Kesenangan menikmati rumah baru di block G ini ternyata berlangsung tidak lama. Sumber ketidak nyamanan ini adalah dari tetangga sebelah. Bermula dari hal yang kecil yaitu sampah daun kering dari halaman sebelah yang diam-diam dibuang ke halaman mBakyu Sugeng. Perbuatan itu tidak luput dari intaian mBakyu Sugeng dari balik jendela kaca.
Semula, mBakyu Sugeng mengira hanya karena kebiasaan selama ini saja, karena sebelumnya rumah ini sering kosong, tanpa banyak bicara perempuan itu membersihkan sampah tetangga yang dibuang ke halamannya. Namun, ternyata kebiasaan tersebut berjalan terus, bahkan makin menjadi-jadi. Sekarang bukan hanya sampah daun kering, namun juga sampah bungkus dari daun pisang ikut dibuang.
Sikap tetangga sebelah, istri sersan Rosid dari semula memang kurang bersahabat. Sebagai orang asli Jogjja, mengangguk kepada siapapun yang bertemu, apalagi kepada tetangga adalah sebuah keharusan. Tapi anggukan mbakyu Sugeng tidak berbalas sebagaimana mestinya. Bu Rosid, melengos saja.
Bu Rosid yang belum memiliki anak itu, juga ternyata juga tidak ramah kepada anak-anak. Bermula, dari teriakan dan jerit anak-anak perempuan mBakyu Sugeng yang berloncatan dari dinding pemisah yang tidak terlampau tinggi. Keriangan anak-anak ini rupanya mengganggu kenyamanan bu Rosid, ia kemudian keluar dan memarahi anak-anak. Kemarahan ini rupanya berkepanjangan dan dilanjutkan dengan mengomel terus.
Sejak saat itu anak-anak, tidak lagi bermain disisi pagar tembok bu Rosid, mereka bermain disisi lain, dihalaman luas dibawah pohon talok. Mereka takut kena damprat lagi dari Mbah Dukun, demikian julukan anak-anak kepada tetangga mereka. Gara-gara bu Rosid pernah melempari rumah mereka dengan bunga setaman.
Biasanya untuk hal-hal remeh semacam ini bisa diatasi sendiri oleh mBakyu Sugeng, namun kali ini ia mengambil keputusan lain. Suatu hari dibiarkannya sampah tetangga yang dibuang ke halamannya. Ia tidak membersihkannya. Jam satu siang, dering sepeda mas Sugeng, terdengar memasuki halaman. mBakyu Sugeng menyambut suaminya di muka pintu. Dilihatnya suaminya menuntun sepeda laki-laki merk Fongers kesayangannya melewati sampah yang tidak dibersihkan. Ia memandang sampah yang berserakan dan kemudian memandang ke istrinya dengan pandangan penuh heran.
Akhirnya mas Sugeng mengetahui apa yang terjadi di rumahnya selama ini. Apalagi anak-anak ikut-ikutan lapor tentang mBah Dukun. Ia tidak menunggu lama. Tanpa mengganti seragam dinasnya, diajaknya istrinya, ke rumah sersan Rosid. Ketiga anaknya ditinggal di rumah. Si bungsu, Siti diemong oleh kakaknya.
Ditemuinya suami istri Rosid, setelah berbasa-basi sedikit, mas Sugeng langsung menanyakan apakah ada kesalahan dari keluarganya selama ini, tak lupa ia juga minta maaf bila anak-anak membuat keributan yang mengganggu istirahat bu Rosid. Mas Sugeng dan mBakyu tidak mendapatkan jawaban yang jelas dari bu Rosid. Akhirnya mereka mengambil kesimpulan bahwa mungkin bu Rosid iri, karena tidak kunjung dikaruniai putra. Apalagi setelah mendapat informasi bahwa penghuni-penghuni sebelumnya juga mendapat perlakuan yang hampir sama.
Tanpa mengungkapkan alasan sebenarnya, Mas Sugeng kemudian lapor ke Denma, untuk kemungkinan pindah rumah. Saat itu memang ada beberapa rumah kosong, tapi untuk peruntukan perwira. Mas Sugeng yang saat itu adalah Bintara senior masih besar kemungkinan untuk naik menjadi Bintara Tinggi. Komandan juga mempertimbangkan bahwa mas Sugeng saat itu memangku jabatan yang sesungguhnya peruntukan perwira pertama. Tahun-tahun itu suasana masih belum kembali normal karena pemberontakan di Jakarta yang ternyata berbuntut sangat panjang, maka Mas Sugeng diijinkan untuk menempati Blok C, khusus perwira.
Akhirnya keluarga kecil tersebut kembali boyongan. Boyongan ke rumah baru, walaupun merepotkan orang tua, namun selalu menggembirakan bagi anak-anak. Anak-anak menjerit-jerit keriangan ikut truck pengangkut dengan bak terbuka, bersama barang-barang mereka.
(Sadhono Hadi; Creator of Fundamen Top40; Visit http://fundamen40.blogspot.com dan http://rumahkudidesa.blogspot.com)-FR