P2Tel

Pengusaha terancam

Mantan Dirut Indosat Mega Media (IM2), Indar Atmanto (IA), divonis 4 tahun oleh hakim Tipikor. IA dinilai melakukan kesalahan penggunaan frekuensi jaringan 3G pada pita 2,1 GHz. Keputusan pengadilan Tipikor memvonis 4 tahun  mantan Dirut IM2, IA, dan meminta uang pengganti 1,3 triliun rupiah atas tuduhan penggunaan frekuensi 3G pada pita 2,1 GHz secara ilegal dinilai tidak tepat.

Keputusan Majelis Hakim Tipikor soal penggunaan frekuensi Indosat oleh IM2 bisa menjadi preseden buruk bagi dunia telekomunikasi. Jika keputusan ini diterapkan pada kasus lain yang sejenis, akan mematikan industri telekomunikasi dan akan berdampak pada perekonomian.

Alasan majelis hakim yang diketuai Antonius Wijijantono, menilai IM2 tidak berhak menggunakan frekuensi milik Indosat, dinilai kurang pas. Pendapat majelis soal izin frekuensi yang dimenangi Indosat tidak bisa dialihkan ke pihak lain atau disewakan ke pihak lain dan jika dialihkan penyewa harus mendapat izin dan membayar BHP (biaya hak penggunaan), mengabaikan peraturan yang ada.

Presdir & CEO PT Indosat Tbk, Alexander Rusli, mengatakan majelis hakim mengabaikan pendapat pemerintah. Padahal sebelumnya pemerintah menegaskan IM2 sebagai pengguna frekuensi milik Indosat tidak melakukan pelanggaran hukum seperti yang dituduhkan Kejaksaan Agung. Praktik binis yang dilakukan Indosat dan anak usahanya, IM2, telah sesuai prosedur dan tidak ada yang dirugikan.

Lebih jauh, menurut Rusli, kerja sama Indosat dengan IM2 sah dan didukung pendapat ahli telekomunikasi dan hukum. Kerja sama juga telah sesuai dengan regulasi di bidang telekomunikasi. “Kami terus melawan dan berupaya sesuai saluran hukum yang tersedia, domestik-internasional,” ujar dia dalam siaran persnya. Selasa (9/7).

Sebelumnya. dengan tegas Menkominfo, Tifatul Sembiring, mengatakan Indosat M2 hanya memanfaatkan frekuensi milik Indosat. Dalam konteks ini sah karena Indosat membayar BHP frekuensi pada pemerintah. Soal frekuensi ini akan dipergunakan untuk apa, itu terserah Indosat sebagai penyewa.
Tifatul mengandaikan IM2 merupakan penumpang kapal. Operator penyewa kapal (baca frekuensi) yang harus membayar sewa kepada pemiliknya, bukan penumpang kapal. “Apakah IM2 memanfaatkan frekuensi secara umum, ya. Tapi dia menyewa sama dengan ISP lain,” ujar Tifatul.

Menanggapi keputusan pengadilan itu, anggota BRTI, Nonot Harsono, menilai majelis hakim tidak memahami dunia telekomunikasi. Majelis hakim mengabaikan kerangka regulasi dikeluarkannya PP No. 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang mengatur hubungan penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi.

Di dalam PP itu, dijelaskan agar penyelenggara jasa (ISP) bekerja sama dengan penyelenggara jaringan. Anehnya, kata Nonot, majelis hakim menyatakan perjanjian kerjasama (PKS) sebagai perbuatan melawan hukum. Majelis Hakim dinilai keliru memahami maksud Pasal 9 Ayat (2) dari UU Telekomunikasi dan Penjelasannya.

Nonot mengatakan majelis hakim secara mentah memahami Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyatakan IM2 wajib memiliki izin jaringan untuk beroperasi. Pendapat itu bertentangan dengan bunyi Pasal 9 Ayat (2), yakni penyelenggara jasa menyewa jaringan milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.

BRTI dalam kasus ini mengacu pada UU No 36/1999 dan PP No 52 tentang Telekomunikasi bahwa dalam industri telekomunikasi itu ada 3 kelompok besar, yakni kelompok penyelenggara jaringan telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi, dan kelompok jasa telekomunikasi khusus.

Bagi BRTI, tidak mungkin penyelenggara jasa memiliki jaringan karena BHP frekuensinya sangat mahal dan sumber dayanya terbatas. Majelis Hakim keliru mengaitkan penafsiran atas Pasal 9 ini dengan Pasal 29 PP 53/2000 yang menyatakan setiap pengguna spektrum frekuensi radio untuk keperluan penyelenggaraan telekomunikasi wajib membayar BHP frekuensi.

Karena tidak paham, lanjut Nonot, Majelis Hakim gagal memahami kaitan antara UU 36/1999, PP 52/2000, dan PP 53/2000. Perlu diketahui publik, bahwa PP 52/2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi yang di dalamnya memuat ragam jaringan telekomunikasi dan ragam jasa telekomunikasi, serta hubungan kerja sama keduanya.

“Sungguh mengecewakan. Hakim mengabaikan Surat Menteri Kominfo. Padahal mengabaikan Menkominfo sama saja dengan mengabaikan UU 36 Tahun 1999,” katanya (9/7). Menurut Nonot, sudah gamblang jika sebagai penyelenggara jasa IM2 adalah penyewa dari penyelenggara jaringan. Karena itu, sebagai penyewa, IM2 harus membayar sewa, namun tidak perlu membayar BHP kepada pemerintah yang sudah dilakukan Indosat sebagai penyelenggara jaringan.

Seleksi Lelang
Dalam bisnis ini, IM2 tidak pernah mengikuti seleksi pelelangan pita jaringan bergerak seluler IM2- 2000 pada pita frekuensi 2,1 GHz. Namun, IM2 tetap menyelenggarakan jasa jaringan itu melalui kerja sama yang dibuat dengan Indosat.

 

Hal itu tertuang dalam UU No 36/1999 dan PP No 52 tentang Telekomunikasi bahwa dalam industri telekomunikasi itu ada tiga kelompok besar, yakni kelompok penyelenggara jaringan telekomunikasi, kelompok penyelenggara jasa telekomunikasi, dan kelompok jasa telekomunikasi khusus.

Yang menjadi kekhawatiran, jika kasus ini berlanjut adalah bangkrutnya penyedia jasa internet atau internet service provider (ISP) karena bakal terjerat kasus yang sama karena mereka ini ISP besar dan kecil yang menerapkan model bisnis yang sama. Dampaknya luas, yaitu merusak industri internet dan membuat gulung tikar-matinya layanan internet atau sering disebut “kiamat internet.”

Menurut Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Sammy Pangerapan, keputusan hakim terhadap kasus IM2 berdampak besar pada industri penyedia jasa internet, terutama industri berskala kecil-menengah. “Kalau IM2 dinyatakan bersalah, sebanyak 280 lain akan menyusul bersalah,” ujar Sammy (9/7).

Sangat mustahil bagi ISP-ISP kecil itu membayar BHP frekuensi sesuai vonis, yaitu 1,3 triliun rupiah. Kalau dipaksakan, hal ini akan membuat para penyedia jasa layanan internet gulung tikar dan tidak ada lagi ada layanan internet di Tanah Air. (hay/E-6)
——
Preseden Buruk, Bisa Ancam Perekonomian
Kalau nantinya keputusan Keputusan Majelis Hakim Tipikor atas tuduhan korupsi kepada IM2 berkekuatan hukum tetap dan diterapkan konsisten, hal ini berdampak buruk pada dunia telekomunikasi Tanah Air.  Padahal, sebagai sektor yang strategis telekomunikasi memberikan sumbangan pada pertumbuhan ekonomi.

Menurut Ketum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Setyanto P Santosa, telekomunikasi memberi kontribusi perekonomian nasional ± 13%. Keputusan Majelis Hakim mengancam pertumbuhan industri telekomunikasi. “Secara bisnis pada 2011, bisnis informasi dan telekomunikasi mencapai 360 triliun rupiah dan tumbuh 20% pada 2012,” katanya di Jakarta Selasa (9/7).

Setyanto menambahkan putusan hakim meresahkan masyarakat industri telekomunikasi. Kalau kondisi ini diteruskan, membuat para investor tidak jadi menanamkan modal dan yang sudah masuk akan kabur karena tidak adanya kepastian hukum dan ancaman hukuman berat berinvenstasi.

Keputusan pidana dan mengganti kerugian 1,3 triliun rupiah yang ditimpakan kepada Indonesat M2 (IM2) sebagai penyelenggara jasa bukan penyelenggara jaringan terlalu berat. Apalagi aset yang dimiliki perusahaan ini hanya berkisar antara 700-800 miliar rupiah.

Untuk mendapatkan keadilan, saat ini Mastel memproses laporan masalah ini ke Komisi Yudisial (KY). Masalahnya, kata Ketua Umum Mastel, Setyanto P Santosa, majelis hakim bersikap parsial dengan hanya mengambil keterangan para saksi ahli yang memberatkan yang diajukan oleh JPU.

Majelis Hakim Tipikor mengabaikan fakta yang berkembang di persidangan, termasuk dari para saksi ahli dan saksi fakta a de charge yang diajukan terdakwa dan penasihat hukum. Majelis hakim telah semena-mena melawan hukum dengan tidak mengindahkan pendapat resmi dari KemenKominfo sebagai regulator.

Kominfo dengan tegas mengatakan tidak ada yang dilanggar dalam PKS antara Indosat dan IM2. “Menafikan pendapat resmi otoritas negara (Kominfo) sama halnya dengan menafikan UU 36/1999 yang merupakan landasan bisnis pertelekomunikasian di negara ini,” tutur Setyanto.

Penasihat hukum mantan Direktur IM2 Indar Atmanto, yaitu Luhut Pangaribuan, mengatakan pihaknya akan melakukan perlawanan. Sebabnya Majelis Hakim dalam pertimbangan putusannya  tidak merujuk pada alat bukti yang telah sah dan meyakinkan dihadirkan pada persidangan.

Selain itu, keterangan saksi dari Kemenkominfo yang berjumlah lima orang, dan bahkan Menkominfo melalui suratnya telah dua kali menyatakan tidak ada penggunaan bersama. Namun, kedua surat itu diabaikan tanpa alasan jelas. (hay/E-6; http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/123775)-FatchurR

Tulisan Lainnya :

Exit mobile version