Alkisah suatu saat, seorang kakek yang hadir dalam pengajian yang dipimpin seorang ustad muda, bertanya: “Anakku… Tadi anakku menyampaikan ceramah tentang aqidah, tentang اللّـہ , boleh kakek bertanya, dimanakah اللّـہ itu?”.
Pertanyaan yang membuat sang ustadz muda itu bingung…. sangat dalam. Saat itu ia ingat pesan gurunya, jika ada yang bertanya… dimana pertanyaan itu sifatnya bukan karena ingin tahu atau ingin sekedar menguji dan kita tidak tahu jawabannya maka berikanlah jawaban “Orang yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya” (mal mas-ul a’lamu minas saa-il).
Kakek itupun manggut2… sambil tertunduk beliau bertanya lagi. “Anakku, coba ambilkan pelita itu (sebuah kaleng cat minyak yang berisi minyak tanah dan diberi api disumbunya).
Boleh kakek bertanya… Kapan pelita ini disebut pelita?”.
Kembali Ustad menjawab : “Kakek…. saya tidak bisa menjawabnya… terangkanlah pada saya”.
Sang kakek bukannya menjawab, namun malah memberi pertanyaan baru lagi: “Jika kakek tiup api diatas pelita ini… Kakek bertanya… Tahukah kamu anakku… Kemana perginya api itu ?”.
ALLAHU AKBAR!!! (Teriak bathin sang ustad muda… selama ini ia tidak pernah berfikir tentang kemana perginya api ketika ditiup dari pelita yang hidup. Oh iya ya… kemana perginya api itu, bahkan tidak berbekas sama sekali.)
Kembali ia menjawab: “Saya tidak tahu Kek… Berikan ilmu pada saya”.
Kakek itu kembali tidak menjawabnya, justru tanya nama si ustadz itu, “Nak, namamu siapa?”
Ustadz muda itu menjawab: “Abdullah…”
Kakek itu pun manggut2. Ustadz makin bertambah heran dengan kakek ini.
“Boleh Kakek tanya lagi… Dimana Abdullah Itu?” Tanya kakek pada ustadz.
Pertanyaan apa lagi ini pikirnya, untuk yang satu ini, ustadz itu menjawab “Di depan kakek… Inilah Abdullah”.
Si kakek tua itu hanya geleng2 kepala dan merenung sejenak. Sang ustadz pun terbawa suasana merenung seperti kakek ini dan tiba-tiba sang kakek menepuk bahu ustadz muda sambil memanggil namanya “Abdullah”.
Dengan spontan ustadz itu menjawab: “Saya kek!”.
Kakek itu tersenyum kemudian mengatakan:
“Anakku… Barusan kakek merasakan adanya Abdullah… karena bagimu Abdullah itu tidak ada…
jika kau pegang tanganmu, itu tangan Abdullah…
jika kau pegang keningmu, itu kening Abdullah…
jika kau pegang kepalamu, itu kepala Abdullah…
jika kau pegang tangan-kakimu, itu adalah tangan dan kaki Abdullah…. lalu….. DIMANAKAH ABDULLAH
Abdullah itu ada… saat begitu banyak orang merasakan banyaknya manfaat kehadiran dirimu… sehingga banyak orang menyebut namamu anakku…”.
“Demikianlah perumpamaan اللّـہ سبحانہ و تعالے …
Sesungguhnya اللّـہ itu sudah ada sebelum apapun ada di alam raya ini… اللّـہ itu sudah ada bahkan jikapun alam raya ini tidak diciptakan olehNYA.
Tapi اللّـہ itu tidak ada “bagimu”… jika kamu tidak pernah mengerti tentangNYA.
Kau sebut langit itu adalah langit ciptaan اللّـہ ….
Kau sebut api itu adalah api ciptaan اللّـہ …..
Kau sebut air itu adalah air ciptaan اللّـہ …
Lalu dimanakah اللّـہ ..? Dimanakah اللّـہ…?
Anakku… اللّـہ itu ada bagimu bila kau selalu menyebut namaNYA. Kau dzikirkan disetiap hembusan nafasmu… Maka kamu akan merasakan اللّـہ selalu ada bersamamu… Maka اللّـہ itu ada bagimu.. Karena ada dan tidak adanya dirimu, اللّـہ itu tetap ada..!!”, demikian si Kakek menjawab panjang.
SUBHANALLAH…. sebuah ilmu yang tidak mungkin ia dapatkan di bangku kuliah… ALLAHU AKBAR. gumam sang ustadz. Sebelum perpisahan dengan kakek itu, ia masih penasaran dengan perumpamaan pelita yang ditanyakan tadi. Maaf kek… Lantas… Apa maksud kakek dengan pelita tadi?
Sang kakek pun lanjut menjelaskan: “Pelita itu tidak bisa kamu sebut pelita tanpa ada apinya…
Ketika pelita itu tidak ada apinya… dia hanya bisa disebut kaleng cat minyak yang berisi minyak tanah dan bersumbu, itu saja…
Pelita itu baru bisa disebut pelita, bila kau berikan api disumbunya. Ini bermakna demikianlah manusia…
Ketika ruhnya tidak ada, maka dia ibarat hanya bangkai yang berjalan…
Sehingga yang perlu kau hidupkan setiap hari adalah ruhnya…
Sehingga dia bisa menerangi dan memberikan manfaat bagi sekitarnya”.
ALLAHU AKBAR, Teriak bathin si ustadz muda.
Kembali sebuah nasehat yang luar biasa ini baginya, dan ketika sebelum ia cium tangannya… Sang kakek ini membisikan ke telinga:
“Anakku… Ingatlah saat api diatas pelita itu ditiup…
Api menghilang, tak berbekas dan kau tidak bisa melihatnya lagi…
Bahkan bentuk, rasa, sudah tidak bisa kau lihat…
Bahkan kau tanyakan seribu kali kemana perginya api itu pun kau tidak akan bisa menjawabnya…
Demikianlah dgn “ruh” anakku…
Saat dia pergi dari jasadmu dia tidak akan membentuk apapun bagimu…
Dia seakan-akan raib sebagaimana DZAT yang menciptakannya… DIA-lah اللّـہ سبحانہ و تعالے ….
Maka rawat dengan benar ruh yang ada dalam jasadmu….. Wassalamu’alaikum”. Salam sang kakek pada ustadz itu.
“Wa’alaikumussalaam” jawab si ustad sembari menitikkan air mata. (M. Budhi Rahardjo; )-FR