Seumur hidup saya baru satu kali ke Poliklinik Telkom di Slipi pojok dekat perpotongan jalan layang, depan kompleks Mal Central Park. Terkagum saya dengan kecanggihan layanan dg TIK di Kompleks Telkom yang luas dengan berbagai bangunan bertingkat, tetapi gedung poliklinik yang banyak dikunjungi pensiunan Telkom (ex PN Postel, PN Telekomunikasi, dan Telkom) suatu gedung tersendiri tidak bertingkat dan rindang.
Masuk mendaftar ke meja registrasi ada beberapa petugas sudah siap.Setelah memberitahu mau periksa apa, diminta kartu kesehatan. Saat mencari-cari, dia bilang NIK saja bisa. Resepsionis bilang bila perlu ke dokter spesialis, akan dirujuk oleh dokter umum terkait. Langsung dicari di komputernya, dan setelah itu diberi kertas cetakan komputer dengan nomor urut dan ruang tertentu.
Di layar ruang pendaftaran / di ruang tunggu ada layar elektronik. Tampak nomor berapa yang sedang dilayani dalam setiap ruang periksa (umum, gigi, dll). Demikian juga pada ambang pita setiap ruang periksa terlihat papan elektronis dengan no. Ruangan dan nomor urut yang sedang dilayani. Pada saat giliran berikutnya diingatkan lewat pengeras suara.
Setelah diperiksa dokter umum yang ramah (untuk mata kanan, seperti melihat nyamuk di depan), dengan pesawat komputer meja di samping depan. Dia bisa langsung bilang belum punya data saya (kerena belum pernah diperiksa dokter umum). Tetapi ketika sudah mendaftar lagi dan bertemu dokter untuk tambal gigi, data saya lengkap, apa yang telah ditindaki dokter lain sebelumnya, di poliklinik di gedung Telkom Gatot Subroto.
Setelah selesai tanya jawab tentang ganjelan mata saya dan penjelasan seperlunya, langsung diberi resep (obat tetes dan vitamin A), dengan secarik kertas sederhana, dengan cetakan komputer.
Kemudian resep diserahkan ke apotik seberang ruang pendaftaran, dan setelah 10-15 menit saya dipanggil untuk mengambilnya.
Ketika selesai pemerikasaan mata, dan sambil menunggu obat saya dianjurkan puteri seorang pensiunan, untuk sekalian daftar dokter gigi saja. Sang ibu (Evie Sumolang, masuk ruang pemeriksaan lain. Dia khusus datang dari Manado secara berkala). Saya ke resepsionis, dan dia malah menguatkan niat saya dan bilang silahkan saja, tinggal seorang lagi antrenya, katanya.
Angkat jempol untuk poliklinik Telkom dengan jaringan TIKnya yang terkini. (AphD, Pensiunan PN Postel; 9/5/14; jam 12.58)-FR
—————
Berikut pendapat anggota Mastel menanggapi informasi dari pak Wig
Kita (Mastel) pernah bincang tentang e-hospital dan memang baru 2 RS yang berani nyatakan sudah IT minded; yaitu RS pondok Indah dan RS Puri Indah. Walaupun masih belum sempurna, ingin saya sampaikan bravo kepada kedua rumah sakit tersebut untuk telah memulai program e-health secara nyata.
Semoga ratusan rumah sakit lain dan Puskesmas di seluruh Indonesia dapat menyusul.
Langkah berikutnya, alangkah indahnya jika RS Pondok Indah dan RS lain dan seluruh apotik besar/kecil dapat terhubung dengan suatu jaringan e-health Indonesia. (Salam Mastel, Kanaka; 9/5/14; Jam 05.53)-FR
————-
Dibawah ini pengalaman seorang anggota Mastel berobat di RSPI
Karena sudah 5 hari flu yang menerpa tak kunjung hilang, padahal berbagai vitamin dan obat OTC dari apotik dilahap. Sore itu sepulang dari golf di Bogor saya langsung ke Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), niatnya mau periksa badan ke dokter.
Setiba di RSPI, langsung ke Poli Umum di lantai 4. Rupanya baru saja tutup, barangkali karena waktu sudah menunjukkan jam 20.30. Perlu waktu 2 jam 30 menit untuk arungi jalanan dari Bogor ke RSPI, macetnya macet beneran.
Dari Poli Umum saya beranjak ke poli layanan emergency di lantai 1. Di ruang emergency terlihat rame, selayang pandang semua kamar periksa tutup, artinya ada 12 pasien dalam pemeriksaan / perawatan. Karena penuh, maka petugas penerima mencatat nama saya dan memberi nomor urut 6, setelah menanyakan nama dan tanggal lahir.
Setelah itu saya diminta menunggu di luar. Di ruang tunggu, hampir semua bangku terisi orang-orang yang sedang mengantri obat, membayar jasa pemeriksaan dokter, dan menunggu panggilan masuk ke emergency. Tak sampai 15 menit menunggu, nama saya dipanggil.
Maka saya masuk ke ruang emergency, dan petugas para medik menyilakan saya duduk untuk diukur denyut jantung dan suhu badan. Petugas para medik menyatakan denyut jantung dan suhu badan saya normal. Selesai pemeriksaan awal saya disuruh masuk ke dalam ruang pemeriksaan.
Tak lama masuklah dokter wanita yang saya taksir usianya 35-an. Saya baru pertama bertemu dokter ini. Hampir semua dokter di emergency saya kenal, maka saya tanya “Dokter masih baru di RSPI?” Beliau menjawab “sudah 7 tahun, kenapa Pak?”
Saya jawab “Iya, rasanya baru ketemu, padahal saya lumayan sering ke emergency.” Perbincangan awal usai, dokter lalu memeriksa dan saya diminta menunggu lima menit. “Mau tulis resep”, katanya. Saya menunggu di luar, duduk ruang tunggu di depan kasir.
Lima menit telah lewat, pada menit ke-10 saya masuk lagi ke ruangan emergency dan menemui dokter tadi, saya tanyakan “Dokter, resepnya sudah selesai?” Dijawab “sudah Pak, ada di kasir.” Kali ini saya seperti orang udik yang bodoh, menanyakan “ndak lihat ada yang mengantar resep ke kasir?”
Rupanya ada yang baru. Sebulan lalu ketika masuki emergency, medical records dan resep masih ditulis tangan di atas kertas. Sore itu, kertas medical records tak terlihat, resep juga tak berkertas lagi. Selesai memeriksa pasien, dokter mencatat keluhan, tindakan dan resep kepada pasien langsung ke komputer. setelah beroperasi sejak 1986 baru di 2014 ini RSPI menerapkan computerized medical service di front end-nya.
Ada yang baru, tetapi yang lama masih tetap saja ada. Apa itu? Perilaku kasir. Setelah diberi tahu bahwa resep sudah di kasir, saya beranjak ke meja kasir. Saya sebutkan nomor pasien dan berbunyilah mulut sang kasir “ada 3 obat (dia menyebut satu persatu), biayanya Rp. 363.135,-” saya menyorongkan 4 lembar uang seratus ribuan.
Sambil melihat kasir yang dengan kalkulator menghitung kembali secara manual -barangkali- untuk meyakinkan bahwa komputernya benar. Maka saya bertanya “mas, kenapa dihitung lagi? Masih gak percaya sama komputer?”
“Iya Pak, soalnya ini komputer suka salah menjumlahnya dan tidak ada hitungan otomatis bila ada pengembalian uang.” Saya menukas “laporkan dong kepada bagian IT-nya” dan “ngapain juga dihitung manual lagi. Kan harusnya komputer lebih akurat (dibandingkan hitungan secara manual).
Pembayaran selesai tinggal menunggu panggilan mengambil obat. Lima, 10, 15 belas menit tak dipanggil juga. Akhirnya saya tanya kepada petugas farmasi. Ooo rupanya pemberitahuan sudah dibayar dari kasir ke ruang obat belum tersedia dalam sistem komputer yang dipasang.
Komputer di ruang obat sudah terima copy resep dari dokter, hanya saja ketika pasien sudah membayar, pemberitahuan ke ruang obat (bahwa sudah dibayar) masih harus secara manual. Masih gunakan cara lama, entah kenapa demikian.
Begitulah, ada yang baru, tetapi kebiasaan lama masih tetap ada dan yang seharusnya juga baru, notifikasi secara otomatis, masih harus dilakukan secara manual. Selamat malam, semoga bermanfaat. (MasWig; 7/5/14 jam 23.31)-FR