Perkenankan saya meneruskan dari milis sebelah suatu renungan yang disebut berpuasa, khususnya bagi mereka yang beragama Katolik/Kristen. Bagi yang beragama lain sebagai suatu pengetahuan saja.
Ini terkait dengan bulan puasa umat Katolik/Kristen menjelang Paskah, selama 40 hari.
Dimulai hari Rabu waktu itu, yang ditandai dengan memoleskan tanda salib dari abu daun Palma yang dibakar, dan yang diperoleh dalam perayaan Minggu Palma seminggu sebelum Paskah tahun lalu. Salib abu yang diberkati tersebut dioleskan pada dahi umat perserta Misa pada hari Rabu itu. “Anda berasal dari abu dan akan kembali menjadi abu”
Memang zaman dahulu umat Kristen/Katolik berpuasa sepanjang hari seperti umat Islam saat ini.
Dengan berjalannya waktu puasa lebih ditekankan pada sikap batiniah dari pada yang fisik lahiriah.
Saat saya masih SD tahun 1950an misalnya, yang disebut puasa adalah makan sekali kenyang sehari ditambah pantang daging bagi orang dewasa.
Kemudian sejak beberapa tahun lalu lebih diperingan lagi, tinggal makan kenyang sekali pada hari Rabu Abu, dan setiap Jumat, ditambah pantang satu jenis makanan yang dipilih sendiri, bisa daging, nasi, merokok bagi perokok, dsb. Berpuasa berlaku mulai mereka yang dewasa berumur 18 tahun hingga 60 tahun, sedangkan pantang bagi semua umur mulai anak-anak 14 tahun–Bacaan I: Yesaya 58:1-9a
Injil: Matius 9:14-15–
YESUS diprotes murid-murid Yohanes (Yohanes Pemandi adalah pembuka jalan Yesus sebelum memulai MisiNya): “Mengapa kami dan orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-MU tidak ?” (Matius 9:14).
Yesus menjelaskan bahwa selama Ia yang dilambangkan sebagai “Mempelai laki-laki” masih berkumpul dengan para murid-Nya, maka para murid belum akan berpuasa. Tetapi kelak bila Yesus sudah tidak bersama mereka lagi, maka mereka akan berpuasa.
Maksud pokok jawaban Yesus ini hendak menekankan arti puasa yang sebenarnya. Berpuasa, pantang dan matiraga itu bukan tujuan, melainkan sarana untuk mencapai kesempurnaan. Tujuan berpuasa yang benar adalah tinggal bersama Tuhan, inilah tahap kesempurnaan yang utuh yaitu bersatu dalam Tuhan.
Maka ketika para murid masih “tinggal bersama Tuhan” mereka itu tidak perlu berpuasa. Bagi Yesus yang paling penting berpuasa itu bukan sekedar tidak makan atau tidak minum, bukan sekedar puasa lahiriah, melainkan adalah puasa batiniah.
Artinya, hatinya harus bersih, bebas dari segala dosa kebencian, dendam, kesombongan, kemunafikan, niat jahat, dll. Kita berpuasa bukan bermaksud untuk mencari pahala sebanyak-banyaknya dari Tuhan. Kita berpuasa untuk lebih memaknai pertobatan kita antara lain dengan bermatiraga dan melakukan kebajikan-kebajikan.
Tentang pahala itu bukan urusan kita dan kita tidak berhak untuk menuntut. Dengan menyadari bahwa diri kita ini adalah orang yang berdosa, yang tidak berhak untuk “menuntut sesuatu dari Tuhan” maka berpuasa harus berlandaskan pada kerendahan hati dan pertobatan yang murni.
– Bagaimana persepsi kita selama ini, apakah pantang dan puasa hanya kita pandang secara lahiriah (tidak makan, tidak minum, pantang sesuatu) belaka ? Atau puasa itu kita jadikan “alat” untuk “menagih pahala” dari TUHAN?
Jauh sebelum Yesus lahir ke dunia, Allah melalui para Nabi-Nya, antara lain Nabi Yesaya, telah menggariskan makna puasa itu. Allah berfirman melalui Nabi Yesaya, mengapa orang berpuasa hanya ingin minta “upah” dari Allah, seolah-olah mereka sudah bekerja tetapi belum mendapatkan “upahnya”?
Dia juga mengecam orang-orang berpuasa “sambil berbantah dan berkelahi serta memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena”. Cara berpuasa seperti itu tidak akan didengar doanya oleh Allah. Inilah berpuasa yang berkenan pada Tuhan:
“Berpuasa yang Ku-kehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman dan melepaskan tali-tali kuk (beban di atas pundak), supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya, dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri” (Yesaya 58: 6,7).
– Dengan pemahaman akan arti berpuasa dan berpantang yang benar seperti Firman Allah itu, marilah kita laksanakan berpuasa yang benar dengan bertujuan terutama untuk membersihkan hati kita dengan jalan pertobatan.
Ya Bapa di Surga, tumbuhkanlah sikap prihatin dan pertobatan di dalam diri hamba-Mu ini, agar melalui pantang dan puasa, hatiku semakin Kau-murnikan dan keadilan di muka bumi semakin terwujud.
Selamat pagi. Selamat beraktivitas. Berkat Tuhan. (AphD)-FR