Sekitar tahun 1974 – 1975 di Jakarta diputar suatu film impor yang bertahan lebih dari setahun di gedung bioskop paling bergengsi waktu itu, Djakarta Theater di jalan Thamrin samping Sarinah. Uniknya, film ini diputar pada jam-jam ‘murah’ pagi sampai siang, hanya pada hari Minggu saja (dulu orang menyebutnya “matinee show”).
Dibintangi oleh Julie Andrews dan Christopher Plummer film “The Sound of Music” ini diproduksi tahun 1965, diangkat dari teater musical berjudul sama, karya Andrew Lloyd Weber dan David Ian.
Setiap Sabtu iklan “TSoM” ini muncul di Kompas sampai setahun lebih, membuat saya penasaran. Tapi harga tiketnya yang 1.000 rupiah itu tergolong mahal. Bandingannya begini, saya nonton “The God Father” di bioskop Jatinegara, malam hari, tiketnya 300 rupiah.
Makan siang di warteg dekat sekolah dengan menu nasi setengah berlauk sebutir telor berlumur cabai merah 75 rupiah. Tarif bis kota jauh-dekat 25 rupiah.
Dasar rezeki, gayung bersambut, pak-lik saya (tempat saya numpang hidup) menyuruh saya menonton film itu ! Rupanya beliau habis nonton dengan pacarnya. Tentu saja saya “disangoni”…
Durasi film pemenang 5 piala Oscar ini hampir 3 jam, diberi waktu jedah di tengahnya. Ceritanya mengharukan dengan setting tahun 1930-an ketika Nazi Jerman menduduki Austria, dan musiknya, bagus bangeet… buah karya Richard Rodgers dan Oscar Hammerstein II. Ada yang pernah nonton juga ?
Limabelas tahun kemudian ingatan saya direfresh oleh kelompok Paduan Suara Perumtel pimpinan Daud Saba. Suatu saat pada upacara bendera tahun 1990-an, Grup PS ini membawakan dengan cantiknya salah satu lagu dalam film itu yang judulnya sama, The Sound of Music.
Salah seorang anggota group PS ini adalah kawan kerja saya. Ketika saya mengapresiasi performance grup, dia cerita betapa kerasnya mereka berlatih membawakan lagu indah dan sulit ini. “Iyalah, ini lagu kelas Broadway”komentar saya.
Nah, memperingati 50 tahun TSoM ini, pada Oktober nanti West End Musical Theater, London Palladium, akan mementaskan TSoM di Jakarta. Di Asia Tenggara hanya Indonesia yang mendapat kesempatan pementasan. Tiketnya (serasa) semahal tiket Djakarta Theater dulu, tak ada lagi yang “nyangoni” lha wong pak-lik sudah lama meninggal… (Salam, zar)-FR