VIVAnews-Shale gas belakangan ini sering didengar setelah pemerintah memberi izin pada 4 perusahaan migas untuk melakukan joint study pengembangan gas non-konvensional itu. Ke-4 perusahaan yang belum diumumkan itu diharapkan sudah menandatangani kontrak kerja sama dengan pemerintah.
Shale gas adalah gas non-konvensional yang diperoleh dari serpihan batuan shale atau tempat terbentuknya gas bumi. Gas alam konvensional biasanya ditemukan di cekungan lapisan bumi pada kedalaman ±800 meter atau lebih.
Namun, shale gas terdapat di lapisan bebatuan (shale formation) di kedalaman lebih dari 1.500 meter. Lapisan tersebut kaya material organik, sehingga dapat menjadi sumber energi. Shale gas ditemukan pertama kali di New York pada 1821 dan mulai dikembangkan pada 1970-1980.
Namun, shale gas baru bisa diproduksi secara komersial pada dekade terakhir ini, berkat temuan kombinasi teknologi horizontal drilling dan hydraulic fracturing. Setelah pipa bor mencapai lapisan tengah shale, pipa lalu dibelokkan secara horisontal hingga ±2 kilometer.
Sepanjang pipa horisontal telah dilubangi untuk jalan keluar air yang disemprotkan dengan tekanan tinggi. Cukup tinggi untuk meretakkan lapisan bebatuan yang ada di sekitarnya. Setelah retak, gas akan keluar dari pori-pori dan celah bebatuan yang kini saling terhubung, sehingga mampu menghasilkan gas dalam jumlah yang ekonomis.
Selain air, juga dicampurkan bahan kimia dan atau proppant, material yang dapat menjaga rekahan tetap terbuka selama masa exploitasi gas berlangsung. Proppant dalam jumlah yang cukup bisa diperoleh dari sejenis kacang-kacangan bernama guar.
Guar banyak ditanam di India, karenanya Amerika mengimpor dari sana. Ribuan rakyat miskin India mendadak kaya, karena datangnya permintaan guar dalam jumlah sangat banyak dan dengan harga yang tidak pernah mereka impikan.
Cadangan melimpah : Seperti dikutip dari laman resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, hingga saat ini terdapat tujuh cekungan di Indonesia yang mengandung shale gas dan satu cekungan berbentuk klasafet formation.
Cekungan terbanyak berada di Sumatera, yaitu berjumlah tiga cekungan, seperti Baong Shale, Telisa Shale, dan Gumai Shale. Sementara itu, di Pulau Jawa dan Kalimantan, shale gas masing-masing berada di dua cekungan. Selanjutnya, di Papua, berbentuk klasafet formation.
Dari tujuh cekungan itu, potensi shale gas Indonesia sangat tinggi, diperkirakan mencapai 574 triliun kaki kubik atau TSCF. Lebih besar jika dibandingkan gas metana batu bara (Coal Bed Methane) yang hanya 453,3 TSCF dan gas bumi 334,5 TSCF.
Pengamat energi yang juga Direktur ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, potensi shale gas, Indonesia tak diragukan lagi. Dia mengatakan, untuk mengeksploitasi butuh waktu. Sebab, tingkat kerumitan eksploitasi shale gas jauh lebih sulit dibanding gas konvensional dan CBM.
“Padahal, gas konvensional dan CBM di Indonesia masih melimpah,” kata dia kepada VIVAnews.
(Zaenal Arifin; art; http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/338340-mengenal-shale-gas)-FR