P2Tel

11/19 Sinar Dalam Gelap

(Serial)-Umrah adalah ibadah fisik, namun banyak yang fisiknya bermasalah masih bertekad ber-Umrah. Ada yang datang memakai kruk dan banyak saya jumpai yang memakai kursi roda. Orang yang sudah sangat sepuh, penderita stroke diatas kursi roda, didorong oleh suami atau istri atau putranya yang tercinta.

Di hari terakhir saya di Madinah, sambil menunggu datangnya waktu shalat Isya, saya mencari tempat untuk duduk bersandar. Biasanya saya duduk di bagian bawah tiang yang terbuat dari marmer putih. Dibelakang saya ada semburan AC, namun karena arah semburannya ke atas, tidak langsung ke tubuh saya, biasanya saya tahan duduk di sana ber-jam-jam.

Kalau tidak mengaji dari Kitab Al Quran yang banyak tersedia, saya membuka Tablet yang jarang lepas dari tubuh saya. Di sinilah tempat terbaik untuk menulis, suasana tenang dan bisa mengamati keadaan lebih jelas. Di kamar hotel saya tidak bisa menulis, karena di sana sudah letih dan hanya beristirahat.

Rupanya banyak juga yang berpikiran sama dengan saya. Dari ratusan tiang marmer di masjid hampir semua sudah ada yang menempati. Lumayan sulit untuk mendapatkan posisi favorit itu. Akhirnya saya dapatkan juga tempat di tiang yang masih kosong.

Belum lama duduk, seorang yang berumur dan seorang yang masih muda berdiri kebingungan mencari tempat juga. Dari wajahnya, nampaknya ia dari ras Asia Selatan, bila bukan dari Pakistan ya mungkin dari Afganistan. Yang tua berpakaian coklat lusuh, yang muda berpakaian abu-abu lebih rapih.

Ia melirik ke tempat sebelah saya, saya mengangguk. Kemudian pria tua itu menuntun yang muda dan menempatkannya disisi saya. Saya baru tahu bahwa yang muda itu buta. Pantaslah ia mencari lokasi yang aman, terlindung tiang di belakangnya.

 

Bila ia berdiri di saf tengah, akan mudah kesenggol orang. Pria tua itu menolak ketika saya tawarkan tempat saya, agar memungkinkan ia bisa menjaga anaknya dengan baik. Ia malah memilih duduk di
sela-sela saf.

Saya lirik si pemuda. Tubuhnya bersih. Ia shalat terus tiada henti. Terkadang ia tidak tahu, saat hendak sujud kepalanya tersenggol orang dan topinya hampir jatuh. Duduk di sampingnya, saya merasa sangat kecil. Allah menimpakan musibah yang sangat besar kepadanya namun ia masih tekun menyembah-Nya. Sementara saya, begitu melimpah nikmat Allah, belum banyak ibadah yang saya lakukan sebagai balasnya.

Kembali saya lirik tubuh yang kurus di samping saya. Sementara ia langsung berdiri lagi, setelah salam, begitu terus menerus. Gerakannya tenang dan khusuk. Saya tentu tidak tahu apa yang dipikirkannya dalam kegelapan. Apakah kelak di surga masih ada orang buta?

Ketika tiba shalat Isya ayahnya berdiri disisinya. Selesai shalat wajib, ia ikut berdiri shalat ghaib. Ia kemudian shalat ba’da Isya, saya menngikutinya saja. Selesai shalat, saya rangkul dadanya yang kerempeng. Beberapa lembar yang saya selipkan di saku atasnya tidak ada artinya bila dibandingkan
cahaya yang diberikan menerangi hati saya.

Ketika saya bangkit dan meninggalkannya, kedua orang itu menyusul saya. Tangan ayahnya yang menggenggam tangan anaknya menyalami saya. Saya berjalan menjauh sambil menyeka sudut mata
saya yang basah. (Gudengan 20150225 (Sadhono Hadi; Creator of Fundamen Top40; Visit http://fundamen40.blogspot.com dan http://rumahkudidesa.blogspot.com)-FR

Tulisan Lainnya :

Exit mobile version