Dari rumah lama, jarak rumah baru ini tidak terlalu jauh, hanya sekitar 300 meter. Mereka juga menempati rumah kopel yang satu atap dengan tetangga sebelah. Batas dengan tetangga sebelah juga hanya sebidang tembok setinggi sekitar satu meter. Tidak tinggi, sehingga tidak sulit untuk dipanjat dan di seberangi oleh anak-anak. Namun, ayah. mereka sudah wanti-wanti kepada anak-anak untuk tidak memanjat tembok sebelah.
Keluarga Letnan Priyo ternyata berbeda segalanya dengan tetangga terdahulu. Pak Priyo dan bu Priyo, sekalipun pangkatnya lebih tinggi, namun dalam keseharian sangat menghormati tetangganya. Mereka malah yang mengunjungi rumah mas Sugeng terlebih dahulu dan menanyakan adakah sesuatu yang bisa mereka bantu.
Di rumah pak Priyo juga tinggal ibu mertua pak Priyo, anak-anak memanggilnya dengan Yang-ti, singkatan dari Eyang Putri, atau sebutan bahasa Jawa halus untuk seorang nenek. Namun kemudian Mas dan mBakyu Sugeng memanggil ibu sepuh yang baik hati itu juga Yang-ti. Anak-anak sangat menyukai Yang-ti.
Pak dan Bu Priyo sering bepergian dan Siti diminta menemani Yang-ti, karena selisih usia Siti dengan putri-putri keluarga yang baik itu. Siti yang belum bersekolah itu, cepat akrab dengan anak-anak yang masih bayi itu. Yang-ti sering bercerita tentang kisah-kisah jaman dahulu, saat penjajahan Belanda atau cerita tentang nabi-nabi. Nenek sepuh yang pernah mengenyam pendidikan MULO jaman Belanda itu, sering membacakan buku cerita tebal berbahasa Belanda dan menterjemahkannya ke dalam bahasa Jawa. Kadang-kadang cerita itu ada sambungannya dan membuat Siti ingin segera mendengarkan lanjutannya. Yang sering kali terjadi, Siti keburu tertidur sebelum cerita itu selesai dibacakan.
Seringkali muncul pikiran Siti yang kurang baik, kenapa pak Priyo sudah lama tidak keluar kota ya? Mereka sudah tidak sabar bertemu dan mendengar cerita dari Yang-ti. Selain ia kagum atas barang-barang di rumah itu yang bagus-bagus, ia juga sering kali mendapat kue-kue yang enak dari Yang-ti.
Mas Sugeng, sekalipun di blok itu pangkatnya terendah, namun kemudian ditunjuk menjadi Ketua RT. Penghuni blok tersebut berasal dari beragam kesatuan, jadi kadang-kadang ada masalah keluarga yang tidak bisa diselesaikan dalam internal kesatuan, disitulah kepemimpinan mas Sugeng yang dari Corps Polisi Militer sangat berperan. Ada saja masalah-masalah mulai hal yang sepele, misalnya tetangga yang talangnya muncrat ke sebelah, sampai masalah berat dalam rumah tangga.
Tugas Ketua RT tambah berat, manakala ia dititipi suami yang bertugas tempur. Perpisahan dengan Kepala Keluarga menjadi momen yang sangat mengharukan, apakah suami/bapak tercinta masih bisa pulang dengan selamat? Ketua RT kadang-kadang harus mengantarkan keluarga ke Rumah Sakit Tentara yang juga berada di Pangkalan, manakala suami pulang tugas dalam keadaan terluka. Ketua RT bahkan kadang harus menemani rombongan Komandan yang membawa berita terburuk. Sang suami atau ayang tercinta gugur dalam tugas.
Saat itu komunikasi yang paling bisa diandalkan hanyalah surat, baik lewat Pos melalui kesatuannya, atau Pos Militer, walaupun sering kali perlu waktu lebih dari satu minggu untuk bisa sampai ke tujuan, itupun baru sampai ke Pos terdepan. Masih memerlukan beberapa hari lagi untuk mencapai penerima suratnya. Mbakyu Sugeng yang kemudian membantu suaminya, menghibur istri yang lama kehilangan berita tentang suaminya. Tugas mBakyu Sugeng sebagai Ibu RT, malah seringkali lebih tidak kenal waktu daripada tugas suaminya.
(Sadhono Hadi; Creator of Fundamen Top40; Visit http://fundamen40.blogspot.com dan http://rumahkudidesa.blogspot.com)-FR