ASAP tebal mengepul dari tiap pekarangan rumah di kampung yang rindang di pinggiran Kab-Gowa, Sulsel, tak jauh dari tepi Sungai Jeneberang, Rabu (19/8/2015). Hampir semua orang sibuk menyiapkan sebuah hajatan besar tahunan yang akar riwayatnya berusia hampir setengah milenium itu.
Kampung itu bernama Tama’la’lang yang masuk wilayah Desa Tamanyeleng, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa. Dari pusat kota Makassar, ibu kota Sulsel, jaraknya hanya sekitar 10 kilometer.
Setiap tahun, warga merayakan ulang tahun kampung yang disebut attamu taung dengan tradisi akaddo bulo atau menyantap kaddo bulo, hidangan yang juga lazim dikenal sebagai lemang. Perayaan itu diselenggarakan setelah peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus.
Akaddo bulo dalam bahasa Makassar berarti ”makanan dari bambu”. Tentu saja bukan bambunya yang dimakan, melainkan campuran beras ketan dan santan yang dibungkus daun pisang kemudian dimasukkan ke dalam potongan bambu.
Tabung-tabung bambu berukuran panjang 40 sentimeter itu dimasak dengan cara dipanasi secara tegak mengelilingi perapian selama sekitar tiga jam sampai matang. Setelah selesai, bambu dibelah untuk mengeluarkan akaddo bulo yang telah pulen dan siap disantap dengan taburan serundeng.
Abdullah (45) adalah salah satu warga kampung yang hari itu sibuk membuat 100 potong akaddo bulo di halaman rumahnya. ”Ini sudah menjadi tradisi kampung yang selalu dinantikan warga setiap tahun,” katanya.
Sesekali ia berjongkok untuk meratakan bara dari kayu dan sabuk kelapa yang dipakainya sebagai bahan bakar perapian. Kadang matanya memicing menahan perih saat asap berembus ke arahnya.
Kaddo bulo menjadi sajian utama yang dihidangkan warga kampung kepada anggota keluarga, kerabat, atau siapa pun tamu yang berkunjung ke rumah saat perayaan itu. ”Walaupun orang tak dikenal, kalau datang berkunjung saat perayaan ini, pasti diberikan akaddo bulo,” kata Abdullah.
Sejarah
Kamaluddin Daeng Narang (52), warga Tama’la’lang sekaligus pemerhati sejarah Gowa, mengatakan, tradisi akaddo bulo berawal dari zaman Raja Gowa ke-9, yakni I Matanre Karaeng Manguntungi Tumaparisi Kalonna, yang berkuasa pada 1510-1546. Narasi itu terabadikan dalam naskah-naskah catatan Kerajaan Gowa atau yang disebut juga Lontara’ Bilang.
Narang menjelaskan, Raja Gowa ke-9 memerintahkan pembangunan Benteng Somba Opu yang berdasarkan catatan mulai dibangun tahun 1525. ”Saat itu raja meminta kepada kampung-kampung yang wilayahnya berada di sekitar lokasi pembangunan benteng untuk berpartisipasi menyiapkan makanan bagi para pekerja,” kata Narang
Tama’la’lang adalah salah satu kampung tersebut yang berjarak sekitar 1 kilometer dari Somba Opu. Warga Tama’la’lang pun membuat akaddo bulo untuk menyuplai kebutuhan makan para pekerja benteng. ”Akaddo bulo dipilih karena bisa awet selama 2-3 hari sebagai makanan,” ujar Narang.
Setelah itu, Raja Gowa ke-10 : I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng (1546-1565), membangun Benteng Panakkukang dan Benteng Anak Gowa tak jauh dari Somba Opu. Warga Tama’la’lang kembali membantu menyediakan makanan, terutama akaddo bulo, bagi pekerja.
Saat ketiga benteng itu selesai, areal persawahan Kampung Tama’la’lang dijadikan tempat latihan pasukan perang Kerajaan Gowa. Warga pun diminta kembali menyuplai makanan untuk kebutuhan pasukan,” ujar Narang.
Sejak itu, akaddo bulo menjadi tradisi yang melekat dan selalu dirayakan warga Tama’la’lang untuk memperingati ulang tahun kampung sekaligus perayaan panen. Namun, Narang mengatakan, tradisi ini terhenti saat Perang Makassar berkecamuk pada 1666 yang berlanjut dengan pendudukan Belanda hingga kemerdekaan pada 1945.
AKaddo bulo menjadi hidangan utama dalam tradisi ‘akaddo bulo’ yang digelar masyarakat Kampung Tama’la’lang dalam memperingati ulang tahun kampung sekaligus memeriahkan HUT Kemerdekaan RI.
”Tradisi akaddo bulo kembali dihidupkan setelah kemerdekaan oleh Raja Gowa ke-36 atau terakhir sekaligus bupati pertama Kabupaten Gowa, Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Aidudin,” ujar Narang. Raja tersebut pula yang mengusulkan agar akaddo bulo dirangkaikan dengan peringatan HUT Kemerdekaan RI sebagai pesta rakyat.
Sejak itu, akaddo bulo selalu dirayakan tidak lama setelah 17 Agustus. Tahun ini, perayaan digelar pada 19-20 Agustus. Selain pesta hidangan akaddo bulo, perayaan diisi dengan panggung hiburan dan berbagai atraksi kesenian di lapangan desa.
Di luar semangat pesta, akaddo bulo juga mengandung makna yang lebih dalam, yakni ajang silaturahim warga dengan sanak keluarga. Tak sedikit warga atau kerabat yang tinggal jauh di luar kota atau bahkan luar pulau datang ke Tama’la’lang demi menghadiri acara ini.
”Ajang silaturahim ini lebih ramai daripada silaturahim saat Lebaran,” ujar Herman Daeng Tinri (48), warga Tama’la’lang lainnya. Ia tahun ini menyiapkan lebih dari 200 potong kaddo bulo untuk menjamu tamu-tamunya.
”Biasanya tak pernah kurang dari 100 orang yang datang ke rumah,” kata Tinri yang mengaku menyiapkan dana sekitar Rp 3 juta untuk keperluan itu.
Narang menambahkan, semangat kebersamaan dan gotong royong warga juga tecermin dalam perayaan ini. ”Ada anggota keluarga yang menyumbang bahan baku seperti kelapa, bambu, daun pisang, dan ketan. Ada pula yang menyumbang tenaga untuk membuat kaddo bulo dan makanan-makanan tradisional lainnya,” katanya. (M Final Daeng; I Made Asdhiana; Harian Kompas dan http://travel.kompas.com/read/2015/09/05/194100027/.Akaddo.Bulo.Pesta.Dalam.Sepotong.Bambu)-FatchurR