Bila anda orang Jogya tentu mengerti maksud saya. Intip disini maksud saya adalah kerak-nasi, bukan urusan intai mengintai. Coba iseng anda ke toko oleh-oleh di Jogya yang jumlahnya ribuan, tanyakan ke pelayannya : Mbak, ada kerak nasi?
SI Mbak penjaga toko tentu akan menggeleng sambil mengernyitkan alis. Tapi cobalah tanyakan intip goreng, maka anda akan dapatkan penganan yang super lezat itu. Di tahun 60-an, jaman makanan susah, intip ini termasuk makanan kelas dua.
Masih banyak makanan lain yang lebih gurih, misalnya goreng entung (ulat jati) atau laron. Paling tidak banyak pilihan lain misalnya getuk, canil, ketek, gatot atau tiwul. Apalah intip? Hanya sisa orang yang malas mengukus nasi, sehingga beras cukup direbus dan keraknya yang hangus dicukil, dijemur dan digoreng.
Jaman sekarang saat camilan import membludak, intip malah naik daun. Orang Jogya memang kreatif, hanya di Jogya (atau Solo, Klaten, Muntilan dan Magelang), intip di produksi secara
khusus. Intip bukan lagi makanan sisa produk gagal, tapi justru menjadi produk utama.
Harga intip pun melambung, se-lembar intip dengan diameter 23 cm (ukuran pancinya) harganya bisa sampai IDR 12.000 jauh diatas harga sepiring nasi yang nota-bene produk intinya. Tapi bila anda ingin yang lebih murah, cobalah ke pasar Kranggan di dalam, bisa beli kiloan dan bisa dicicipin dahulu apakah sudah tengik? Lebih murah lagi bila anda beli intip yang masih mentah, tapi tempatnya menjadi rahasia saya, maaf, nanti takut anda borong.
Saya jadi ingat saat belajar di Eropa, tidak mahir menanak nasi, sehingga menghasilkan banyak intip. Di sana iklimnya kering, sehingga intip tidak perlu dijemur, dalam beberapa hari sudah siap di goreng. Setiap minggu, kami bergiliran mengadakan pesta intip goreng. Di udara yang dingin itu, intip goreng bukan main lezatnya. (SH; http://fundamen40.blogspot.com; Creator of Fundamen Top40)-FR