MAGELANG, KOMPAS.com – Komunitas Kota Toea Magelang punya cara mengenal peninggalan sejarah kawasan Magelang dan Kedu. Kali ini, mereka rela menempuh jarak 15 Km napak tilas rel dan bangunan perkeretaapian yang ratusan tahun dari Stasiun Bedono, Kab-Semarang hingga Candi Umbul, Kab-Magelang, (28/9/2014).
Keringat membasahi puluhan peserta napak tilas jejak transportasi umum KA bernama “Djeladjah Djaloer Spoor #3 Stasioen Bedono-Stasioen Tjandi Oemboel”. Meski terlihat capek, mereka sangat senang bisa melihat jejak kereta api yang masih tersisa di jalur sepanjang Ambarawa-Grabag tersebut.
Dengan bekal tekad dan ingin tahu yang tinggi anggota komunitas pelestari cagar budaya dan benda bersejarah itu melakukan penjelajahan sejarah perkeretaapian dari jalur Ambarawa hingga Secang. Mereka menyusuri hutan, kebun, dan permukiman warga yang dilewati rel kereta api tersebut.
Dari penjelajahan tersebut, mereka menemui beberapa bangunan stasiun yang sudah beralih fungsi sebagai gedung sekolah. Bahkan, ada juga rel kereta api yang sudah dipergunakan untuk jembatan dan di beberapa bagian telah dibangun rumah permanen.
Ketua Komunitas Kota Toea Magelang, Bagus Priyana menjelaskan, penjelajahan yang dilakukan dengan cara napak tilas tempat bersejarah ini bertujuan agar belajar sejarah kereta api di jalur Ambarawa-Secang. Menurut Bagus, rute Ambarawa-Secang resmi dipergunakan dan dibuka pada tanggal 1 Februari 1905 silam.
“Dari penjelajahan ini, kami mengetahui bahwa kereta api pada masa dulu merupakan sarana transportasi penting pada masa itu. 40 tahun lalu, kereta api di wilayah ini mati suri. Kereta api sangat penting untuk sarana ekonomi, pendidikan, sosial, dan lainnya,” katanya.
Berdasarkan catatan sejarah, rute KA dari Jambu menuju Gemawang, Kab-Semarang harus melewati bukit terjal kemiringan 65°. Untuk menghemat biaya, tahun 1902 dibangun rel bergerigi. Perusahaan KA Nederlandsch-Indische Spoorwegmaatschappij (NIS) beli lokomotif uap khusus roda bergerigi seri B 25.
Adapun fungsi rel bergerigi ini adalah untuk menahan rel agar lokomotif uap B 25 tidak mengalami kesulitan dalam menanjaki jalur tersebut. Rel bergerigi ini diletakkan di tengah-tengah rel. Saat ini, rel ini masih bisa dijumpai di jalur Ambarawa-Bedono.
Dari jelajah ini, peserta mengenal tokoh anemer (pemborong) keturunan Tionghoa bernama Ho Tjong An. Pria yang dilahirkan di Tungkwan, Canton, Tiongkok tahun 1841 ini merupakan tokoh dalam pembangunan jalur KA antara Ambarawa-Secang, Magelang-Secang, dan Secang-Temanggung-Parakan.
“Dia merupakan tokoh yang berjasa bagi perkeretaapian di jalur Magelang ini. Dari berbagai referensi kami juga tahu bahwa pengerjaan jalur rel kereta api Ambarawa-Secang ini menghabiskan biaya sekitar f 390.000 (gulden Belanda). Sementara, jalur antara Magelang-Secang dan Secang-Parakan menghabiskan biaya sebesar f 350.000 (gulden Belanda). Jumlah yang besar saat itu,” paparnya.
Bagus menjelaskan, dari penjelajahan itu, pihaknya juga menemukan beberapa rel yang mulai dialihfungsikan untuk jembatan, tiang dan semacamnya. Ada beberapa rel juga yang sudah mulai berpindah tempat.
Termasuk, ada beberapa warga yang memanfaatkan rel itu untuk membangun bangunan permanen di atasnya. “Ini terjadi di Pingit, Kabupaten Temanggung. Kami menjumpai beberapa rumah yang seperti itu. Termasuk ada stasiun yang rusak dan dialih fungsikan sebagai sekolah di Grabag,” paparnya.
Terkait rencana reaktifasi jalur kereta dari Yogyakarta-Magelang dan Ambarawa-Magelang, pihaknya mengaku sangat mendukung. Sebab, dengan sarana kereta api, bisa mendukung beragam aspek kehidupan. Apalagi jika nantinya ada sarana transportasi tersebut akan menghidupkan kegiatan ekonomi dan geliat wisata di jalur Yogyakarta hingga Semarang.
Komunitas tersebut telah dua kali melakukan penjelajahan serupa. Yakni di jalur kereta api Magelang-Secang-Temanggung-Parakan, dan Secang-Candi Umbul. Salah satu peserta, Yoseph Kelik P mengaku senang bisa mengikuti penjelajahan tersebut. Dia tidak menyangka masih ada rel di sepanjang jalur tersebut. Namun, di sepanjang jalur itu, dia menemukan banyak rel yang berubah menjadi jembatan dan penyangga voli. Dia berharap jika jalur tersebut dihidupkan kembali bisa membantu transportasi umum.
“Hanya banyak penduduk yang memanfaatkan rel untuk dibangun rumah di atasnya, mudah-mudahan tidak menimbulkan gejolak sosial,” katanya (Ais; Editor : I Made Isdhiana; Sumber Tribune Yogya; dan http://travel.kompas.com/read/2014/09/29/135458127/Napak.Tilas.Rel.Mati.Stasiun.Bedono.hingga.Candi.Umbul)-FatchurR