Petani harus memanfaatkan potensi lahan dan tanaman di ladangnya. Potensi itu diubah jadi sumber penghasilan, sumber uang, dan sumber lapangan pekerjaan. Salah satunya, petani kopi harus menanami lahannya dengan tanaman muda [sayuran dan buah-buahan].
Misalnya, kopi adalah sumber penghasilan tahunan, sedangkan tanaman muda menjadi sumber penghasilan harian [bulanan].
“Petani kopi harus jadi pengusaha tani,” kata Rafiuddin Palinrungi dari Ford Foundation, 21/10/2015, saat menjadi panelis bersama Wisman Djaja dari Nestle pada acara workshop From Farms to Cups di JIEXPO Kemayoran Jakarta.
Dalam acara yang didukung oleh Sustainable Coffee Platform of Indonesia [SCOPI] berkembang isu “masih rendahnya produktivitas kopi di Indonesia”.
Rata2 petani kopi di Indonesia baru mampu menghasilkan green bean [biji kopi kering] ± 700 Kg lebih per hektar/tahun. Bila harga kopi [arabika] di tingkat petani Rp 50 ribu/Kg, maka penghasilan setahun Rp 35 juta. Ini artinya, petani kopi hanya memperoleh penghasilan sekitar Rp 2,9 juta per bulan.
Dengan penghasilan itu, dikhawatirkan tidak mampu menutupi biaya produksi dan biaya hidup petani. Pada gilirannya, profesi petani kopi dirasakan tidak menjanjikan hidup yang lebih layak. Lama-kelamaan, mereka akan meninggalkan profesi itu, dan beralih ke sektor non formal lainnya.
Faktanya, anak petani kopi jarang melanjutkan usaha orang tuanya, mereka lebih memilih bekerja di sektor formal. Dampaknya apa? Satu saat pasokan bahan baku industri kopi nasional akan terganggu, ujung-ujungnya industri perkopian akan tutup.
Sekarang, apa yang harus dilakukan? Petani [termasuk anaknya dan orang lain] harus didorong untuk menyenangi profesi petani kopi. Kuncinya, penghasilan dari usaha budidaya kopi harus lebih besar dari penghasilan buruh atau PNS. Caranya banyak, salah satunya seperti ditawarkan oleh Rafiuddin Palinrungi, petani kopi harus menjadi pengusaha tani.
Siapkah petani kopi menjadi pengusaha tani? Alex Mendez, salah satu pengusaha sukses di Amerika Latin [Tempodotco, 31/12/2014] mengatakan: Maka bila ada jenis pertanyaan “berapa banyak uang yang dibutuhkan?” Itu tandanya Anda salah satu yang belum siap menjadi pengusaha.
Belum ada uang untuk modal usaha, itu jawaban klasik saat ditawarkan mengambil posisi sebagai pengusaha tani. Makanya petani kopi cenderung monokultur, hanya menanam kopi. Alasannya, perawatan mudah, dapat dilakukan seminggu sekali. Mereka bisa “nyambi” sebagai buruh bangunan. Padahal, lahan itu adalah “dolar” atau modal utama untuk menjadi pengusaha tani.
Pengusaha tani harus mengoptimalkan pemanfaatan lahan. Saat proses itu dimulai, sama dengan mulai menggerakkan modal yang sudah ada. Modal itu akan mengalirkan uang, hasilnya bisa 3 atau 4x lipat dari penghasilan sebelumnya.
Syaratnya, mereka bekerja layaknya pengusaha sungguhan, dengan jam kerja sekitar 8 jam sehari. Selain merawat dan memupuk tanaman kopi, apa saja yang dapat dilakukan oleh seorang pengusaha tani?
Lahan kosong di antara tanaman kopi ditanami dengan tanaman muda [sayuran dan buah-buahan]. Misalnya, ditanami dengan kacang buncis, kacang panjang, cabe, terong ungu, atau buah-buahan. Seperti markisah, buahnya menghasilkan uang, batangnya dapat menjadi tanaman pelindung.
Caranya, naikkan batang markisah ke atas pohon pelindung, lalu antar pohon pelindung diikatkan kawat. Nanti, pohon markisah akan menjalar di atas kawat itu. Ketika itu, tanaman markisah akan berfungsi sebagai pelindung tanaman kopi
Bayangkan, setiap hari seorang pengusaha tani menjual kacang buncis, kacang panjang, terong ungu dan buah markisah. Dari inilah penghasilan harian atau bulanan seorang pengusaha tani. Pemasarannya bisa saja terkendala, perlu simbiosis mutualistis yaitu sokongan pemasaran oleh koperasi atau perusahaan [industri] pembeli kopi.
Dengan demikian, biaya hidup seorang pengusaha tani tidak sepenuhnya tergantung kepada produksi kopi. Malah, hasil penjualan kopi akan dijadikan sebagai penghasilan tahunan, bahkan menjadi tabungan pensiun.
Kemudian, kehadiran pengusaha tani secara full time ke ladang kopi akan berdampak kepada produksi. Bukan mustahil, produksi kopi dapat ditingkatkan menjadi 2 ton per hektar/tahun, sehingga diperoleh penghasilan Rp 100 juta/HA/tahun. Apa langkahnya? Ini tips dari Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo [MPKG] untuk Indikasi Geografis [IG] Kopi Gayo:
1] Pilih bibit dari varietas yang sesuai dan berkualitas.
2] Tanam bibit pada lahan dan waktu yang sesuai, dan olah lahan dengan benar.
3] Cegah dan kendalikan hama dan penyakit.
4] Beri pupuk secara teratur (buat rorak) sambil membuang gulma (masukkan gulma kedalam rorak).
5] Tanam pohon naungan dengan merata. Idealnya sebanyak 30% dari jumlah pohon kopi yang ada.
6] Buang cabang kopi yang tak perlu dan lakukan pemangkasan dengan benar.
7] Petik buah kopi yang masak, kupas dengan benar dan jemur di tempat yang tepat. (Syukri Muhammad Syukri; http://www.kompasiana.com/muhammadsyukri/pengusaha-tani-dapat-raih-rp-100-juta-per-tahun-hektar_562d637c6e7e611c0511ab58)-FatchurR