Beberapa waktu lalu Tech in Asia menulis artikel mengenai bagaimana cara Startup mengatasi tantangan infrastruktur pembayaran di negara ini. Salah satu cara paling populer yang dilakukan oleh toko online untuk melayani pembeli tanpa memerlukan kartu kredit atau rekening bank adalah dengan menawarkan layanan cash-on-delivery (COD).
Pengguna hanya perlu masuk ke situs e-commerce kesukaan mereka, memilih barang yang ingin dibeli, memasukkan alamat, lalu membayar ketika barang tersebut datang ke depan pintu rumah mereka. Umumnya, beberapa pembeli akan mengambil keuntungan dari COD dan merugikan pihak perusahaan.
Terkadang ada pembeli yang membatalkan pembelian mereka setelah produknya sudah diantarkan dan dilihat. Di kasus lain, pembeli akan memesan 2-3 barang yang sama tapi dengan ukuran atau warna yang berbeda, kemudian memilih satu yang mereka inginkan ketika kurir sudah mengantarkan barangnya.
Bagaimanapun, toko yang mapan seperti Zalora dan Lazada terus menawarkan pilihan pembayaran yang belum sempurna tapi efektif. Beberapa asumsi mengenai COD, Tech in Asia berbincang dengan co-founder Zalora Indonesia, Hadi Wenas, dan menjabarkan enam fakta dasar mengenai COD ini.
1. Pembeli Indonesia cinta COD
Wenas mengatakan, transfer bank adalah cara pembayaran terpopuler di Zalora Indonesia, dengan setengah transaksi Zalora dilakukan dengan cara itu. Di lain pihak, 40% dari transaksi di Zalora dilakukan dengan COD. Sisa 10% dilakukan menggunakan kartu kredit. Di Lazada Indonesia, COD adalah cara pembayaran paling populer.
Di bulan April lalu, Zalora Indonesia mencatat 200.000 pengunjung harian sementara Lazada Indonesia punya 250.000 pengunjung tiap harinya. COD berperan besar dalam membuat pengunjung tersebut mau membeli.
2. Ya, pengembalian barang sering terjadi
Kekhawatiran perusahaan terhadap COD adalah mudahnya pembeli mengembalikan barang (tidak jadi beli). Tentu, sampai pembeli menyerahkan uangnya, transaksi belum resmi dilakukan, terlepas dari berapa kali ia memesan. Pembeli bisa mencari barang di browser internet kapanpun, dan perusahaan tetap harus kehilangan waktu dan tenaga.
Apakah pembeli seperti ini ada? Wenas menjawab ya; tapi tak banyak. Ia mengatakan pengembalian barang terjadi kurang dari 5% dari seluruh pengantaran barang. Kasus pembeli mengembalikan barang untuk menukarnya juga terjadi kurang dari 5%, dan lebih dari setengah pengembalian terjadi langsung ketika barang sampai (disebut “return at door”).
3. Pengembalian buruk jarang terjadi
Kapan toko online menganggap pengembalian barang bisa diterima? Pengembalian bisa dilakukan jika melanggar tiga hal ini: barang yang diantarkan sama dengan yang dipesan, barangnya masih baru (belum dipakai, masih bersih-lengkap dengan label merek dan kotaknya), dan barangnya tidak rusak.
Meski syarat itu dijelaskan di situs, masih ada pembeli yang mencoba memainkan sistemnya. Beberapa pembeli mengembalikan sepatu yang kotor karena sudah mereka pakai, beberapa bahkan mencoba menjahili Zalora Indonesia dengan memesan Crocs asli tapi mengembalikan barang palsu yang mereka beli di tempat lain.
Yang paling parah, beberapa pembeli memesan sepatu tapi mencoba mengembalikan sendal. Untungnya semua itu jarang terjadi. Wenas sendiri berusaha membuat kebijakan pengembalian yang ketat. Jika pembeli ingin melanggar sistemnya, uang mereka tidak akan dikembalikan.
Bahwa COD mengurangi “biaya” pengembalian pembeli; tapi selama mereka senang dengan produk dan layanan yang mereka terima, mereka tidak perlu mengembalikan apapun. Tentu saja Zalora tidak menerima pengembalian untuk beberapa kategori produk, seperti parfum atau pakaian dalam.
4. COD bukanlah alasan utama terjadinya pengembalian
Wenas menjelaskan meski mempermudah proses pengembalian barang, COD bukan penyebab utamanya. Alasan utama pengembalian, karena kurangnya informasi mengenai produk yang ditransaksikan.
Hal ini terjadi ketika situs penjual barang tidak memperlihatkan dan menjelaskan barang secara rinci, dan barang itu tidak sesuai dengan yang dibayangkan pembeli. Untuk mengurangi risiko itu, Zalora mengambil foto barang dan memastikan foto yang dihasilkan berkualitas tinggi dan memberikan sebanyak mungkin informasi, seperti ukuran dan sebagainya.
Gudang Zalora punya meja pengukuran sepatu dan baju mereka sendiri, jadi mereka bisa mengukur barang mereka dengan akurat. Alasan lain dari pengembalian barang adalah pelayanan yang buruk. Wenas kadang mendapati pengembalian karena pembeli marah atas keterlambatan. Ini sering terjadi di 3-6 bulan pertama Zalora berjalan. Tapi hal tersebut semakin jarang terjadi.
5. Semakin dewasa pasar, semakin sering pengembalian terjadi
Berbeda dengan apa yang dikira kebanyakan orang, Wenas yakin bahwa dengan semakin dewasanya pasar, maka orang akan semakin mungkin memanfaatkan sistem COD dengan memesan beberapa barang dan lalu hanya membeli dan membayar satu barang ketika semua barangnya sudah sampai.
“Tingkat pengembalian barang di negara maju seharusnya dua sampai tiga kali lebih besar daripada di Indonesia,” kata Wenas. Rizki Suluh Adi dari Lazada Indonesia mengatakan bahwa Zappos dari Amerika Serikat bahkan menawarkan garansi satu tahun, yang membuat situs itu bisa bertumbuh di sana.
Wenas yakin bahwa untuk produk fashion, kasus pembeli tidak mendapatkan ukuran yang sempurna adalah hal yang biasa. Ia melihat ada dua alasan mengapa tingkat pengembalian lebih tinggi di pasar yang sudah dewasa:
Mereka tidak ragu untuk membayar sebelum memesan banyak barang (untuk kemudian dicoba dulu dan mengembalikan sebagian) dan mereka yakin mereka bisa mengembalikannya. Dua alasan tersebut membantu mengajak pembeli untuk melakukan pembelian secara online.
Bagaimanapun, Wenas tetap tidak keberatan dengan pengembalian yang mendadak (termasuk mereka yang memesan banyak untuk mencobanya dulu). Ia melihat COD sebagai cara untuk mendorong orang agar berpindah dari belanja offline ke belanja online.
COD bisa membantu menjembatani kebutuhan pembeli yang ingin melihat barang yang diinginkan. Jika repotnya melayani pengembalian mendadak bisa membantu Zalora Indonesia mendapatkan pembeli setia, maka tidak ada yang keberatan.
6. Perusahaan logistik Indonesia lebih terbuka pada COD
Zalora Indonesia menangani langsung pengantaran barang mereka di Jakarta, dan bekerja sama dengan tiga perusahaan logistik untuk menangani pengantaran ke wilayah lain. Ia ingat dulu pernah kesulitan mengajak perusahaan tersebut membantu metode COD perusahaannya.
Tapi ketika perusahaan logistik kecil mulai menangani COD untuk perusahaan e-commerce di Indonesia, mitra Zalora akhirnya mau menerima. Sekarang dengan mapannya e-commerce ini di Indonesia, perusahaan logistik mengerti risiko COD dan dapat berhati-hati memilih perusahaan e-commerce mana yang bisa diajak bekerja sama.
Masalah kedua muncul ketika perusahaan logistik harus menghadapi pengembalian langsung (return at the door). Tidak masalah jika pembeli mengembalikan barang itu sendiri dan membayar biaya antar kepada Zalora. Tapi jika perusahaan logistik harus mengembalikan produk tersebut ke Zalora, itu masalah lain.
Ketika pembeli langsung mengembalikan barang, maka perusahaan logistik harus mengambil tindakan. Untuk menghemat biaya pengantaran, perusahaan logistik cenderung menyimpan banyak barang yang dikembalikan dan kemudian mengirimkannya sekaligus. Jika barang yang dikembalikan belum sampai ke gudang Zalora, pembeli tidak akan mendapatkan uang mereka kembali. Inilah yang membuat pembeli gelisah.
Satu-satunya cara untuk mengakali ini adalah dengan menjalin kerja sama yang baik dengan perusahaan logistik sehingga semua pihak merasa senang. Meskipun populer, COD punya tantangan sendiri. Semoga ini menjawab beberapa pertanyaan yang ada di benak Anda, terutama pelaku e-commerce yang ingin menawarkan metode COD di Indonesia. (BRX)-FatchurR