P2Tel

Limbah bambu yang membawa berkah

Memanfaatkan limbah untuk cari rupiah. Begitulah Jumaro Joko Pratomo mengibaratkan upaya memberdayakan kawan2nya. Mereka mantan warga binaan yang dilibatkan sebagai tenaga pembuatan produk kerajinan berbahan limbah bonggol bambu.

Ada 2 kata limbah dalam perumpamaan, kata Jumaro Joko Pratomo (43). Salah satunya limbah bonggol bambu yang melimpah di desa2. Bahan itu digunakan Joko untuk membuat produk kerajinan berbentuk patung primitif, bebek, jerapah, topeng, vas bunga, asbak, kap lampu, hingga sketsel.

”Limbah” lain dalam perumpamaan Joko tadi sumber daya manusia atau pembuat kerajinan tersebut. Mengapa disebut ”limbah”? ”Karena mereka warga yang tersisihkan di masyarakat. Cari surat kelakuan baik saja susah, apalagi melamar pekerjaan,” kata pria kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah, 1972, itu.

Mereka, yang dimaksud Joko itu, adalah kawan2nya yang pernah jadi warga binaan di LP. Joko memberi lapangan pekerjaan mereka sebagai tenaga pembuat kerajinan dari limbah bambu. ”Tujuan utama kami berusaha dengan modal seminim mungkin untuk memberi lapangan kerja kepada anak-anak,” kata Joko.

Modal minim itu adalah bahan baku berupa limbah bambu yang merah dan melimpah. Joko pada tahun 2000 mendirikan usaha kerajinan yang ia beri nama Galeri 76 Bamboo Art di Kebon Agung, Pakisaji, Malang, Jawa Timur. Pada masa awal pendirian hingga tahun 2005, Joko bisa mempekerjakan 34 mantan warga binaan dan sejumlah pemuda putus sekolah.

 

Pada tahun 2007, usahanya menyurut dan sempat vakum gara-gara Joko berspekulasi untuk terlibat dalam aktivitas politik. Kini ia berusaha bangkit kembali. Usahanya kini didukung 8 tenaga inti plus sekitar 30 tenaga musiman.

Joko memajang karyanya pada setiap kesempatan, dari mulai Inacraft sampai hajatan seni, termasuk pada Festival Dawai Nusantara di Malang pertengahan Juni lalu. Harga mulai dari Rp 50.000 untuk produk kerajinan berbentuk bebek, Rp 300.000 untuk patung serigala, hingga Rp 1,5 juta untuk patung primitif. Juli ini ia sudah mulai mengekspor kerajinan berupa topeng dan patung primitif ke Kanada serta vas bunga dan jerapah ke Belanda.

Setelah Lebaran mendatang, Galeri 76 sudah mendapat pesanan dari sebuah toko kerajinan di Jimbaran, Bali. Sebelumnya, Joko telah mengirim ke sejumlah toko kerajinan di Bali sebanyak tiga truk yang terdiri dari topeng, patung kepala hewan, kap lampu, hingga kentongan. Semuanya dari bahan bonggol bambu.

Murah melimpah
Joko diuntungkan oleh bahan limbah tebangan pohon bambu yang cukup melimpah saat ini. Bahan antara lain didapat dari lahan yang akan digunakan sebagai areal properti di Malang dan sekitarnya. Bisa dikatakan relatif murah. Untuk satu truk, bonggol berikut limbah bambu lain dibeli dengan harga Rp 150.000. Belakangan seiring dengan permintaan pasar, Joko tidak hanya menggunakan bonggol bambu, tetapi juga ranting dan daun bambu kering.

Ia menggunakan akar bambu jenis ori dan petung. Pertimbangannya, bambu ori mempunyai serat yang kuat dan bertekstur rapat, sedangkan petung mempunyai tekstur yang lebih besar. Keduanya bisa dimanfaatkan untuk jenis kerajinan yang berbeda. Untuk meja dudukan patung, Joko memerlukan bahan bonggol pohon kopi dan jati.

Joko yang lulusan STM itu mengaku otodidak soal kerajinan akar bambu. Namun, ia mempunyai kegemaran menggambar sejak kecil. Bakat itulah yang membantunya membuat rancangan produk. Dalam penggarapan kerajinan bonggol bambu itu, peran Joko sebagai perancang sangat vital.

 

Ia tidak menggunakan rancangan produk tetap. Materi bonggollah yang menuntun imajinasinya membuat rancangan. Bentuk serigala, harimau, naga, topeng dengan beragam ekspresi, serta patung primitif semua tergantung dari kondisi bonggol yang sangat variatif bentuknya. Serabut dan akar bambu menjadi inspirasi tersendiri bagi Joko.

Pilihan usaha kerajinan bonggol bambu itu muncul secara tidak sengaja. Bapak dari empat anak itu sebelumnya bekerja di perusahaan penjualan otomotif. ”Suatu kali saya melihat bonggol bambu di pinggir Kali Metro, Malang. Saya lihat-lihat bentuknya kok seperti scorpion,” kata Joko.

Dari bonggol itu ia kemudian membuat rancangan produk kerajinan dan menjualnya ke perusahaan pembuat kerajinan. Ternyata, desain produk bikinan Joko itu laku dijual. Terpikir olehnya kemudian untuk memproduksi sendiri produk kerajinan berbahan limbah bambu. ”Orang lain saja bisa menjual desain yang saya buat, masak saya enggak bisa,” kata Joko mengenang.

Maka, sejak tahun 2000 Joko memberanikan diri keluar dari pekerjaan lama sebagai manajer cabang perusahaan travel. Kini usahanya melibatkan keluarga. Istrinya, Catur Widiati, berperan sebagai manajer keuangan, sementara anaknya, Intan, menangani pemasaran. Ternyata limbah menjadi berkah bagi Joko dan orang-orang yang terlibat dalam produksi kerajinan. (XAR)

 

Murah melimpah
Joko diuntungkan oleh bahan limbah tebangan pohon bambu yang cukup melimpah saat ini. Bahan antara lain didapat dari lahan yang akan digunakan sebagai areal properti di Malang dan sekitarnya. Bisa dikatakan relatif murah.

 

Untuk satu truk, bonggol berikut limbah bambu lain dibeli dengan harga Rp 150.000. Belakangan seiring dengan permintaan pasar, Joko tidak hanya menggunakan bonggol bambu, tetapi juga ranting dan daun bambu kering.

Ia menggunakan akar bambu jenis ori dan petung. Pertimbangannya, bambu ori mempunyai serat yang kuat dan bertekstur rapat, sedangkan petung mempunyai tekstur yang lebih besar. Keduanya bisa dimanfaatkan untuk jenis kerajinan yang berbeda. Untuk meja dudukan patung, Joko memerlukan bahan bonggol pohon kopi dan jati.

Joko yang lulusan STM itu mengaku otodidak soal kerajinan akar bambu. Namun, ia mempunyai kegemaran menggambar sejak kecil. Bakat itulah yang membantunya membuat rancangan produk. Dalam penggarapan kerajinan bonggol bambu itu, peran Joko sebagai perancang sangat vital. Ia tidak menggunakan rancangan produk yang tetap. Materi bonggollah yang akan menuntun imajinasinya membuat rancangan.

 

Bentuk serigala, harimau, naga, topeng dengan beragam ekspresi, serta patung primitif semua tergantung dari kondisi bonggol yang sangat variatif bentuknya. Serabut dan akar bambu menjadi inspirasi tersendiri bagi Joko.

Pilihan usaha kerajinan bonggol bambu itu muncul secara tidak sengaja. Bapak dari empat anak itu sebelumnya bekerja di perusahaan penjualan otomotif. ”Suatu kali saya melihat bonggol bambu di pinggir Kali Metro, Malang. Saya lihat-lihat bentuknya kok seperti scorpion,” kata Joko.

Dari bonggol itu ia kemudian membuat rancangan produk kerajinan dan menjualnya ke perusahaan pembuat kerajinan. Ternyata, desain produk bikinan Joko itu laku dijual. Terpikir olehnya kemudian untuk memproduksi sendiri produk kerajinan berbahan limbah bambu. ”Orang lain saja bisa menjual desain yang saya buat, masak saya enggak bisa,” kata Joko mengenang.

Maka, sejak tahun 2000 Joko memberanikan diri keluar dari pekerjaan lama sebagai manajer cabang perusahaan travel. Kini usahanya melibatkan keluarga. Istrinya, Catur Widiati, berperan sebagai manajer keuangan, sementara anaknya, Intan, menangani pemasaran. Ternyata limbah menjadi berkah bagi Joko dan orang-orang yang terlibat dalam produksi kerajinan. (XAR; http://travel.kompas.com/read/2015/07/28/121900327/Limbah.Bambu.Pembawa.Berkah?page=all)-FatchurR

———–

Tulisan Lainnya :

Exit mobile version