Jajanan tradisional bernama Klepon ini nikmatnya luar biasa. Sayang sekali belum menjadi jajanan mainstream yang bisa mendukung life style anak muda. Banyak faktor mengapa kenikmatan Klepon ini belum me-nasional. Salah satu faktornya adalah mekanisme istilah.
Seandainya Klepon ini berganti nama khas istilah Inggris, Jepang, atau Korea, yakin deh panganan ini bakal digandrungi masyarakat kita yang, berdasarkan survey Hermawan Kartajaya yang beberapa bulan silam dilansir Jawa Pos, sangat tergila-gila pada Merk, Brand, & segala produk luar.
Ndok Ceplok itu ndeso, tapi Omelet itu keren, modern, dan “gaya”. Padahal esensinya juga sama. L’Escargot D’Franc itu keren, mewah, high class. Padahal bahan bakunya siput (bekicot), bisa juga kerang. Lha apa bedanya dengan masakan bekicot ala Kediri & Kerang Kupang Surabaya. Kekekeke..
Besok, coba sajikan Klepon ini di hotel atau resto. Ubah bentuknya lebih elegan. Sodorkan kepada orang Indonesia sambil bisikkan kepadanya bahwa ini adalah menu baru asal Denmark, belanda, atau Monako, & cemilan kegemaran raja di sana. Naikkan harga sebutir Klepon dengan margin 500% dari harga di bakul aslinya.
Dijamin deh, orang Indonesia bakal memuji-muji kelezatannya dan berdecak kagum. Besok, sajikan dawet, cenil, dlsb. Bahan baku bisa sama, tapi sebutan alias merek atau brand bisa mempengaruhi persepsi. Jadi, perubahan istilah untuk strategi diferensiasi, menaikkan daya kompetisi, & mengerek gengsi itu lazim terjadi.
Untuk memikat seseorang yang sudah antipati dengan amaliah nahdliyyin, misalnya, sesekali kita perlu menggunakan istilah yang itu keren, lebih islami, dan mengerek gengsi. Padahal hakikatnya sama. Jangan menyebut Kenduri atau Kenduren, karena itu “ndeso”, tapi ganti dengan istilah Tasyakur(an).
Jangan menyebut Suwuk, tapi sebutlah Ruqyah Syar’iyyah.
Hindari istilah ‘Jagongan’, gunakan istilah ‘Halaqah’.
Jangan menyebut ‘guru ngaji’, tapi gantilah ‘ustadz’.
Ojo nyebut ‘kiai’, karena sangat ndeso, tapi gantilah dengan ‘Syekh’.
Sebutan ‘sowan’ itu nggak keren, ganti dengan ‘talaqqi’.
Jika mereka alergi dengan istilah Tahlilan, ajaklah membaca al-Ma’tsurat yang disusun Hasan Al-Banna.
Alergi dengan peringatan Harlah, Haul, Mawlid, sajikan istilah lain. Apa itu? Milad.
Jika Dies Natalis itu dianggap tasyabbuh, ya ganti saja dengan istilah Dies Maulidis yang mereka sukai.
(SuhirtoM)-FR