Berikut kesan seseorang mendaki G. Geulis. Nama Gunung ini terdengar asing dikalangan pencinta alam. Bagi yang kebetulan belajar di kawasan pendidikan Jatinangor; gunung ini tidak asing lagi. Bersama G. Manglayang, G. Geulis jadi ikon Jatinangor. G. Geulis terletak di kecamatan Jatinangor, Sumedang, Jabar.
Tingginya 1200-an meter dari permukaan laut. Walau tidak terlalu tinggi, jangan remehkan gunung ini, bisa bahaya. Dua tahun lalu, saya mendaki gunung ini, karena salah pilih jalur, kami tersasar. Sehingga tiba di puncak waktu tempuhnya lebih lama. Untungnya nyampe juga di puncak.
Sabtu sore saya ber-6 mulai trekking ke G. Geulis. Dari rumah kost salah satu teman, kami menuju Desa Jatiroke, desa ini terdekat di bawah kaki G. Geulis. Untuk menuju Desa ini, kami potong jalan melalui Desa Sukawening, menyusur sawah di antara kedua desa ini. Pemandangan sawah di desa ini mempesona, suatu lukisan alam yang indah.
Tiba di Desa Jatiroke, kami susuri jalan di samping SD Jatiroke. Jalur ini umum dilalui menuju puncak G. Geulis. Sepanjang perjalanan, melewati rumah dan kebun warga. Kebanyakan mereka menanam ubi dan tembakau. Jelang Magrib, kami tiba di batas kebun warga-hutan lindung. Dari titik ini, Jatinangor beranjak gelap, lampu kota di bawah menyala.
Masuk hutan lindung G. Geulis, hari mulai gelap, lampu senter dinyalakan. Kami menyusuri jalan setapak yang pas-pasan untuk satu orang. Jalan yang dilewati awalnya datar. Perjalanan ke puncak diiringi suara hewan. Inilah yang saya sebut menikmati alam, bikin otak refresh.
Satu jam berjalan, kontur jalan tidak bersahabat bagi pendaki baru. Jalan yang terus menanjak membuat tenaga terkuras habis. Kabut tebal membuat jarak pandang makin terbatas. Kami harus ekstra hati-hati melangkah. Karena terus nanjak, beberapa kali kami istirahat “mencharge” tenaga kembali.
Tiba di puncak, kami agak sulit cari tanah datar untuk mendirikan tenda karena puncak ditumbuhi ilalang yang tingginya melebihi tinggi orang dewasa. Ini berbeda ketika saya ke sini 2 tahun sebelumnya, kala itu puncaknya bersih, tidak ada ilalang tinggi.
Setelah mendapat “lapak” yang datar, langsung mendirikan tenda dan memasak bekal yang dibawa untuk dimakan. Malam itu kami makan malam dengan cara “ngeliwet”, makan bersama di atas daun pisang. Karena sulit cari daun pisang untuk alas, alas makannya diganti dengan kantong plastik.
Walau ngeliwet dengan nasi yang setengah matang (gagal matang) dan lauk seadanya, namun nikmat. Suasana kebersamaan benar-benar terasa, apa pun makanan yang dimakan di atas gunung, rasanya pasti selalu enak. Cuaca di puncak malam itu bagus. Cuacanya tidak terlalu dingin dan tidak ada badai.
Cuacanya mendukung untuk menikmati alam. Beres makan, ngobrol ngalur ngidul. Rencana esoknya yang ingin dinikmati. Celakanya tidak ada satu pun yang bangun ketika matahari terbit, tertidur pulas hingga pagi menjelang. Menikmati sunrise dinyatakan gagal total.
Pagi harinya, kami sempatkan keliling di puncak gunung sambil berfoto ria. Sebelum turun gunung, kami sarapan dulu dan membersihkan sampah makanan. Setelah semuanya rapi, siap pulang, rasa-rasanya nggak mau pulang karena males jalan lagi, ini namanya bisa naik nggak bisa turun.
Pukul 07.00 kami turun dan tidak kalah seru dengan naiknya. Saya dan seorang teman berada paling belakang. Kami memperlambat jalan untuk menikmatinya. Pemandanganya luar biasa indah, pegungungan berjejer rapi dan pepohonan hijau royo-royo, memanjakan mata. Udara segar membuat otak makin fresh.
Perjalanan pagi ini dinanungi keceriaan, sampai kami sempat nyasar salah jalan. Di tengah perjalanan, teman saya berkata “sepertinya kita semalam nggak lewat sini, tapi dari atas tadi jalannya kan cuma satu ini”. Uniknya semua teman saya yang berada di depan merasa begitu. Merasa salah jalan, padahal jalan dari atas sama sekali tidak ada percabangan.
Untung kami cepat mengusai medan dan kembali ke trek yang benar. Hikmahnya jangan “meremehkan” gunung ini, waulu tidak terlalu tinggi, jalur-jalur cukup bervariasi, tetap fokus dan kenali medan. Setelah dua jam menuruni gunung ini, akhirnya kita sampai di batas antara hutan lindung dan kebun warga.
Di kebun, tampak petani sedang mengolah tanah. Kita menghampiri salah satu petani yang sedang panen ubi di kebunnya, teman saya menawar untuk membeli ubi yang baru siap ini, fresh from the oven. (http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/05/04/pesona-keindahan-gunung-geulis-sumedang-552737.html)-FatchurR