Besok adalah hari kematianku. David membuka kapsul satu demi satu, mengeluarkan cairannya ke sendok, lalu menyuapkannya ke mulutku. Lima kapsul sekaligus. Bagiku makan obat seperti makan kacang, bisa kapan saja dan tak harus dihitung berapa butir yang sudah kutelan. Dua minggu terakhir, semenjak diambil dari rumah sakit, aku tak makan obat. Kenapa?
Harga obat kanker yang menumpuk di tempat tidurku itu sama dengan harga motor baru. Ponakanku Kelyn menghitungkannya buatku. Mbah Soplak, belakang rumah, menghabiskan 6 ribu rupiah sehari untuk makan dengan lauk sederhana.
Kalau harga obat itu dibagi 6 ribu hasilnya sekitar 2 ribu. Jadi uang itu setara dengan anggaran makan 2 ribu orang seperti Mbah Soplak selama sehari, atau 20 Mbah Soplak untuk 100 hari. Artinya selama 2 minggu menjemput kematian ini, aku harus menghabiskan uang makan 20 orang miskin untuk 100 hari?
Esok hari orang akan sibuk melayat, menyolatkan dan menguburkan. Biaya kafan dan perawatan jenazah, 200 ribu. Gali kubur, 200 ribu. Papan jati penutup mayat, 1 juta 750 ribu rupiah. Malam hari setelah pemakaman biasanya ada acara dzikir bersama. Hari pertama sampai ketiga, hari ketujuh, kemudian hari ke empatpuluh. Total anggaran untuk seluruh acara tersebut tak lebih murah dari harga obat dua mingguan yang aku ceritakan tadi.
Aku berbisik pada David,
“Tolong ambil uang di ATM-ku, masih ada beberapa ratus ribu. Belikan nasi bungkus. Kasihkan buat Mbah Soplak dan sebanyak mungkin orang miskin seperti dia”.
Aku berfikir, kalau tumpukan obat itu bisa dijual, cepatlah jadikan uang, belikan nasi bungkus untuk Mbah Soplak. Kemudian, perlengkapan pemakaman yang mahal, seperti kayu jati, ganti saja pakai bambu. Paling seratus ribu. Sisanya sekitar satu setengah juta, belikan nasi bungkus untuk Mbah Soplak.
Lalu anggaran selamatan setara dengan harga obat seminggu itu, belikan juga nasi bungkus untuk Mbah Soplak. Aku pikir aku tak butuh itu. Yang kuharap hanya doa ortuku, anakku, saudaraku, sahabatku dan orang tercintaku. Doa tulus yang tak ada hubungannya dengan anggaran dan acara apapun.
David berhasil membuatku mau menelan cairan lima butir kapsul pemberiannya. Aku masih ingat yang dia bisikkan, ”Pakde…..”, begitu kami saling menyebut sesama anggota gank cowok IPA semasa SMA dulu. Dia melanjutkan,
”….., hidup mati itu urusannya Alloh, tapi masalah sehat atau sakit, itu urusan sampeyan sendiri. Yang bilang sampeyan mati besok pagi itu mereka, bukan Alloh. Iya kalau jadi mati, kalau sepuluh tahun lagi? Pilih mana, sepuluh tahun lagi hidup dalam kondisi sakit atau sehat?”
David membetulkan sandaranku, menyuapkan sesendok madu,
“Keinginan sembuh akan menstimulasi otak agar memerintahkan semua organ bekerja melakukan perbaikan sel. Tuhan menciptakan tubuh manusia lengkap dengan kemampuan menyembuhkan dirinya sendiri. Kita hanya butuh memasukkan nutrisi yang diperlukan tubuh untuk proses ini.
Jika besok benar mati, sampeyan sudah melakukan kewajiban merawat tubuh titipan Allah sampai detik terakhir. Jika belum, artinya ada kesempatan untuk sembuh dan beramal yang lebih banyak lagi. Gunakan kesempatan itu”.
Masa kritis itu telah dua belas tahun berlalu, tapi kata-kata David terdengar jelas sampai hari ini. Dia menempatkan posisiku sebagai “tangan kanan” untuk beberapa perusahaan, lembaga pendidikan dan layanan kesehatan gratis yang didirikannya.
Sore itu di pemakaman, tak lagi ada satupun pelayat yang tinggal. Patok kayu itu bertuliskan:
David Maulana
Lahir 23-03-1971
Wafat 23-11-2013
David benar. Aku sakit tapi hidup, sementara dia mati, padahal kemarin pagi masih sehat sama sekali. Usai mengimami sholat Isya tadi malam di masjid, dia tidur tanpa pernah bangun kembali. Innaa lillahi wa innaa ‘ilaihi roji’uun.
Hari ini, berapapun sisa hidup yang aku dapati adalah kesempatan untuk menjaga titipan Alloh padaku, sekaligus titipan Alloh pada David yang sekarang ada di pundakku. (HAT; http://inspirasi.co/forum/post/1151/kado_kematian)-FR