Dongeng menjelang tengah hari dari jaman dulu, “Sebagai tawanan di kamp Jepang waktu itu seperti bunga ilalang kering…” kata kakek Nowo, sambil menerawang matanya saat saya minta bercerita tentang masa perang kemerdekaan. “Sewaktu2 hidupmu bisa diambil oleh serdadu Jepang kapanpun mereka mau, seperti angin yang bisa kapan saja meniup terbang bunga2 ilalang.”.
“Sekali kita salah menjawab, sekali melakukan kesalahan dan tidak memenuhi kehendak mereka, nyawamu akan terbang atau seluruh tawanan akan kena hukuman.
Jatah makan-minum terbatas atau hampir tidak ada. Maka betapa sengsaranya ketika Kadir, salah satu anak buah saya karena kelelahan, terjatuh dan menumpahkan satu jerigen air jatah minum untuk kami semua. Kami semua terkena hukuman, tidak diberi jatah minum hari itu sampai esok siangnya.
Semua tawanan memarahi dan memukuli Kadir karena kebodohannya. Ia pasti mati dipukuli ramai2. Sebagai senior saya ambil tindakan.” Kakek Nowo berhenti sejenak. Saya lihat sebutir air menggantung di sudut matanya. “Pasti kakek Nowo membela Kadir dengan gagah berani dan penuh wibawa.
“Tidak juga…., saya menerobos ke kerumunan teman2 yang marah dan kesal, lalu memeluk tubuh Kadir yang tengkurap di tanah, dan menggunakan badan saya sebagai perisai melindungi tubuhnya yang dipukuli dan ditendangi. Hasilnya efektif, teman2 berhenti menyiksa Kadir”
Saya pikir itu hanyalah hal sepele, saya malah memberikan sepotong ubi rebus jatah saya kepada Kadir. Saya tidak bisa lupa sorot mata Kadir yang mengungkapkan rasa terima kasihnya bahwa saya telah memaafkan dan menyelamatkan dia.”
“Esok harinya kami seperti biasa kerja rodi membuat jalan tembus. Ketika sore menjelang pulang ke kamp, serdadu Jepang yang menghitung peralatan kerja melapor ke pimpinannya satu sekop hilang. Mereka takut kami mencuri dan menggunakannya untuk melarikan diri.
Jadi tawanan dibariskan berjajar dan diinterogasi, mencari yang menyembunyikan sekop. Tak ada yang mengaku. Saya diam2 melirik ke anak buah saya dengan isyarat mata, tiap orang menggeleng pelan sebagai tanda mereka tak melakukannya. Heran…
Serdadu itu hilang kesabaran, salah seorang menghitung sampai sepuluh dan membidik senapan ke arah kami sambil berteriak akan membunuh satu persatu seluruh tawanan sampai ada yang mengaku. Saya tegang dan takut, karena serdadu Jepang itu mengarahkan senapan ke arah kening saya, sudah dikokang dan siap meletus.
Tiba-tiba Kadir maju ke depan dan mengakui: : “Saya yang menyembunyikan sekop”
Semua tawanan lainnya kembali jengkel dengan tingkah Kadir yang aneh2 menyembunyikan sekop, suara kekesalan mereka mendengung seperti lebah memaki2 Kadir.
Serdadu Jepang menghantam kakinya dengan popor senapan sampai Kadir jatuh di tanah dan serdadu lain meletupkan senapannya ke kepala Kadir. Kami tak menyangka sekejam itu hukumannya, langsung terdiam. Saya membopong tubuh Kadir dibantu yang lain memakamkan di sekitar kamp tawanan.
Saat itu gaduh di antara serdadu Jepang, satu anggotanya disiksa habis2an oleh pimpinannya. Saya baru tahu kemudian ternyata serdadu yang bertugas memeriksa peralatan salah menghitung jumlah sekop, tidak ada sekop yang hilang, jumlahnya lengkap seperti sebelumnya.
Saya tak tahu mengapa Kadir melakukan itu; tapi itulah artinya berkurban. Kadir menyelamatkan nyawa kami semua. Yang membuat sedih, ketika membersihkan jenazahnya, saya menemukan sepotong ubi rebus yang saya beri masih utuh di celananya….” Kakek Nowo mengusap matanya yang basah.
Adakah kita tahu artinya berkurban? Harusnya jiwa seperti Kadir itu dimiliki oleh pemimpin, oleh kita semua. Bukan untuk hal yang sia2; tapi untuk orang2 yang kita cintai, untuk negeri ini, untuk kita semua…. (Justinus Darmono; P.Hend.SCJ)-FR