Beberapa hari yang lalu aku menerima telepon dari salah seorang teman sekolahku yang lama tidak pernah terdengar kabarnya. Pembicaraan semula mengenai kegembiraan masa lalu berubah menjadi pembicaraan yang sangat menyentuh hati ketika ia bercerita mengenai ayahnya.
Kesehatan ayahnya yang memburuk membuat ia harus menjalani rawat inap di rumah sakit. Karena penyakitnya, ayahnya susah tidur dan sering berceloteh sendiri. Temanku yang beberapa hari terakhir tidak pernah tidur karena menjaga ayahnya menjadi jengkel dan berkata ketus pada ayahnya supaya ayahnya diam dan tidur dengan tenang.
Ayahnya menjawab bahwa ia juga sebenarnya ingin beristirahat karena ia lelah, dan jika temanku itu keberatan menemani dirinya, biarlah ia sendirian di RS. Setelah berkata demikian, ayahnya tidak sadarkan diri dan harus menjalani perawatan di ICU (Intensive Care Unit).
Temanku begitu menyesal atas kata-kata yang tidak selayaknya keluar dari mulut seorang anak kepada ayahnya. Temanku yang aku kenal sebagai orang yang tegar, menangis tersedu-sedu di ujung pesawat telepon. Ia berkata bahwa mulai saat itu, setiap hari ia berdoa agar ayahnya sadar kembali.
Apa pun yang ayahnya akan katakan dan perbuat pada dirinya akan diterima dengan senang hati.
Ia hanya berharap pada Tuhan agar diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya yang lalu, yang mungkin akan disesali seumur hidupnya.
Sering kita mengeluh ketika menemani atau menjaga ortu kita hanya dalam hitungan tahun, bulan, hari, jam, bahkan dalam hitungan menit. Tapi pernahkah kita pikirkan bahwa orangtua kita menemani dan menjaga kita seumur hidup kita dan seumur hidup mereka.
Sejak lahir hingga dewasa, bahkan hingga tiba saatnya ajal menjemput, mereka selalu menyertai kita.
Ketika pada akhirnya mereka menghadap Sang Kuasa pun, seluruh kenangan yang mereka tinggalkan selalu menyertai selama hidup kita.
Bayangkan betapa hancur hati kedua ortu oleh sepatah kata singkat, “tidak”, yang keluar dari mulut kita ketika mereka berusaha merengkuh kita dalam pelukan kasih sayang sejati, yang justru sering kita lihat sebagai sesuatu yang mengekang dan menahan kita untuk terbang bebas di angkasa.
Entah apa lagi yang tepat menggantikan kata “tangis” bila tiada lagi air mata keluar dari kedua mata mereka, karena telah habis digunakan menyirami hari-hari dalam kehidupan kita agar terus tumbuh dan menghasilkan bunga-buah yang menyemarakkan hari-hari kelam dalam roda kehidupan yang berputar.
Kita dapat mulai berjanji pada diri
masing-masing bahwa sejak saat ini tiada lagi keluhan yang keluar dari mulut kita ketika menemani dan menjaga kedua orangtua kita. Tiada lagi keluhan yang keluar dari mulut kita ketika merasa meraka terlalu memperlakukan kita seperti anak kecil.
Percayalah, di luar sana banyak orang tidak seberuntung kita yang punya orangtua, yang merindukan hal-hal yang kita keluhkan, tetapi tidak pernah mereka dapatkan. Hanya sedetik waktu yang dibutuhkan merenung dan menyalakan lentera yang akan membimbing kita ke tempat kedamaian terpendam.
Sekarang tinggal tergantung dari diri kita sendiri, maukah kita meluangkan waktu yang singkat itu namun besar artinya untuk sepanjang perjalanan hidup kita? (Andre Wahjudibroto)-FatchurR