P2Tel

Indonesia menurut persepsi Lee Kuan Yew

Sebelum wafat, Lee Kuan Yew merilis buku terakhirnya berjudul One Man’s View of the World. Di situ beliau memaparkan penilaian sejumlah negara, termasuk Indonesia. Tulisan ini saya maksudkan bagi Anda yang belum sempat membaca buku tersebut.

Sekali2 ada baiknya kita tinggalkan cermin, dan menyimak pandangan orang lain mengenai diri kita, apalagi pandangan tokoh sepenting Lee Kuan Yew. Mendengar orang lain membuat kita arif. Lee Kuan Yew adalah tokoh yang kontroversial, terutama di kawasan ini.

Pandangannya tentang isu2 strategis regional maupun global tajam dan mendasar. Gayanya yang langsung dan lugas tidak selalu berkenan di hati semua orang. Kenyataannya, tidak sedikit pemimpin dunia yang menyimak pendapatnya.

Sejak awal, Lee Kuan Yew dan elite politik Singapura menganggap perkembangan Indonesia, negara raksasa tetangga sebelah, penting bagi rencana strategis mereka. Di tahun 1960-an seorang rekan Lee Kuan Yew, Goh Keng Swee, meramalkan Indonesia akan pecah.

Namun, itu tidak terjadi. Lee Kuan Yew mencatat peran Soeharto, yang ia kenal dekat, dalam menyelamatkan keadaan dan kemudian berhasil membangun Indonesia, meski gagal mengatasi masalah korupsi dan nepotisme.

Ia membandingkan Indonesia-Myanmar. Kata Lee Kuan Yew: ”Kedua negara itu dikaruniai sumber alam melimpah dan dipimpin militer. Tapi Jenderal Ne Win memilih jalur sosialisme. Andai Soeharto tidak teguh komitmennya melaksanakan kebijakan pembangunan, Indonesia akan mengalami nasib serupa dengan Myanmar.”

Kemungkinan Indonesia mengalami disintegrasi tampaknya tertanam dalam di alam pikir elite Singapura. Isu ini menjadi butir pertama dalam tulisan Lee Kuan Yew. Menurut dia, meskipun Indonesia mengalami kemajuan ekonomi yang mengesankan, sistem pemerintahan sentralistis (dan militeristis) rezim Soeharto bukan jawaban menjaga keutuhan negeri yang beragam ini. Sistem itu, mirip sebuah pressure cooker yang suatu saat nanti dapat meledak.

Menurut Lee Kuan Yew, Indonesia yang terdesentralisasi seperti kini lebih mampu maju dan menjaga keutuhannya. Kita yang sehari-hari menghadapi kenyataan di sini akan berkata bahwa bandul keseimbangan antara sentralisme dan desentralisme yang sekarang belum pas, perlu terus disetel.

Menurut LKY, ada satu warisan pendiri Indonesia yang perannya sentral bagi keutuhan bangsa, yaitu bahasa Indonesia. Pentingnya bahasa pemersatu bagi Singapura (bahasa Inggris) dibahas di bagian lain buku ini. Pandangan LKY mengenai bahasa pemersatu itu seyogianya makin memperkuat komitmen kita untuk memelihara, menyayangi, dan membangun bahasa nasional kita.

Tiga masalah besar
Desentralisasi, demokrasi tidak meniadakan masalah2 mendasar yang menghambat kemajuan Indonesia. Menurut LKY, ada tiga masalah yang harus diatasi bila Indonesia ingin maju, yaitu (a) kemacetan proses politik (political gridlock), (b) korupsi, dan (c) infrastruktur yang buruk.

Tidak sulit bagi kita untuk menyebutkan contoh-contoh konkret kemacetan proses politik di negeri ini—di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Namun, ada satu observasi beliau yang patut saya sebutkan di sini. LKY melihat sistem kita (pilih langsung presiden dan anggota legislatif), secara inheren cenderung menimbulkan political gridlock.

Ia menyarankan kita melihat sistem Perancis, yang memberikan kekuasaan kepada presiden untuk membubarkan parlemen dan meminta diadakan pemilu legislatif apabila kemacetan terjadi. Lee Kuan Yew bisa benar bisa salah, tetapi sinyalemen ini mengingatkan kita akan urgensi untuk mengatasi masalah gridlock yang sistemik yang mengganggu ini!

Mengenai penanganan masalah korupsi, saya kira banyak pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman mereka, terutama dalam memadukan upaya penegakan hukum dengan program yang lebih besar lagi, yaitu pembangunan birokrasi.Wajar apabila Singapura berbangga mengenai prestasinya di bidang ini.

Keutuhan ekonomi
LKY menggarisbawahi pentingnya pembangunan infrastruktur perhubungan bagi negara kepulauan. Pendapat ini 1.000% benar dan sejalan dengan apa yang kita rasakan dan pikirkan. Keutuhan politik suatu bangsa hanya bisa berlanjut bila dilandaskan pada keutuhan ekonomi, dan keutuhan ekonomi suatu negara hanya bisa terwujud bila ada jaringan transportasi dan komunikasi antar daerah yang efisien.

Masalahnya tidak sekadar mengenai pembebasan tanah, atau mencari investor, atau menyisihkan dana APBN bagi proyek yang ada. Itu semua penting. Namun, masalah yang lebih mendasar adalah bagaimana mencapai konsensus mengenai desain yang terbaik bagi jaringan transportasi.

Serta komunikasi nasional, yang relevan 30-50 tahun ke depan. Sesuatu yang harus diakui, tidak mudah dicapai di alam desentralisasi dan demokrasi dengan siklus politik 5 tahunan yang ada. Pada saat seperti ini kita merindukan negarawan yang berwawasan nasional, berpikir jangka panjang, berhitung antar generasi.

Saya tutup tulisan ini dengan kutipan dari Lee Kuan Yew: ”Satu dasawarsa terakhir ini kinerja Indonesia lumayan, ekonominya secara konsisten tumbuh antara 4-6% .Krisis keuangan global tidak banyak memengaruhi kinerjanya. Investasi jumlah besar dari Tiongkok-Jepang masuk, tertarik sumber alam yang melimpah.

Namun, dalam 20-30 tahun mendatang, saya tidak melihat negeri ini akan mengalami perubahan mendasar. Malaysia barangkali akan maju lebih cepat karena secara geografis negara ini lebih menyatu, sistem transportasinya lebih baik, dan angkatan kerjanya lebih mempunyai motivasi.

Meskipun mengalami kemajuan, ekonomi Indonesia masih mengandalkan pada sumber alam dan penduduknya masih menggantungkan pada apa yang diberikan alam dan bukan pada apa yang dapat mereka ciptakan dengan kedua tangan mereka.

Melimpahnya sumber alam cenderung membuat orang malas: ’Ini tanah saya. Anda menginginkan yang terkandung di dalamnya? Bayar saya.’ Pandangan seperti itu akan menumbuh-kan sikap hidup dan budaya santai, yang nantinya sulit untuk dihilangkan.”

Tidak seluruhnya merupakan pujian. Namun, barangkali itulah yang kita butuhkan, untuk membangunkan semangat kita. Dengan kepergian beliau, Asia kehilangan seorang tokoh yang berwawasan luas, berpikiran jernih, dan tidak ragu berkata apa adanya.

Selamat jalan Pak LKY. (Boediono, Mantan Wapres RI; Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21/5/15, di halaman 6 dengan judul “Indonesia di Mata Lee Kuan Yew”. (ThW; sumber dari http://print.kompas.com/baca/2015/05/21/Indonesia-di-Mata-Lee-Kuan-Yew)-FR

Tulisan Lainnya :

Exit mobile version