Beberapa orang pensiunan yang kehidupan ekonominya cukup baik, relative berharta berlebih sedang berdiskusi. Obrolannya sampai pada pemahaman harta dari sisi agama, panjang lebar dibicarakan sesuai persepsinya.
Ada 2 masalah yang didikusikan yaitu yang pertama “Apakah mewariskan harta adalah ibadah?” dan pertanyaan susulannya “Kalau semuanya diwariskan, apa yang tersisa untuk kita”. Dari diskusi tersebut dapat ditarik benang merah yang disampaikan sebagai berikut:
Meninggalkan harta untuk akhli waris adalah baik, karena itu menjalankan perintahNya, agar kita tidak meninggalkan keturunan yang lemah. Tapi banyak dari kita mengartikan keturunan yang lemah itu dari sisi ekonomi saja.
Padahal yang penting jangan meninggalkan keturunan yang lemah akidah, lemah ilmu dari yang berkaitan dengan pemahaman agama atau ilmu yang dimanfaatkan mencari nafkah, yang akhirnya lemah dalam praktek ibadah dan lemah dalam mengarungi kehidupan. Kalau demikian maka akan mengalami kerugian di dunia dan di akhirat.
Pada umumnya Ortu khawatir kelak kehidupan materi anaknya tak tercukupi, sehingga seolah kalau harta terkumpul semua untuk menjamin kehidupan dan rizki mereka. Padahal Alloh Swt berfirman bahwa semua mahluk yang ada di bumi ini sudah dijamin rizkinya sebagaimana tertuang dalam QS Hud ayat 6
“Tidak ada satu binatang melatapun di bumi ini melainkan Alloh-lah yang mengatur rizkinya”. Binatang melatapun dijamin rizkinya, apa lagi manusia makhluk yang Alloh ciptakan sebagai kholifah di muka bumi, jadi apa yang harus dikhawatirkan tentang rizki anak keturunan?.
Kewajiban Ortu membesarkan, mendidik, membekali ilmu yang bermanfaat dan mendo’akan agar anaknya jadi orang yang salih dan salihah. Kalau itu sudah dilaksanakan Alloh Swt yang menentukan takdirnya, disamping usaha dari anak itu.
Karena dibekali dengan ilmu yang lebih baik dan lebih banyak, pendidikan yang relative tinggi dibanding dengan Ortunya, boleh jadi kehidupan mereka lebih baik, mencari nafkah lebih mudah, dan mendapatkan titipan harta yang lebih banyak.
Jadi yang diwariskan kepada anak-anak agar tidak menjadi keturunan yang lemah, titik beratnya bukanlah harta, karena berapapun banyaknya jika tidak pandai mengelolanya bisa cepat habis. Tapi yang lebih penting adalah agar mereka berakidah kuat, akhlak terpuji, kebiasaan yang bermanfaat baik untuk diri sendiri ataupun orang lain. Dengan kata lain dapat menjalankan habluminalloh dan hablu minannas sesuai dengan syar’i.
Pertanyaan kedua “Kalau semua diwariskan apa yang tersisa untuk kita?. Atau setelah kerja puluhan tahun, siang malam berfikir untuk mengumpulkan harta yang penuh dengan risiko yang harus dikorbankan, kalau semua diwariskan, apa “upah” yang kita peroleh.
Jawabannya ada 2 yaitu yang pertama sebelum jatuh menjadi hak akhli waris maka dipergunakan untuk bersenang sepenuhnya untuk memenuhi hasrat dunia, namun sebagai umat Islam yang percaya hari pembalasan jawaban ini tidak sesuai dengan tuntunan Alloh Swt sebagaimana dicontohkan Rasul-Nya.
Jawaban kedua, sepantasnya kita memanfaatkan sebagian harta itu untuk bekal setelah kita wafat ini, pemanfaatannya sebagai rasa syukur karena diberi rizki berlebih, yang akhirnya kembali kepada kita dalam bentuk balasan Alloh Swt. Jika manusia berbuat kebaikan, berarti untuk dirinya sendiri.
Dalam diskusi disinggung pengertian umum infak, seorang pensiunan mendapatkan pencerahan tentang infak ini, dia menyampaikan, di masyarakat bahkan di kalangan lembaga yang mengurus zakat sering disampaikan istilah zakat, infak dan shodaqoh (zis).
Ketiganya berakar pada kata infak (membelanjakan) harta. Infak dibagi dua, pertama fii sabili thoghut yaitu membelanjakan harta untuk hal-hal yang dilarang Alloh Swt : Judi, memperjual belikan barang haram, berzina, atau melakukan uang sogok dan korupsi.
Yang kedua infak fii sabilillah yaitu membelanjakan harta sesuai perintah Alloh Swt, dalam katagori ini ada infak yang sudah ditentukan jumlahnya yaitu zakat, dan yang tidak ditentukan jumlahnya yaitu infak sunnah atau shodaqoh, dan wakaf. Wakaf adalah potensi luar biasa yang dapat dimanfaatkan untuk mengangkat harkat dan derajat kaum yang tidak mampu.
Disampaikan berbagai janji Alloh yang memberikan balasan atas harta yang diinfakan di jalan-Nya (QS Albaqoroh 261, Al Hadiid 11, Saba 39, Al Lail 17-21), dll. Namun ada ayat yang disdiskusikan agak panjang yi QS Ali Imran ayat 92 “Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai”
Para muffasirin menafsirkan kebaikan dalam ayat ini sebagai Rakhmat Alloh dan Rakhmat Alloh terbesar adalah surga, salah seorang pensiunan menyampaikan sepertinya melaksanakan ayat ini jadi salah satu syarat masuk surga di samping syarat-syarat yang lain.
Mereka juga membicarakan Hadits Bukhari dan Muslim bahwa setelah Firman Alloh ini turun, seorang sahabat Anshor kaya, Abu Tholhah, dia mempunyai dan menyukai kebun di Bairuha, Rasullulloh sering masuk kebun itu dan minum air bersih yang terdapat disana.
Abu Tholhah datang ke Rasul dan berikrar menyedekahkan kebun itu kepada kerabat dan anak pamannya, Rasul bersabda “Bagus, itu harta (yang mendatangkan) untung”. Apalagi kalau membaca riwayat sahabat yang berlomba menginfakkan hartanya untuk syiar Islam seperti Abu Bakar, Umar bin Khotob, Utsman bin Affan dan Abdurakhman bin Auf, mereka sosok yang perlu diteladani dalam hal berinfak.
Persoalan berikutnya, sebaiknya berapa banyak dari harta kita diinfakkan agar jadi bekal kelak di Yaumil Akhir, dalam bentuk infaq, shodaqoh atau wakaf saat kita hidup, atau berbentuk wasiat yang nanti akan dilaksanakan jika pemilik harta wafat ? Jawabnya tak ada hitungannya (ghoirro muqodar), kecuali zakat yang hitungannya sudah ditentukan.
Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Rasullulah tidak memperkenankan Sa’ad bin Abi Waqqosh yang akan mewasiatkan seluruh hartanya dan membolehkan mewasiatkan sepertiga dari seluruh hartanya, dalam riwayat Abu Daud dan Ibn Majjah disebutkan yang akan menginfakkan seluruh harta yang ada di rumahnya adalah Abu Bakar.
Persoalan terakhir, kapan sebaiknya berinfak ? Hadits Bukhari dan Muslim sbb : Dari Abu Hurrairoh ra, ia berkata : Ada seseorang yang datang kepada Nabi dan bertanya “Wahai Rasululloh, sedekah apakah yang paling besar pahalanya?.
Beliau menjawab “Bersedekahlah selama kamu sehat, suka harta, takut miskin dan berkeinginan kaya” Dan jangan menunda. Jika nyawa sudah sampai di tenggorokan maka kamu berkata “Untuk Fulan sekian dan untuk Fulan sekian, padahal harta itu sudah menjadi hak akhli warisnya”.
Akhirnya para pensiunan itu sepakat kalau punya rizki berlebih, sangat baik jika sebagian hartanya dimanfaatkan untuk bekal kita di Yaumil Akhir, dengan jumlah yang maksimal. Jika rizki terbataspun harus diusahakan bisa berinfak. Wallohu ‘alam. (Nanang Hidayat; Zakatel Citra Caraka; nanang.hid11@yahoo.c)-FR