Orang Barat mengatakan nobody’s perfect, tak ada manusia sempurna. Dengan nada hampir sama, di kalangan Muslim tradisional terdapat pepatah al-Insanu mahallul khatha’ wan nis’yan, manusia tempatnya salah-khilaf. Dua ungkapan di atas adalah peringatan ke kita semua agar selalu berusaha menuju kesempurnaan, bukan sebaliknya, menjadi pembenaran bagi kealpaan.
Justru karena manusia tidak sempurna, maka harus ada upaya serius agar tidak terus terjebak dalam kekhilafan. Puasa adalah sarana menuju kesempurnaan. Puasa Ramadhan adalah cara Tuhan melatih umat- Nya agar selalu ada peningkatan kualitas, baik sebagai pribadi maupun sebagai makhluk sosial.
Melalui pembiasaan yang dilakukan secara disiplin selama sebulan penuh, umat Islam diharapkan bisa mencapai derajat paling tinggi di mata Allah SWT, yakni derajat takwa. Perintah puasa adalah sarana menuju ketakwaan (QS Al Baqarah: 183). Dan, orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling takwa (QS Al Hujuraat:13).
Tangga kesempurnaan
Sebagai sarana menuju kesempurnaan, puasa tentu saja tidak bisa dilakukan sembarangan. Sebagaimana kehidupan sosial, pelaksanaan puasa juga ada etikanya. Itulah sebabnya, Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumaddin membagi puasa dalam tiga level. Puasanya orang awam (shaumul ‘am), puasanya orang istimewa (shaumul khash), dan puasanya orang super istimewa (shaumu khawashil khawash).
Pada level pertama, orang berpuasa hanya menahan nafsu makan, minum, dan berhubungan badan. Puasa level kedua, di samping menahan nafsu perut dan kelamin, juga berusaha mencegah mata, mulut, tangan, kaki, dan anggota-anggota tubuh lain-nya dari perbuatan maksiat. Puasa level ketiga adalah puasa hati dari segala pikiran dan kesenangan duniawi yang dapat memalingkan manusia dari Allah.
Dalam konteks ini, Al-Ghazali sesungguhnya tidak sedang membicarakan puasa dalam kategori sosial. Sebagai guru sufi, Imam Ghazali sesungguhnya sedang membicarakan puasa sebagai tangga menuju kesempurnaan. Puasa adalah pelatihan menuju perbaikan karakter.
Secara implisit Imam Ghazali ingin memberi pesan moral agar puasa umat Islam dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sebab, jika kualitas puasa tidak pernah beranjak dari level puasa awam, maka orang tersebut termasuk kategori khasir, merugi.
Nabi bersabda, “Siapa yang keadaan amalnya hari ini lebih jelek dari kemarin, maka ia terlaknat. Siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia termasuk orang yang merugi. Dan barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia termasuk orang yang beruntung.” (HR Bukhari)
Dalam hadis lain yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Ibnu Majah disebutkan, orang yang puasa hanya pada level pertama, ia sesungguhnya tidak mendapat apa-apa kecuali lapar dan dahaga.
Ibarat latihan, puasa yang tidak meningkat levelnya dari tahun ke tahun, berarti latihan selama sebulan penuh menjadi tidak ada artinya. Sebuah latihan disebut berhasil jika melahirkan peningkatan yang signifikan.
Etika sosial
Puasa adalah kombinasi dari latihan disiplin fisik, disiplin moral, dan disiplin spiritual. Seseorang yang dilatih disiplin fisik saja tidak menjamin lahirnya disiplin moral, apalagi disiplin spiritual. Puasa adalah kombinasi dari ketiganya.
Sebagai latihan disiplin fisik, kita dituntut membiasakan sedemikian rupa, waktu dan pola makan dan minum. Agar disiplin fisik bisa berhasil, puasa mengharuskan kita melakukan pembiasaan menahan seluruh anggota tubuh dari perbuatan tercela. Dari pembiasaan inilah diharapkan lahir disiplin moral.
Lebih dari itu, puasa juga mengajarkan kita untuk terlatih dengan disiplin spiritual. Berbagai jenis ibadah sangat dianjurkan dalam bulan puasa, mulai dari membaca Al Quran, shalat sunah, khususnya tarawih, i’tikaf, hingga amal ibadah yang berdimensi sosial, seperti infak, zakat, dan sedekah. Amalan-amalan ini begitu dianjurkan dengan pahala yang begitu besar.
Dalam hadis qudsi dinyatakan, “Setiap kebajikan mendapat pahala 10 hingga 700 kali lipat, kecuali puasa itu sendiri. Itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” (HR Al-Bukhoriy dan Malik)
Keberhasilan puasa
Keberhasilan puasa akan ditentukan sejauh mana latihan disiplin fisik, moral, dan spiritual tersebut bisa menjadi etika sosial. Inilah yang dimaksudkan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Thabrani: sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi orang lain.
Oleh karena itu, puasa pada dasarnya juga latihan untuk mengasah kepekaan dan kepedulian sosial. Pesan moral ini tidak hanya terlihat dari tidak makan dan minum sebagai ekspresi empati terhadap kelompok sosial yang tidak mampu, tetapi juga ditunjukkan dengan kewajiban untuk menunaikan zakat menjelang akhir puasa. Fakir dan miskin adalah kelompok sosial yang menempati urutan teratas sebagai pihak yang berhak untuk menerima zakat.
Islam sangat menekankan etika sosial. Puasa melatih kita untuk berempati terhadap kelompok lain, terutama kelompok yang termarjinalkan, baik dari segi ekonomi, sosial, budaya, agama maupun etnis. Banyak sekali ayat dalam Al Quran yang secara eksplisit maupun implisit menganjurkan amal saleh.
Secara sederhana, amal saleh adalah perbuatan baik yang menimbulkan manfaat, kebaikan, dan kemaslahatan bagi diri sendiri dan orang lain. Amal saleh juga adalah perbuatan yang bisa mencegah dan menjauhkan diri dan orang lain dari perbuatan yang tercela, dilarang atau yang menimbulkan kesulitan, kerusakan dan kemudaratan.
Yang menarik adalah bahwa di dalam Al Quran, kata iman dan amal saleh disebutkan secara beriringan di 71 tempat. Empat di antaranya disebut bersamaan dengan kata tobat. Kata amanu (beriman) sendiri terulang 258 kali dalam Al Quran, dan kata `amilus shalihat (amal saleh) terulang 53 kali.
Begitu kuatnya penekanan Al Quran terhadap iman dan amal saleh ini sehingga secara implisit ingin ditegaskan bahwa iman tanpa amal saleh tidak ada artinya. Toshihiko Izutsu (1983), seperti dikutip Izza Rohman Nahrowi (2008), melukiskan kaitan antara iman dan amal saleh “seperti bayangan yang mengikuti bentuk bendanya”.
Puasa yang dilakukan sepenuh hati tidak hanya dapat melahirkan pribadi yang matang secara moral dan spiritual, tetapi juga memiliki kepekaan dan kepedulian sosial. Integrasi disiplin fisik, disiplin moral, dan disiplin spiritual merupakan prasyarat penting menuju tegaknya etika sosial.
(ThW; sumber dari Agus Muhammad – Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama; Kompas, Jumat, 26 Juni 2015; http://print.kompas.com/baca/2015/06/26/Etika-Puasa)-FR