Sebuah layang-layang baru selesai dibuat. Pemiliknya membawa ia ke lapangan. Perlahan layang-layang itu menemukan dirinya terbang makin lama makin tinggi. Ketika ia mengangkat wajahnya menengadah ke langit, ia berteriak gembira; ‘Woo, langit yang biru. Aku akan terbang tinggi sampai ke ujung sana.’
Tiba-tiba ia merasa perjalanannya tersendat dan berat. Ia tidak bisa bergerak lebih tinggi dan tak mampu maju lebih jauh lagi. Ketika ia menundukkan kepala, baru ia tahu kalau pemiliknya memegang kuat ujung benang. Benang itulah yang membuatnya tak bisa terbang tinggi.
Layang-layang itu amat marah. “‘ Mengapa ia tidak melepaskan aku? Bila aku dilepaskan secara bebas, aku pasti akan terbang lebih tinggi menembusi awan-awan yang ada jauh di atas sana.” Demikian layang-layang itu berontak.
Tiba-tiba tali benang itu putus. Ternyata bukan kenikmatan yang diperoleh. Kini jungkir balik terbang tak teratur dibawa angin. Angin kencang datang menghembus, dan ia jatuh tersangkut di atas pohon. Rangkanya patah. Kertasnya sobek. Ia kini menjadi seonggok sampah yang tak berbentuk.
Saat seseorang berkata, ia hebat dan kuat, saat itulah awal kehancurannya. (Suhirto M; http://www.nomor1.com/hashas174/Layang-layang.htm)-FR