P2Tel

Orang cerdas

“Orang yang cerdas adalah yang bisa mengekang nafsu dan beramal untuk (bekal) sesudah mati. Sedangkan orang lemah (pikiran) adalah yang mengikuti kehendak nafsunya dan berangan pada (pemberian) Allah swt.” (HR. Turmudzi dan Ahmad)

Rasulullah kerap melihat suatu masalah dari sudut berbeda. Standar kecerdasan seseorang dari hadits itu dilihat dari kemampuannya mengekang nafsu dan tingkat amal shalih yang dilakukannya untuk bekal akhirat.

 

Sebaliknya pengumbar dan budak nafsu adalah ciri orang lemah pikiran. Orang cerdas dalam kriteria Rasulullah adalah yang memiliki pandangan jauh ke depan, yakni kehidupan akhirat sebagai terminal kehidupan terakhir.

 

Ia penuh pertimbangan, tidak sembrono, cermat, hati-hati dan serius melakukan aktivitasnya karena ia ingin segala sesuatu yang dilakukannya tidak sia-sia apalagi membahayakan dirinya. Amal-amal shalih pasti akan membuahkan ketenangan, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup.

Sebaliknya mereka yang akalnya lemah adalah pengumbar dan budak nafsu, tapi berharap hal yang baik. Dikatakan lemah akal karena yang bertipe tak berpikir akibat perbuatan yang dilakukannya. Ia tidak pernah memperhitungkan hasil kemaksiatan yang ia lakukan, baik di dunia apalagi di akhirat.

Sikap ini merupakan ciri orang yang tak memiliki perhitungan dan pandangan ke depan. Bahkan, ia justru memiliki perhitungan dan pandangan yang terbalik. Karena ia mengharapkan hasil yang berlawanan dari yang dikerjakan.

Hawa nafsu beragam, termasuk cenderung pada yang baik dan buruk. Manusia secara fitrah memiliki nafsu atau kesukaan pada hal-hal tertentu. Dalam Al-Qur`an disebutkan, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada yang diingini, yakni wanita, anak, banyak harta : Emas, perak, kuda pilihan dan sawah ladang …” (QS. Ali Imran:14)

Sikap cinta seperti ini wajar. Tapi Islam mengajarkan seseorang menempatkan sikap proporsional. Kecenderungan pada wanita, harta, anak dan masalah dunia adalah hal yang mubah. Bahkan bisa meningkat pada tingkatan wajib. Karena dunia merupakan tempat manusia hidup. Dinamika kehidupan akan mati tanpa wujudnya kecenderungan itu.

Tapi bila kecintaan itu lewat batas, bisa terlarang. Ketika sarana-prasarana hidup difungsikan menyimpang dari tujuan asasi kehidupan (ibadah kepada Allah) maka seseorang dikatakan menjadi hamba hawa nafsunya yang menjauhkannya dari Nya. Dalam hal ini Allah SWT mencela perbuatan mengikuti hawa nafsu, “Jangan kalian mengikuti hawa nafsu karena menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Shad : 26)

Hawa nafsu harus diarahkan kepada jalan yang benar. Diwarnai dengan niat mencari ridha Allah, dan diarahkan sesuai tujuan ibadah kepada Allah SWT. Mencintai istri, anak, bekarja mencari nafkah, bisa menjadi bernilai ibadah. Karenanya Rasulullah saw bersabda, “Tiadalah sempurnya keimanan seorang mukmin sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (HR. Imam Suyuthi)—(Kiriman Pak Oto)-FR

Tulisan Lainnya :

Exit mobile version