P2Tel

Pandanglah istrimu saat tidur

“Assalaamu’alaikum…!” Ucapnya lirih saat masuk rumah. Tak ada yang menjawab. Ia tahu istri dan anaknya pasti sudah tidur. Biar malaikat yang menjawab salamku,” begitu pikir Amin. Melewati ruang tamu temaram, dia menuju ruang kerjanya.

 

Diletakkannya tas, ponsel dan kunci di meja kerja. Barulah ia menuju kamar mandi membersihkan diri dan ganti pakaian. Tak ada seorangpun keluarganya yang terbangun, semua tidur pulas. Ia beranjak menuju kamar tidur. Pelan-pelan dibukanya pintu kamar, ia tidak ingin mengganggu tidur istrinya.

 

Istrinya tidak menyadari kehadirannya. Amin duduk di pinggir tempat tidur. Dipandangi dalam2 wajah Aminah, istrinya. Amin teringat perkataan almarhum kakeknya, sebelum dia menikah. Kakeknya mengatakan, Jika kau sudah menikah, jangan berharap kamu beristri yang sama persis dengan maumu.

 

Karena kaupun tidak sama persis dengan maunya. Jangan berharap punya istri yang berkarakter sama sepertimu. Karena suami istri adalah dua orang berbeda. Bukan untuk disamakan tapi untuk saling melengkapi. Jika suatu saat ada yang tidak berkenan, atau kamu jengkel, marah, dan perasaan tidak enak, maka lihatlah ketika istrimu tidur.

 

“Kenapa Kek, kok waktu dia tidur?” tanya Amin kala itu. “Nanti kamu akan tahu sendiri,” jawab kakeknya singkat. Waktu itu, Amin tidak sepenuhnya memahami maksud kakeknya, tapi ia tidak bertanya lebih lanjut, karena kakeknya sudah mengisyaratkan untuk membuktikannya sendiri.

 

Malam ini, ia memahami. Ia tatap istrinya. Makin lama dipandang, makin membuncah perasaannya. Wajah polos istrinya saat tidur membuatnya terkesima. Raut muka tanpa polesan, tanpa kepura-puraan, tanpa dibuat-buat. Pancaran tulus dari kalbu. Memandaginya menyeruakkan berbagai perasaan.

 

Ada rasa sayang, cinta, kasihan, haru, penuh harap dan entah apa lagi. Dalam batin, dia bergumam, “Wahai istriku, kau dulu gadis yang leluasa beraktifitas, banyak yang bisa kau perbuat dengan kemampuanmu. Aku yang menjadikanmu seorang istri.

 

Menambahkan kewajiban yang tidak sedikit. Memberikan banyak batasan, mengaturmu dengan banyak aturan. Dan aku pula yang menjadikanmu seorang ibu. Menimpakan tanggung jawab yang tidak ringan. Mengambil hampir semua waktumu untuk aku dan anak-anakku.

 

Wahai istriku, kau dulu bisa melenggang kemanapun tanpa beban, aku yang memberikan beban di tanganmu, dipundakmu, untuk mengurus keperluanku, guna merawat anakku, juga memelihara rumahku. Kau relakan waktu dan tenagamu melayaniku dan menyiapkan keperluanku.

 

Kau ikhlaskan rahimmu mengandung anak-anakku, kau tanggalkan atributmu untuk jadi pengasuh anak-anakku, kau buang egomu untuk menaatiku, kau campakkan perasaanmu untuk mematuhiku. Istriku, dikala susah, kau setia mendampingiku. Ketika sulit, kau tegar di sampingku. Saat sedih, kau pelipur laraku.

 

Dalam lesu, kau penyemangat jiwaku. Bila gundah, kau penyejuk hatiku. Kala bimbang, kau penguat tekadku. Jika lupa, kau yang mengingatkanku. Ketika salah, kau yang menasehatiku. Wahai istriku, yang lama mendampingiku, kehadiranmu membuatku sempurna sebagai lelaki. Atas dasar apa aku kecewa padamu? Dengan alasan apa aku perlu marah padamu?

 

Andai kau bersalah atau kekurangan, semua itu tidak cukup bagiku untuk membuatmu menitikkan airmata. Aku harus membimbingmu. Aku adalah imammu, jika kau melakukan kesalahan, akulah yang harus dipersalahkan karena tidak mampu mengarahkanmu. Jika ada kekurangan dirimu, itu gak perlu jadi masalah. Karena kau insan, bukan malaikat.

 

Maafkan aku istriku, kau akan kumaafkan jika bersalah. Mari bersama membawa bahtera rumahtangga ini hingga berlabuh di pantai nan indah, dengan hamparan keridhoan Allah swt. Segala puji hanya untuk Allah swt yang memberimu sebagai jodohku.” Airmata Amin menetes deras. Dadanya menahan isak tangis. Segera ia berbaring di sisi istrinya pelan-pelan. Tak lama kemudian iapun terlelap.

***
Jam dinding berdentang 2x. Aminah, istri Amin, terperanjat, “Astaghfirullaah, sudah jam dua?”
Dilihatnya suami pulas. Pelan-pelan ia duduk, memandangi wajah suami yang kelelahan. “Kasihan suamiku, aku tidak tahu kedatangannya. Hari ini aku benar-benar capek, sampai-sampai nggak mendengar apa-apa. Sudah makan apa belum ya dia?” gumamnya dalam hati.

 

Mau dibangunkan nggak tega, akhirnya cuma dipandangi saja. Semakin lama dipandang, semakin terasa getar di dadanya. Perasaan yang campur aduk, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya hatinya yang bicara. “Wahai suamiku, aku memilihmu untuk jadi imamku. Aku yakin engkau yang terbaik untuk jadi bapak anak-anakku. Besar harapan kusandarkan padamu. Begitu banyak tanggungjawab kupikulkan di pundakmu”.

 

“Wahai suamiku, ketika aku sendiri kau datang menghampiriku. Saat aku lemah, kau ulurkan tanganmu menuntunku. Dalam duka, kau sediakan dadamu untuk merengkuhku. Dengan segala kemampuanmu, kau selalu ingin melindungiku.

 

“Wahai suamiku, tidak kenal lelah kau berusaha membahagiakanku. Tidak kenal waktu kau tuntaskan tugasmu. Sulit dan beratnya mencari nafkah yang halal tidak menyurutkan langkahmu. Bahkan sering kau lupa memperhatikan dirimu sendiri, demi aku dan anak-anak. “Lalu, atas dasar apa aku tidak berterimakasih padamu, dengan alasan apa aku tidak berbakti padamu?

 

Seberapapun materi yang kau berikan, itu hasil perjuanganmu, buah dari jihadmu. Jika kau belum sepandai da’i dalam menasehatiku, tapi kesungguhanmu beramal shaleh membanggakanku. Tekadmu untuk mengajakku dan anak-anak istiqomah di jalan Allah membahagiakanku.

 

“Maafkan aku suamiku, aku akan memaafkan kesalahanmu. Alhamdulillah, segala puji milik Allah yang mengirimmu jadi imamku. Aku akan taat padamu untuk mentaati Allah swt. Aku akan patuh kepadamu untuk menjemput ridho-Nya..” Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota’ayun waj’alna lil muttaqiina imama. (SPS; bahan dari https://www.facebook.com/Busanakitacom/posts/845866148815428)-FR

Tulisan Lainnya :

Exit mobile version