P2Tel

Takdirkah?

Berikut disajikan email dari pensiunan dalam suatu milis : Saya sedang otak-atik email2 yang belum sempat dibuka (secara mundur dari yg terakhir). Mungkin tidak percaya, masih ada 5000an lebih. Ya setiap hari ada 300-500an, duapertiga langsung masuk Junk atau Spam folder di situs TT-Tel, dan sebagian lagi masih terbuang di Junk folder Mail.

Masih ada 60-100an yang harus diseleksi, dibaca, beberapa dipelajari dan dijawab. Jika sedang sibuk, ya tetap keteteran, dan terpaksa yang prioritas dahulu. Maksud utama email saya kali ini bukan laporan di atas. Tapi ada yang menggelitik saya, apabila ada yang berkomentar mengenai “nasib” dan “takdir”.

Begini ya, saya yakin semua setuju, bahwa kemampuan nalar otak manusia itu secuil atau setitik dibanding KeMahaKuasaan Allah. Di bawah ini sudah mulai sedikit filsafat yang bernalar logika, walaupun mulai sulit dimengerti.

Allah itu Maha Baik dan tidak mungkin keluar suatu yang jahat, bukan? Lalu mengapa kok ada setan dan orang jahat? Memangnya Allah sudah menakdirkan mereka jahat dari awal? Tidak adil, bukan? Padahal Alllah itu Maha Adil.

[Apabila sudah takdir, bersusah payah untuk berdoa, taat pada ketentuan agama, berusaha bisnis, mendidik, dll, akan percuma saja, bukan? Lebih baik diam2 karena sudah ditakdirkan nasibnya, bukan?
Nah, ini kan tidak adil, rajin – malas, sombong – rendah hati, dan berbuat baik – jahat, podo wae]

Manusia diberi kehendak bebas dari sejak Diciptakan, dan kewajibannya untuk mengembangkannya. Binatang tidak demikian (melihat pola hidupnya ya sama terus dari generasi ke generasi). Manusia diberi kebebasan untuk menjadi baik atau jahat.

Di sini letak titik kritisnya, sekaligus Misteri Allah yang tidak mungkin kita mengerti.
Apabila bisa mengerti semua yang Dilakukan Tuhan, ya sama dengan Tuhan, kan?
Nanti, apabila sudah “Dipanggil” kembali mungkin mengerti mengapa demikian. (Salam, AphD)-FR

Catatan, berikut catatan dari Redaksi :
Ketika Mu’awiyah ibn Abi Sufyan mengganti Khalifah IV, Ali ibn Abi Thalib (W. 620 H), ia menulis surat kepada seorang sahabat Nabi, Al-Mughirah ibn Syu’bah menanyakan, “Apa doa yang dibaca Nabi setiap selesai shalat?” Ia memperoleh jawaban, doa beliau : “Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Wahai Allah tidak ada yang mampu menghalangi yang kau beri, tidak ada yang mampu memberi yang Engkau halangi. Semua bersumber dari-Mu (HR Bukhari).

Doa ini dipopulerkannya untuk memberi kesan segala sesuatu telah ditentukan Allah, dan tiada usaha manusia sedikit pun. Kebijakan mempopulerkan doa ini, dinilai oleh banyak pakar sebagai “bertujuan kesewenangan pemerintahan mereka, sebagai kehendak Allah. Begitu tulis Abdul Halim Mahmud mantan Imam Terbesar Al-Azhar Mesir dalam Al-Tafkir Al-Falsafi fi Al-Islam (hlm- 203).

Pandangan ini tidak diterima kebanyakan ulama. Ada yang menggebu menolaknya sehingga secara sadar atau tidak mengumandangkan pernyataan la qadar (tidak ada takdir). Manusia bebas melakukan apa saja, bukankah Allah menganugerahkan kepada manusia kebebasan memilih dan memilah?

Mengapa manusia harus dihukum kalau dia tidak memiliki kebebasan itu? Bukankah Allah sendiri menegaskan, “Yang hendak beriman silakan beriman, yang mau kufur silakan kufur” (QS Al-Kahf [18]: 29).

Masing-masing bertanggung jawab pada perbuatannya sendiri. Namun pandangan ini juga disanggah. Ini mengurangi kebesaran dan kekuasaan Allah. Bukankah Allah Mahakuasa? Bukankah “Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu lakukan” (QS Al-Shaffat [37]: 96).

Tidakkah ayat ini berarti Tuhan menciptakan apa yang kita lakukan? Demikian mereka berargumentasi. Selanjutnya bukankah Al-Quran menegaskan, “Apa yang kamu kehendaki, (tidak dapat terlaksana) kecuali dengan kehendak Allah jua” (QS Al-Insan [76]: 30).

Demikian sedikit perdebatan yang tak kunjung habis di antara teolog. Masing-masing menjadikan Al-Quran sebagai pegangannya, seperti banyak orang yang mencintai si Ayu, tetapi Ayu sendiri tidak mengenal mereka.

Kemudian didukung oleh penguasa yang ingin mempertahankan kedudukannya, dan dipersubur oleh keterbelakangan umat dalam berbagai bidang, meluaslah paham takdir dalam arti kedua di atas, atau paling tidak, paham yang mirip dengannya.

Yang jelas, Nabi dan sahabat utama beliau, tidak pernah mempersoalkan takdir seperti para teolog itu. Mereka yakin takdir Allah yang menyentuh semua makhluk, tetapi keyakinan ini tidak menghalangi mereka berupaya, berjuang, dan kalau kalah tidak menimpakan kesalahan kepada Allah.

Sikap Nabi dan para sahabat itu lahir, karena mereka tidak memahami Al-Quran secara parsial: ayat demi ayat, atau sepotong-sepotong lepas dari konteksnya. Seharusnya paham secara utuh, sebagaimana diajarkan Rasulullah Saw. (http://mualiffahrizi.wordpress.com/2014/01/13/mengenal-takdir/)-Redaktur

Tulisan Lainnya :

Exit mobile version