Dari Milis tetangga, jika kita simak dan bila tidak ada langkah-langkah perbaikan yang nyata dari para pemimpin bangsa, Indonesia mungkin dapat menjadi bangsa seperti yang digambarkan oleh Gibran hampir satu abad yang lalu, seperti dibawah ini (Sps)
Kasihan bangsa
yang mengenakan pakaian
yang tidak ditenunnya,
memakan roti dari gandum
yang tidak ia panen,
dan meminum susu
yang ia tidak memerasnya.
Kasihan bangsa
yang menjadikan orang dungu
sebagai pahlawan
dan menganggap penindasan penjajah
sebagai hadiah.
Kasihan bangsa
yang meremehkan nafsu dalam mimpi-mimpinya
ketika tidur,
sementara menyerah padanya
ketika bangun.
Kasihan bangsa
yang tidak pernah angkat suara
kecuali jika sedang berjalan
di atas kuburan,
tidak sesumbar
kecuali di reruntuhan,
dan tidak memberontak
kecuali ketika lehernya sudah berada
di antara pedang dan landasan.
Kasihan bangsa
yang negarawannya SERIGALA,
filosofnya gentong nasi,
dan senimannya tukang tambal dan tukang tiru.
Kasihan bangsa
yang menyambut PENGUASA BARUNYA
dengan TEROMPET KEHORMATAN,
NAMUN MELEPASNYA DENGAN CACIAN,
hanya untuk MENYAMBUT PENGUASA BARU LAIN,
dengan TEROMPET LAGI.
Kasihan bangsa
yang ORANG SUCINYA DUNGU
menghitung tahun-tahun berlalu,
dan ORANG KUATNYA MASIH DALAM GENDONGAN .
Kasihan bangsa
yang TERPECAH-PECAH, dan MASING-MASING PECAHAN,
MENGANGGAP DIRINYA SEBAGAI BANGSA. (SPS; bahan dari Kahlil Gibran)-FR
————
Pity The Nation…
Pity the nation that is full of beliefs and empty of religion.
Pity the nation that wears a cloth it does not weave,
eats a bread it does not harvest,
and drinks a wine that flows not from its own wine-press.
Pity the nation that acclaims the bully as hero,
and that deems the glittering conqueror bountiful.
Pity a nation that despises a passion in its dream,
yet submits in its awakening.
Pity the nation that raises not its voice
save when it walks in a funeral,
boasts not except among its ruins,
and will rebel not save when its neck is laid
between the sword and the block.
Pity the nation whose statesman is a fox,
whose philosopher is a juggler,
and whose art is the art of patching and mimicking.
Pity the nation that welcomes its new ruler with trumpeting,
and farewells him with hooting,
only to welcome another with trumpeting again.
Pity the nation whose sages are dumb with years
and whose strong men are yet in the cradle.
Pity the nation divided into into fragments,
each fragment deeming itself a nation ( PS; Khalil Gibran wrote this early in the 1900s (published in 1933 in The Garden of the Prophet)-FR