentar!!. Kalau mau minta cerai tidak usah tunggu 2005. Sekarangpun saya layani. Saya memang orang tidak berguna di rumah ini. Di Republik ini tidak ada yang menghiraukan saya. Semua lapangan kerja tertutup. Memangnya saya harus cari duit dengan mengemis?!,”  teriak Achmad dengan suara serak bergetar dan terhenti sejenak karena distorsi gejolak emosinya.

 

Istri dan ibu mertuanya membisu dan agak ketakutan melihat sikap Achmad yang sedang gusar. “ Cerai atau tidak, hari ini saya akan pergi ke hutan jadi anggota GAM. Hubungan kita putus. Dengan RI juga putus. Putus selamanya. Puas?!,” lanjut Achmad dengan suara berapi-api sambil kepalan tangannya memukul-mukul tembok.

 

Istrinya terperangah mendengarnya. Sungguh diluar dugaannya karena sejauh ini ia tahu kalau suaminya samasekali tidak pernah menaruh simpati terhadap GAM. Sekonyong-konyong  dia berkata mau pergi bergabung dengan GAM. Apakah itu hanya gertak sambalnya yang marah, kecewa dan frustrasi? Tapi bagaimana kalau benar?.

 

Memang terbesit dibenaknya memilih bercerai dengan Achmad, namun tidak terbayang kalau suaminya akan menjadi anggota GAM. Kalau disuruh memilih, lebih baik suaminya itu mati kelaparan daripada hidup bersama GAM yang dinilai sesat oleh Pemerintah  dan banyak lapisan masyarakat   NAD. Meski demikian, ia berharap bahwa konflik atau pertikaian yang sudah berlangsung lama dan menyengsarakan rakyat Aceh khususnya, segera dapat berakhir dengan damai tanpa pertumpahan darah.

 

“ Setan apa lagi yang mengajak kamu masuk GAM. Kamu lebih baik mati tidak makan daripada mati konyol dimakan peluru TNI. Jangan tambah lagi dosamu,” sergah istrinya dengan luapan amarah dan pikirannya yang campur aduk.

 

“ Peduli amat!!. Daripada hidup dihina perempuan, lebih baik mati dalam sebuah perjuangan untuk memperoleh kehidupan yang layak. Lihat saja nanti nasibmu kalau GAM menang”.

“ Huuh.. mimpi !!,” dengus ibu mertuanya memotong.

 

“ Lihat saja nanti. Dan Direksi perusahaan yang telah mem-PHK saya, tamat riwayat mereka ke neraka!!,” teriak Achmad meraih daun pintu dan menutup dengan keras. Terkejut oleh bunyi pintu dibanting, Risna, anak perempuannya muncul dari kamar tidur neneknya sambil merengek menangis.

 

Didalam kamar, Achmad mengkemas beberapa potong pakaian, sarung, sajadah dan peci yang dimasukkan kedalam tas ransel kecil kedap air. Tanpa menoleh lagi kepada istri dan mertuanya yang duduk di kursi meja makan, dia beranjak pergi. Di pintu depan  anaknya mencegat. Achmad  berjongkok kemudian mencium kening dan menggosok-gosok rambut Risna .

 

“ Ayah mau kemana?,” tanya Risna sambil menggaruk-garuk kepalanya.

“ Ke hutan. Risna sekolah yang baik ya,” jawab Achmad lalu melangkah meninggalkan rumah.

Istri dan mertuanya hanya  diam seraya melirik kepergian Achmad. Keduanya merasa terbelenggu dan hanyut dalam pikirannya masing-masing tanpa mampu berkata sepatah-katapun.

 

Ketika dimulut gang, Achmad menghentikan langkah. Perasaan gelisah dan cemas yang dialaminya tadi pagi, muncul di hatinya. Sejenak dia menoleh ke belakang, menarik napas panjang dan kemudian menyulut rokok di bibirnya. Pandangan matanya kosong. Lalu dia  berjalan kearah dalam kota.

 

Sekitar 500 Mt, dia dikejutkan puluhan warga yang berhamburan lari keluar rumah. Mereka panik  berteriak histeris : “ Gempa .. gempa… cepat keluar!!!”.  Sekejap, jalanan dan halaman rumah dipenuhi orang-orang yang menyelamatkan diri.

 

Achmad merasakan getaran gempa sangat kuat dan berlangsung cukup lama. Gemuruh dan gemerincing terdengar datang dari rumah-rumah yang terguncang hebat. Sementara tiang-tiang listrik, telepon dan pepohonan di pinggir jalan bergoyang keras seakan melakukan gerakan erobik pagi hari.

 

Dia sadar apa yang terjadi. Kepalanya pusing lalu dia duduk di aspal jalan yang bergoyang tak beraturan. Dia tidak tahu harus berbuat apa, pikirannya melayang ke istri dan anaknya. Sesaat  kemudian getaran gempa terasa melemah dan berhenti.

 

Dia duduk terdiam. Timbul konflik antara batin dan pikirannya. Haruskah dia melanjutkan perjalanan tanpa peduli keadaan keluarganya di rumah?. Atau kembali dulu menengok situasi yang terjadi di rumahnya? Sepintas terpikir, pasti mereka juga telah menyelamatkan diri keluar rumah seperti yang dia lihat  dilakukan oleh warga di sekitar tempat dia duduk.

 

Tatkala melintas bayangan wajah ibu mertua yang cerewet, sambil berdiri dia memutuskan melanjutkan perjalanannya. Gumamnya : “ Pasti mereka selamat. Perkara rumahnya rusak ataupun ambruk, masa bodoh. Itu urusan ibu mertua cerewet. Rasakan sendiri, tanpa keberadaan saya di rumah.”

 

Sepertinya perasaan dongkol kepada ibu mertuanya melekat kuat di hatinya. Sebagian warga kembali masuk memeriksa rumahnya masing-masing. Sambil berjalan lambat, dia melihat beberapa rumah  ada yang rusak berat, bagian temboknya retak atau miring tapi tidak ada tanda-tanda adanya korban jiwa.

 

Sebagian mereka masih bergerombol di luar rumahnya. Ada yang berbincang-bincang ramai dan serius. Ada juga yang sedang membaca doa dan bahkan menangis meraung-raung melihat kondisi rumahnya yang rusak. Achmad terus berjalan dengan perasaan yang tidak menentu.

 

Berselang beberapa puluh menit kemudian, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara gaduh. Banyak orang  berlarian  di jalanan sambil berteriak-teriak : “ Lari… air laut naik .. laut banjir !!”.

Hati Achmad tersentak melihat ratusan warga baik tua, muda dan anak-anak yang kalang-kabut berlari dikejar air keruh bercampur sampah dan lumpur setinggi lutut yang mengalir deras  membanjiri jalanan.

 

Warga yang sudah masuk rumah, kembali berhamburan keluar. Kali ini tampak kepanikan mereka yang luar biasa. Mereka tidak lagi bergerombol di jalan tapi terus berlarian menghindari datangnya aliran air. Banyak diantara mereka menggendong anak-anaknya yang menangis berlari menuju kearah kota.

 

Beberapa warga  tampak sibuk menaikkan anggota keluarga dan barang-barang yang bisa dibawa, kedalam mobil. Tapi tampak juga beberapa orang yang hanya bergerombol di teras lantai dua rumahnya sambil melihat kearah datangnya air.

 

Sementara Achmad tetap berdiri kaku di tengah jalan diantara orang-orang yang berlarian. Disaat itulah  batin dan pikirannya menyatu. Dia bertekad harus kembali kerumah untuk menyelamatkan keluarganya. Di hati kecilnya berharap keluarganya sudah berlari ke tempat yang lebih tinggi dan aman. Apakah itu ke rumah panggung tetangganya ataupun bangunan tinggi lainnya.

 

Terpikir olehnya, kalau air bah di tempat dia berdiri hanya hampir setinggi lutut maka disekitar rumah tinggalnya yang daerahnya sedikit  lebih rendah, paling setinggi perut/dada. Karena itu dia memutuskan bergerak ke rumahnya berusaha menolong keluarganya. Dia berjalan berlawanan dengan arus manusia yang berlari menjauhi air. Dia tidak peduli ketika banyak orang menyuruhnya balik arah.

 

Terbayang kuat wajah istri dan anak satu-satunya yang harus diselamatkan. Walau tekadnya besar tapi ternyata langkah kakinya tersendat dan sulit melangkah maju menentang arus air pekat yang menyeret segala macam material  terapung. Kaki dan pahanya mulai terasa sakit dibentur potongan papan dan balok kayu. Dia pantang menyerah dan masih terus berusaha maju.

 

Tiba-tiba dari arah depan terdengar suara yang sangat bergemuruh. Dia tercengang dengan mata terbelalak melihat air setinggi tiang telepon datang dengan kecepatan tinggi. Apa saja yang menghadangnya diterjang porak-poranda.

 

Pepohonan di pinggir jalan tercabut dengan akarnya. Mobil mengambang dan hanyut seperti mainan plastik. Sungguh yang dilihat, diluar dugaan dan pikirannya. Sempat muncul di benaknya bahwa inilah yang dinamakan tsunami, gelombang raksasa air laut yang datang menerjang daratan. Dia tidak berdaya berbuat kecuali menadahkan tangan sambil menengadahkan kepalanya keatas dan menyeru asma Allah : “ Allahu Akbar …. Allahu Akbar”. Dia pasrah untuk tewas.

 

Sedetik kemudian badannya terasa tergulung dan terbenam di dalam air yang keruh pekat  karena bercampur pasir dan lumpur. Entah berapa lamanya dia dijadikan bulan-bulanan ganasnya tsunami. Badannya timbul tenggelam dan hanyut terombang-ambing.

 

Rupanya tas ransel yang terikat  di punggungnya berfungsi seperti pelampung. Air asin penuh lumpur tertelan mulut dan lubang hidungnya. Dia berjuang untuk terus bernapas dan melindungi kepalanya dari hantaman balok-balok kayu yang seakan berlomba renang tanpa aturan. Lalu tanpa disadari, tubuhnya tiba-tiba sudah berada didalam perut sebuah sampan kecil yang terbuat dari kayu. Berkat sampan itulah nyawa Achmad terselamatkan dari maut.

 

Ketika akhirnya air tsunami surut , sampan terdampar di suatu tempat, tidak jauh dari sebuah bangunan mesjid kecil yang masih berdiri kokoh. Dia berusaha bangkit dan keluar dari sampan. Sekujur badannya terasa nyeri dan menderita luka gores serta memar. Masih disyukuri kepalanya luput dari benturan balok-balok kayu atau benda besar terapung lainnya.

 

Dengan tertatih-tatih dia berjalan menuju ke bangunan mesjid. Didalam mesjid yang lantainya penuh lumpur dan potongan kayu, ada beberapa orang yang rupanya juga selamat dari maut. Karena badannya yang masih lemah, malam itu dia memilih tetap tinggal sendirian di mesjid.

 

Dia tertidur kelelahan diatas sebuah meja panjang yang kebetulan ada di sudut tembok dalam mesjid. Tapi sekitar tengah malam dia terjaga dari tidurnya. Agaknya hatinya disadarkan untuk melaksanakan sembahyang  dan sujud syukur.

 

Dia terbenam dalam kekhusukan berdoa disertai derai air matanya. Memohon kepada Alllah Yang Maha Kuasa agar istri, anak dan ibu mertuanya diberikan keselamatan. Kalaupun tidak selamat, mohon arwahnya diberikan tempat yang layak sesuai amal ibadahnya.

 

Di hati sanubarinya sudah luntur perasaan marah, jengkel atau permusuhan kepada mereka terutama ibu mertuanya. Kalaupun ada kesalahan yang mereka perbuat selama ini, diapun sudah ihlas memaafkannya. Demikian sebaliknya dia meminta maaf atas segala kekeliruan dan kehilafannya.

 

Selesai berdoa dan sujud syukur, tiba-tiba antara nyata dan halusinasi, di hadapannya telah berdiri istri, anak dan ibu mertuanya. Mereka mengenakan pakaian serba putih bersih. Dengan tersenyum ramah, ketiganya tampak sangat cantik dan anggun.

 

“ Kami ikut mendengar doamu. Tabahkan iman dan jiwamu menghadapi cobaan ini. Ihlaskan kami mendahului menghadap Sang Maha Pencipta. Selamat tinggal,” kata mereka serempak kemudian lenyap dari pandangan matanya. Achmad tertegun, terhenyak lalu tertunduk seraya berkata lirih : “ Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun”.*** (Oleh : Imam Sujoto – 2005).

Tulisan Lainnya :

Exit mobile version