Pagi itu aku berjalan seperti biasa. Mencari info dan berita yang dapat membangkitkan inspirasiku. Pekerjaanku sebagi wartawan yang mengisi sebuah kolom di surat kabar lokal, menuntut aku aktif dan mencari hal-hal baru yang dapat menarik para pembaca ku.
Ku masuki lorong demi lorong, perkampungan yang kumuh dan jalan2 sempit penuh sampah menjadi makanan ku se-hari2. Minat ku pada realita yang terjadi di masyarakat selalu membuat ku memilih tempat2 seperti ini sebagai gudang inspirasi.
Akhirnya aku temukan kisah muslimah hebat dalam balutan karung2 sampah yang bau busuk. Tapi.. kalian tak akan sadar, di tengah2 sampah yang tak bernilai itu, terdapat sebongkah permata yang tak dapat kita beli dengan harta dunia. Walau menjual seluruh isi bumi, permata itu tetap tak akan terbeli.
Siang itu mentari bersinar dengan panasnya. Seakan-akan padang makhsar bocor seukuran setitik jarum karena ulah dosa-dosa manusia. Hingga panas yang ada merambah bumi yang sudah mulai tua dan rapuh menunggu ajal.
Bulan ramadhan tahun ini jadi ujian hebat bagi ku yang sering bekerja di lapangan. Mentari seakan berusaha membakar para pendosa dengan panasnya yang tak seberapa di banding panasnya api neraka. Tapi tetap saja, membuat manusi biasa sepertiku merasa tersiksa.
Mungkin kiamat sudah dekat. Aku menggerutu dalam hati di balik langkah gontai ku, lapar, haus, dan rasa lelah ku selalu menggoda untuk mengakhiri puasa yang sudah setengah jalan. Akhirnya, rasa lelah dan letih memaksa ku untuk berhenti.
Aku berteduh di depan sebuah gubuk reot yang hanya berdinding triplek dan kardus-kardus bekas. “Hah, ini rumah apa kandang yam”. Fikir ku sedikit mengejek. Tak lama kemudian datanglah seorang wanita tua renta, terlihat sekarung sampah-sampah bekas bergelanyut membebani punggungnya.
Ternyata dia adalah pemilik gubuk yang ku singgahi, aku coba tersenyum menyapa, dan dia membalasnya dengan senyum ramah yang terasa sangat menyejukan. Aku juga tak tahu mengapa, tapi itu ibarat senyum tertulus yang pernah ku lihat seumur hidup ku.
Wajahnya damai dan bersinar, padahal dia berkulit keriput dan hitam karena sengatan matahari setiap hari. Hal aneh yang akan sangat jarang kalian temui. Hingga muncul ide gila ku untuk mewawancarai perempuan tua itu. Aku ingin tahu seluk beluk kehidupanya.
Namanya Mbok Ijah, dia janda beranak satu. Suaminya wafat sejak anaknya masih dalam timangan. Jadi selama ini dialah yang mencari nafkah untuk kehidupan dirinya dan satu anaknya. Dia bekerja sebagai pemulung yang berpenghasilan 20.000 sehari.
Badanya kurus kering karena kurang makan, mungkin. Waktu ku lihat sekeliling, aku tak melihat anaknya sama sekali. Ku kira anaknya bekerja entah kemana guna membantu tuntutan ekonomi. Tapi untuk memastikan hal tersebut, aku bertanya kepada mbok ijah.
“Anak ku berada di pesantren nak, dia sedang menimba ilmu agama”. Jawabnya.
“Lho.. kenapa dia tak membantu mbok ijah kerja? Kan jika bekerja bisa membantu ekonomi dan bisa menabung. Tentunya kehidupan ekonomi mbok ijah akan sedikit mapan, dan tak harus hidup susah begini. Syukur-syukur jadi orang kaya mbok.hehehe”. kata ku sedikit bercanda.
“Aku sekarang sudah kaya nak.. aku sudah menabung.. dan kelak insya Allah aku akan mendapatkan hasil dari tabungan ku itu..”. jawab mbok ijah.
Jawaban yang menurutku aneh, susah di faham, dan tak masuk akal. Dengan penghasilan 20.000 sehari, buat ongkos makan saja mungkin kurang, belum lagi untuk membiayai anaknya yang katanya masih di pesantren.
Aku tak habis fikir, logika ku sebagi wartawan tak terima dengan hal itu. Dan akhirnya mendorong ku untuk bertanya meminta penjelasan. Lalu, apakah kalian tahu jawaban apa yang ku dapatkan?
“Aku memang tak menabung harta untuk dunia ku nak. Aku tak terlalu butuh dunia. Dunia itu tempat yang tak enak, aku tak terlalu betah sebenarnya di sini. Andai aku di izinkan, aku ingin di beri umur yang pendek saja. Tapi mungkin allah tahu akan kekurangan ku, aku tak mungkin berangkat ke hadapaNYA tanpa bekal. DIA ingin aku memiliki tabunga untuk akhirat ku, sehingga DIA memanjangkan umur ku”.
“Mungkin kehidupan ku memang terlihat sulit bagi yang melihat. Tapi bagi ku yang menjalani, ini adalah berkah. Aku bisa berlatih sabar, aku bisa berlatih bersyukur, dan aku selalu bisa belajar untuk ikhlas. Jika kau fahami, tak ada yang abadi di dunia.
Jangankan harta, nyawa saja ada batasnya. Lalu buat apa kau mencari begitu banyak harta yang kelak akhirnya kan kau tinggal mati. Harta yang ada hanya akan membuat anak cucu mu lupa untuk berdo’a dan malah berebut harta warisan”.
Kau tak akan bisa membayar orang dengan harta mu agar orang tersebut mau menemani mu di dalam kubur mu. Kau di kubur sendiri, dan mempertanggung jawabkan semua perbuatan mu sendiri. Mungkin kehidupan ku terlihat berat, karena sebenarnya aku ini sedang berjuang. Bukan berjuang untuk hidup, tapi aku sedang berjuang untuk mendapat kematian yang layak.
Aku sedang menanam investasi untuk kehidupan akhirat ku. Aku sedang berusaha “membeli” anak yang soleh dengan harta yang ku miliki. Agar kelak ketika aku mati, aku bisa menikmati alunan do’a dari anak cucu ku. Sebagai teman dan pelita ku di liang kubur ku. Dan itu adalah harta ku yang sebenarnya”.
Jawaban yang cukup membuat mulut ku tercekat. Kisah muslimah hebat ini kontan membuat hati ku malu. Malu pada diri ku, malu pada agama ku, dan malu pada wanita itu. Si wanita tua yang miskin bahkan mampu membiayai anaknya dengan susah payah demi menjadi anak yang soleh.
Sedangkan aku, aku hidup berkecukupan, tapi kenapa aku tetap memilihkan sekolah yang tujuannya hanya mengejar dunia bagi anak-anak ku. Seakan aku mengajari mereka menjadi anak-anak yang serakah pada dunai. Lalu, mana harta ku ketiku mati kelak? Tak ada, hanya akan menyisakan sesal yang tak dapat ku ulang.
Dan untungnya, Allah megingatkan aku sebelum aku benar-benar lupa. Dia memberi ku nasehat yang di bungkus dalam balutan kisah. Muslimah hebat ini menyadarkan aku, arti dari makna harta ku yang sebenarnya. (Mukti Soma; lfatun Nissa; http://muslimah-id.com/kisah-muslimah-hebat-harta-ku-yang-sebenarnya/)-FR