Bangsa kita sangat suka mitos, dongeng, dan sejenisnya. Dalam hal tertentu, kita juga suka memakainya sebagian untuk tujuan positif. Misal, kakek-nenek kita suka bercerita tentang pohon angker di atas bukit. Akibatnya kita tak berani main-main ke puncak bukit.
Apalagi menebang pohonnya. Di daerah Kuningan, Jawa Barat, juga ada sejenis ikan yang bentuknya unik. Dulu di sebuah kolam di Desa Cokrotulung, Klaten, juga ada ikan. Tapi mitosnya sama: ikan-ikan itu adalah peliharaan para dewa, jadi tak boleh dipancing, apalagi dimakan. Kita pun menurutinya.
Cerita semacam itu tentu merupakan mitos yang positif. Pohon-pohon yang berada di atas bukit jadi tetap aman, tidak ditebangi. Ini membuat bukit-bukit jadi tempat yang bagus untuk penampungan air. Kemudian air ini dialirkan ke bawah melalui sungai-sungai, dipakai untuk mengairi sawah dan ladang. Sebagian air juga ditampung dalam kolam, dipakai untuk memelihara ikan.
Ikan-ikan yang dijaga mitos itu terus bertambah, makin banyak, dan panjang usianya. Begitulah kalau mitos positif bekerja. Celakanya, banyak juga mitos negatif yang berkembang di masyarakat kita. Salah satunya mitos tentang subsidi bahan bakar minyak (BBM). Maka, tak heran, siapa pun yang melakukannya muncul reaksireaksi penolakan. Apa saja mitos-mitos tersebut? Mari kita simak sebagian di antaranya.
BBM Harus Murah
Jangan salah ini mitos pertama masih banyak masyarakat kita yang beranggapan Indonesia adalah negara yang kaya minyak dan gas. Anggapan seperti ini bukan hanya berkembang di kalangan masyarakat kecil, tetapi di lapisan elite kita. Maka pola pikirnya, BBM murah adalah hak. Anggapan semacam ini jelas keliru. Kita bukan negara yang masih kaya dengan minyak dan gas.
Cadangan minyak kita yang sudah terbukti (kerap diistilahkan dengan proved reserves) hanya 3,7 miliar barel atau 0,25% dari total cadangan dunia. Dengan cadangan terbukti sebanyak itu, jika tak ada temuan baru, semuanya akan terkuras habis dalam tempo 11 tahun ke depan. Negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia saat ini adalah Venezuela.
Sampai 2012, volume cadangan minyak terbukti di negara itu mencapai 297,3 miliar barel, atau 17,8% dari total cadangan dunia. Disusul Arab Saudi (dengan 265,9 miliar barel atau 15,9%) dan Iran (157 miliar barel atau 9,5%). Volume cadangan minyak terbukti kita bahkan kalah ketimbang Vietnam dan Malaysia. Cadangan Vietnam mencapai 4,4 miliar barel, sementara Malaysia 3,7 miliar barel (dengan digit angka di belakangnya lebih besar ketimbang kita).
Lalu, sejak 2004 kita sudah tidak lagi menjadi eksportir minyak. Sebaliknya malah menjadi importir. Pada tahun itu impor BBM kita mencapai sekitar 400.000 barel per hari (bph). Anda tahu berapa volume impor BBM kita sekarang? Sudah 1,6 juta bph atau empat kali lipat. Kalau sudah jadi net importer, maka tak relevan lagi mengocehkan soal ini: berapa ongkos produksinya.
Saya bingung membaca logika penanya konyol seperti itu. Namanya barang impor, mau berapa pun biaya produksinya di sini, harganya ya cuma mengikuti harga pasar dunia. Dan itu mudah mencarinya. Lagipula, kita sudah lama meninggalkan rezim cost plus fee dalam menetapkan harga BBM yang berakibat perusahaan nasional kita tak efisien. Bahkan sekarang kita menjadi negara importir BBM terbesar di dunia silakan kalau Anda mau berbangga.
Setiap hari kita impor BBM senilai Rp1,7 triliun per hari. Dengan belanja BBM sebesar itu, tak mengherankan bila setiap kali nilai rupiah melemah terhadap dolar AS pengaruhnya jadi lumayan serius. Bahkan kalau terus melemah, kita harus membayar pangan (yang impornya juga makin aduhai) dengan rupiah yang makin banyak membuat harga pangan di dalam negeri semakin mahal. Ini sepertinya tak dipahami para pendukung subsidi, eh, maksud saya pendukung impor BBM gede-gedean, yang mengabaikan bahaya besar dalam jangka panjang.
Mitos Rakyat Makin Miskin
Mitos kedua, dan ini juga kuat gaungnya, adalah mengalihkan subsidi BBM akan membuat rakyat kita yang miskin semakin miskin, dan yang sudah susah semakin susah. Mitos inilah yang mendorong mahasiswa melakukan aksi demo. Bagi saya, aksi mahasiswa ini jelas aneh.
Sebagai kelompok masyarakat yang terdidik, apakah mereka tidak bisa berhitung dan menganalisis siapa sesungguhnya yang mereka bela? Apakah mereka tidak tahu bahwa selama ini 70% dari subsidi BBM dinikmati oleh masyarakat yang mampu, yakni para pemilik kendaraan bermotor? Apakah mereka tidak sadar bahwa aksi memblokade jalan dan membakar ban malah membuat masyarakat menjadi semakin susah karena mereka jadi terjebak kemacetan?
Banyak kalangan kelas menengah yang tiba-tiba merasa bagian dari rakyat miskin ketika subsidi BBM buat mereka ditarik dan dipindahkan pada mereka yang berhak. Mereka juga berteriak, kalau harga BBM naik maka harga pangan akan ikut naik. Padahal, sebaliknya juga terjadi seperti yang saya jelaskan di atas kalau kurs rupiah kita terus melemah garagara kecanduan BBM impor.
Opportunity Cost
Mitos ketiga adalah kuatnya anggapan, persoalan subsidi BBM adalah persoalan APBN semata. Kita baru ribut membahas kenaikan harga BBM ketika harga minyak mentah dunia meningkat. Sebab, kenaikan itu bakal membuat APBN jebol. Sebaliknya, ketika harga minyak dunia menurun, kita tenangtenang saja, bahkan minta diturunkan juga harganya.
Padahal, persoalan subsidi BBM lebih serius dari sekadar persoalan APBN. Kita tak pernah menghitung berapa opportunity cost yang hilang seandainya dana subsidi BBM dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan yang produktif. Contohnya, biaya untuk membangun monorel dari Bekasi dan Cibubur ke Jakarta hanya membutuhkan dana Rp8,45 triliun.
Seandainya sebagian dana dari subsidi BBM dialokasikan untuk menuntaskan pembangunan monorel ini, saya yakin, kita akan memetik banyak manfaat. Menurut perhitungan Infrastructure Partnership and Knowledge Centre (IPKC), biaya akibat kemacetan di Jakarta dan sekitarnya mencapai Rp68 triliun per tahun atau Rp186 miliarperhari! Inilah opportunity cost yang menguap begitu saja akibat subsidi BBM tidak dialihkan ke kegiatan yang produktif.
Padahal, seandainya kemacetan tersebut berhasil kita kurangi, biaya yang berhasil kita hemat tentu lumayan. Mungkin bisa dipakai untuk membiayai pembangunan monorel atau infrastruktur lain. Mitos keempat berkembang sejak tumbangnya Soeharto. Pada Mei 1998, Soeharto mengumumkan kenaikan harga BBM hingga mencapai lebih dari 70%. Pengumuman dilakukan pada siang hari, sehingga menyebabkan SPBU-SPBU diserbu konsumen.
Antrean terjadi di mana-mana. Kemacetan meluas. Pengumuman tersebut memicu aksi penolakan yang meluasdimasyarakat. Demonstrasi terjadidimana-mana, kemudian bergulir menjadi kerusuhan massal. Sebagian Anda tentu masih ingat dengan aksi penjarahan yang terjadi di manamana. Aksi demo dan kerusuhan itulah yang kemudian memaksa Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden RI.
Dengan mitos-mitos yang kuat berkembang di masyarakat, saya harus mengapresiasi langkah berani Jokowi-JK dalam menaikkan harga BBM, kendati usia pemerintahannya belumsampaisebulan. Keputusan itu memang memaksa kita untuk keluar dari zona nyaman. Kita sudah terlalu lama kecanduan BBM bersubsidi. Perilaku kita sangat boros energi. Hari Minggu lalu, sambil menunggu jalan dari Puncak dibuka satu arah ke Jakarta, saya duduk di tepi kebun teh.
Selama satu jam menunggu kepala saya pusing menghirup karbon yang keluar dari knalpot ribuan mobil yang mesinnya tidak dimatikan karena penumpangnya lebih senang duduk di dalam mobil menikmati AC mobil. Bayangkan, menunggu satu jam tanpa mematikan mesin sama sekali.
Entahlah berapa banyak subsidi yang dibakar sia-sia oleh mereka yang kadang-kadang mengaku miskin karena subsidinya dialihkan. Kini, Kepala Negara mengajak kita untuk berubah. Kita harus berani mengoreksi kekeliruan selama ini subsidi yang salah sasaran, dengan berani keluar dari zona nyaman. Selamat menjalani Revolusi Mental. (https://mail.google.com/mail/u/0/?shva=1#inbox/149e0a2b57bdbcf2) – FatchurR