Saya berkesempatan ke Sumbawa membantu sebuah perusahaan yang sedang efisiensi pegawai. Pernahkah terpikir, siapkah kita bila saat ini harus kehilangan pekerjaan yang jadi satu-satunya sumber pendapatan penopang ekonomi keluarga?
Sekadar info, perusahaan ini peduli dengan karyawannya yang dilepas. Hal itu ditunjukan dengan tidak hanya mengundang konsultan keuangan, tetapi juga pemasok tenaga kerja agar menerima curriculum vitae (CV) para karyawan. Bahkan psikolog pun dilibatkan.
Namun, respons karyawan berbeda-beda. Bagi yang memiliki backup plan mungkin lebih bisa menerima. Untuk yang tidak siap, apalagi selama ini menghabiskan mayoritas gajinya untuk membayar utang, pasti sangat berat. Bagi yang siap, ada yang senang akan menerima pesangon besar. Mereka bersemangat untuk konsultasi. Sekadar bertanya, rencana mereka cukup tepat mengalokasikan dana pesangon tadi.
Bagi kelompok yang belum siap, wajahnya masam-gelisah. Mereka cenderung tak banyak bicara. Bagi konsultan keuangan, terasa berat untuk bisa memberi pandangan positif masa depannya. Rata-rata golongan wajah masam ini menolak berkonsultasi. Kebanyakan merekaada kewajiban yang harus dipenuhi.
Padahal kehadiran kami ingin berusaha memberikan solusi kepada mereka untuk mencari jalan terbaik yang bisa dilakukan dengan uang pesangon yang jumlahnya cukup besar, bahkan ada yang mencapai miliaran.
Menurut saya, ada satu hal yang menarik di sini. Terbukti, banyaknya aset atau kekayaan yang kita miliki, tidak bergantung dengan besaran gaji kita. Bukan berarti gaji besar bisa menabung dan gaji kecil sulit melakukannya. Ada dua kasus yang bisa kita bandingkan dari hasil konsultasi saya di Sumbawa ini.
Bapak E, 38 tahun, posisinya staf gaji Rp12 juta per bulan. Bapak M, 48 tahun, senior manajer dg gaji Rp45 juta per bulan. Secara rasional kita menganggap Bapak M lebih kaya daripada Bapak E. Ternyata, mengukur kekayaan tak bisa dengan melihat pendapatannya. Kalau kita lihat besarnya pendapatan, seumur hidup kita tidak akan berhenti bekerja untuk uang
Setelah ditelusuri, Bapak E beraset besar. Selain tabungan, beberapa hektar tanah plus jati siap panen, tanah untuk peternakan sapi dan kuda, tanah sawah, dua unit rumah, serta kendaraan yang disewakan. Semua asetnya produktif. Beliau kaget saat nilai asetnya Rp2,6 miliar.
Bapak M dengan gaji Rp45 juta, bergaya hidup manajer yang dirasa harus dimiliki. Main golf di Bali menjadi hobi rutin. Anaknya kuliah di luar kota. Kebutuhan tempat tinggal dan mobil untuk anak sudah dipenuhi.
Dengan gaji yang besar, sebetulnya setiap bulan dia bisa menabung sekitar Rp15 juta. Namun tidak dilakukan. Setelah dihitung total aset yang dimiliki, ternyata nilainya Rp1,8 miliar. Sayangnya, semua masih dalam bentuk aset tidak produktif.
Pada kasus kedua bapak ini, apakah kita masih mengatakan bahwa Bapak M lebih kaya sari Bapak E? Kira-kira siapa yang lebih siap menghadapi masa pensiun? Pasti Bapak E. Tidak ada jaminan yang bergaji lebih besar pasti lebih kaya dari yang gajinya kecil. Kekayaan seseorang diukur dari besarnya harta atau aset bersih dikurangi besarnya utang.
Aset terbaik adalah ketika ia mampu bekerja untuk kita dan memberikan tambahan pendapatan secara rutin tanpa kita harus bekerja mengeluarkan energi terlalu besar. Itulah yang dinamakan passive income. (Dwita Ariani, MM, RFA, RIFATwitter: @BundaWita; Financial educator dari Zelts Consulting
https://id.berita.yahoo.com/bukan-masalah-berapa–tapi-gimana-111849768.html)-FatchurR