(Mengulang dikit), Tiba-tiba-menurut resepsionis ada orang Perumtel mencari kami. Bocoran: ini kejutan ketiga yang kami hadapi hari itu. “Mas, tidak boleh tidur di hotel. Sudah disediakan tempat di Tanah Lapang Kecil”.
“Lho, tapi bagaimana ini kami sudah masuk. Sudah check in. Bahkan sudah minum teh?”.
“Tidak apa. Saya sudah bicara sama pemiliknya. Tidak perlu bayar”.
Kami berenam berembug. Salah seorang nyeletuk, kita kan bayar pakai uang sendiri, kenapa tidak boleh tidur di hotel, meski hanya semalam?
Tapi sang tamu yang ternyata adalah petugas UKH DTEL XI tersebut bisa menjelaskan semua pertanyaan – detilnya saya lupa – tapi intinya: Karyawan rendahan aja gaya, tidur di hotel. Mbok uangnya dipakai untuk yang lebih perlu. Iya sih.
———–
Kemudian koper kami rapikan lagi. Terus diantar tamu tadi, ke satu rumah dinas di Tanah Lapang Kecil.
++
Kami masuk ke rumah di Tanah Lapang Kecil ± jam 5 sore. Yang dimaksud “Tanah Lapang Kecil” bukanlah lapangan atau sejenis itu. Ini nama jalan. Jalan Tanah Lapang Kecil. Di jalan itulah terletak Kantor WITEL XI Maluku. Kantor ini cukup luas dan lebar. Tapi ke belakangnya lebih panjang lagi. Kantor ini menghadap ke arah utara. Hanya saya lupa, apakah benar-benar menghadap utara atau tidak.
Saya tidak ingat, karena saat di Ambon – orang tidak pernah bicara utara – selatan. Orang Ambon – dalam soal arah – hanya bicara: #kalao (ke arah laut) atau #kadara (ke arah darat). Ingat kan.
Untuk gampangnya berceritera, anggap aja Kantor WITEL XI Maluku ini menghadap ke utara. Di depan kantor ada halaman dan taman yang cukup luas. Kantor nya memanjang ke belakang.
Di bagian depan sisi kanan ada rumah dinas. Saat itu (tahun 1976) ditempati KTU Kandapon Ambon. Namanya lupa. Sedangkan di bagian depan sisi kiri ada rumah juga. Nah rumah ini – saat itu ditempati pak Kawitel, pak Nurhadi Bc.T.T.
Di kemudian hari, saya mengalami “pemerintahan” 4 Kawitel, yaitu: pak Nurhadi Bc.TT; pak Desemsi Bc.TT, pak Muriadi Bc.TT, dan pak Ignatius Suyadi Bc.TT. Makanya kalau saya bergelar Bc.TT saya tidak bisa jadi Kawitel XI, karena namanya tidak berakhiran huruf “i”,
Di samping #kanan kantor, juga berderet ke belakang bangunan memanjang, yang dipakai bagian kendaraan plus garasi mobil dinas. Sebagian juga ada bagian lainnya. Kalau tidak salah Keuangan juga di sayap ini. Sedangkan di samping #kiri kantor, juga berderet ke belakang, sekitar 7-8 rumah.
Saya lupa persis jumlahnya.
Ini adalah deretan rumah dinas yang dipakai para karyawan yang berhak. Ya, yang berhak.
Saat itu yang tinggal di rumah ini umumnya para Kaur WITEL, Kasi WITEL atau para Kadin Kantor Daerah.
Untuk gampangnya – sebut saja ini rumah dinas para Kaur WITEL.
Di belakang rumah dinas para Kaur WITEL ini ada deretan rumah dinas. Tetapi menghadapnya berlawanan. Jadi menghadap ke arah luar. Dan di luarnya langsung ada jalan. Jadi deretan rumah ini menghadap jalan. Tapi ada pintu penghubung masuk ke arah kantor.
Deretan rumah ini juga ditinggali para Kaur WITEL, dan Kadin Kantor Daerah. Termasuk pak Hadi Supeno tinggal di daerah ini. Di depannya adalah kampus STT GPM – singkatan dari Sekolah Tinggi Theologia – Gereja Protestan Maluku.
Nah, saya diantar di salah satu rumah dinas di deretan yang sejajar dengan rumah pak Hadi Supeno ini. Jumlah rumah juga sekitar 7 atau 8 rumah. Pastinya berapa rumah, saya lupa.
++
Begitu masuk rumah, saya lihat rumahnya bagus. Kelihatan dan terasa baru direnovasi. Bau cat nya terasa. Coba Bapak/Ibu bayangkan. Pertama masuk, tentu saja ruang tamu. Ruang tamunya cukup lebar. Tidak ada meja kursi. Tidak ada sofa. Kosong melompong. Kami masuk kamar mandi. Kenapa masuk kamar mandi? Soalnya sudah nahan dari tadi. Pingin pipis. Kamar mandinya bersih. Bagus.
Dilanjutkan masuk ke kamar tidur depan, saya lihat cukup lebar. Jendela nya juga lebar. Tapi tidak ada tempat tidurnya. Sehingga kami membayangkan, oh, mungkin tempat tidur ada di tempat tidur yang belakang. Jadi kami lanjutkan ngecek, seperti kalau mau beli rumah, atau mau nyewa rumah.
Di dua kamar belakangnya, juga ternyata tidak ada apa-apanya. Tidak ada tempat tidurnya.
Jadi kami harus tidur di mana..?
Padahal kami sudah pingin leyeh-leyeh, setelah tegang dan terkaget-kaget seharian. Oh ya, pembaca kan bacanya ini masuk hari ketiga. Ceritera dari awal sampai nomor urut 3 ini, semua terjadi masih di hari yang sama, tanggal 9/11/1976. Tulisan ini memperingati hari bersejarah – tanggal 9/11. Jadi kami sudah capek fisik, capek psikis dan capek emosi. Semua terjadi dalam sehari. Padahal untuk mendongengkan, 3 hari aja belum selesai. Tidak usah protes ya pak/bu.
Mendapati kondisi itu, kami jadi ingat kamar yang ada di Hotel Abdul Alie. Kami membayangkan: seandainya. Ya seandainya di depan kami ada kasur, pasti kami sudah langsug rebahan di atasnya..
Tapi yang ada di sini hanya lantai, dan lantai. Mau tanya: ini maksudnya bagaimana – dijemput dari hotel diantar ke rumah kosong? Disuruh tidur di mana?
Kami pingin tanyakan itu, dengan emosi, ke staf UKH – tapi orangnya sudah tidak ada. Nggak tau kemana beliau. Kami ditinggal begitu saja. Nggak ada ba bi bu nya. Mohon maaf, kalau beliau itu adalah Bapak – ya mungkin saja sekarang Bapak sudah pensiun dan aktif di ILP – kami/khususnya saya tidak dendam lho pak. Ini kan hanya ceritera suasana hati – saat itu. Suasana kebatinan yang ada #duk_rikolo_semono..
++
Kami maklum. Saat itu, peraturan yang berlaku di Perumtel adalah, yang berhak tinggal di rumah dinas adalah yang berpangkat II/C ke atas. Meski begitu, yang berpangkat II/A ke atas, berhak mendapatkan BPFP (biaya pengganti fasilitas perumahan). Karyawan I/C, meski ada tambahan embel2nya, I/C1 – karena melewati proses pendidikan setahun, tetap tidak berhak rumah dinas dan BPFP.
Waktu itu belum ada BBP. Jadi untuk kami tidak berhak fasilitas “rumah” (rumah dinas, BPFP dan BBP. Sehingga dikasih rumah) itu sesuatu kemewahan untuk kami. Apa yang akan kami dapatkan – sebagai karyawan berpangkat I/C yang tidak berhak semua itu, tetapi seharusnya – lagi-lagi menurut aturan saat itu, seharusnya kami tidak dimutasikan antar WITEL.
Sesuai aturan, kami harusnya ditempatkan di WITEL kami mendaftar (WITEL VII). Yang berarti harusnya penempatan kami sesuai aturan yang berlaku di Jatim-meski kami telah membuat pernyataan “bersedia di tempatkan di mana saja, di seluruh wilayah RI”. Kalau ditempatkan di Jatim, meski tidak memperoleh rumah dinas, BPFP maupun BBP, di luaran banyak tempat kos. Tinggal milih, sesuai dana yang tersedia.
Tapi di Ambon..? Di kota ini – saat itu, hampir tidak ada orang yang menyewakan kamar kos.
Kalau penyewaan rumah – saat itu sudah ada. Meski tidak banyak. Hanya ada satu dua. Bahkan banyak karyawan II/A ke atas, yang memperoleh BPFP, dengan dana yang ada, dapat rumahnya adalah rumah yang berdinding batang pohon gaba-gaba, dan beratap rumbia. Itupun harganya mahal sekali.
Saat itu – di tahun 1976 – index BPFP untuk Ambon juga masih setara dengan Jawa. Beda dengan di Kalimantan yang index nya tinggi. Padahal harga sewa rumah lebih tinggi daripada Balikpapan.
Itupun kalau ada yang menyewakan…
Dengan catatan, beberapa tahun kemudian – karena banyak karyawan Perumtel yang berdatangan ke Ambon – perlahan, mulai banyak orang membangun rumah khusus untuk disewakan – dan atau membuat kos2an. Gara2 Telkom. Ya, Telkom telah ikut menyumbangkan peran – ekonomi mengalir.
Demand dan supply rumah sewa dan kos, bergerak dinamis..
Jadi, kalau kemudian kami diberikan rumah – meski kosong kayak gini, ini sudah sesuatu banget..
Hanya – dalam hati – #mbokyao…
++
Untungnya. Ya – untungnya, beberapa diantara kami membawa koran. Koran ini rencananya adalah supaya di malam hari – bisa kami baca. Tapi saat itu, karena capek, koran itu kami gelar di lantai – untuk leyeh2. Sambil berunding. Mau tidur di mana kita..? Ada yang usul – kita kembali ke Hotel Abdul Alie saja. Kita tidur di sana. Paling tidak, hanya untuk malam ini.
Ada juga yang usul, biarkan barang2 ditaruh di rumah ini, kita tidur di masjid saja. Kita cari masjid. Kalau di masjid kan biasanya ada karpetnya… Namanya orang banyak. Ya – banyak pendapat. Banyak itu artinya lebih dari satu. Diskusi setengah jam, tetap belum ada titik temu. Teman kami yang biasa merokok, pamit mau beli rokok di tukang rokok depan rumah.
Kami mengira itu hanya alasan dari kejenuhan diskusi yang tak segera mendapatkan kesepakatan.
Tapi rupanya – sepulang dari tukang rokok, teman ini membawa berita segar, dan membawa satu alternative lagi. Katanya, kenapa tidak kita beli tikar saja.. Di mana belinya?
“Di pasar – saya sudah tanya tempatnya”.
Cukup naik angkutan kota (angkot) satu kali, sudah sampai pasar. Di sana, biasanya ada yang jual tikar.
Keputusan akhir:
1. Coba ke masjid Besar dulu – yang ada di kota. Kalau memungkinkan kita tidur di sana
2. Kalau tidak memungkinkan, baru beli tikar – tidur di rumah dinas Tanah Lapang Kecil.
++
Sehabis Sholat Mahgrib, kami mulai jalan. Naik angkot. Ya, saat itu di Ambon sudah ada angkot.
Mobilnya sebagian pakai minibus colt Mitsubishi. Tempat duduk di belakangnya menghadap ke samping.
Sebagian besar angkotnya full music. Katanya kalau tidak ada musikya kurang laku.
Di kota lain di Jawa, kalau di Surabaya saat itu sudah ada Bemo untuk angkotnya. Di Jogya malah belum ada angkot sama sekali. Adanya becak. Beberapa tahun kemudian baru muncul istilah “Colt Campus”.
Nah, kami naik angkot itu ke masjid lebih dahulu. Ke masjid besar. Kami observasi – untuk menentukan kelayakan tidur.
Sayang, di masjid itu lantainya memang bagus, marmer. Tapi tidak ada sajadahnya. Dingin.
Jadi, action plan berikutnya adalah: beli tikar ke pasar. Oh ya, sudah waktunya makan malam.
Kami masuk warung makan yang ada di pasar, sebelum cari tikar.
“Mau makan apa Mas…?”
“Yang ada apa aja Ibu.?”
“Adanya hanya 2 macam. Nasi Ikan sama Nasi Telur”
Ternyata di dinding ada papan tulis yang berisi daftar menu itu. Tertulis:
Nasi Ikan Rp 125
Nasi Telor Rp 200
(Ini kondisi tahun 1976 ya…)
++
Singkat cerita, kami sudah berhasil dapat tikar – setelah keliling Pasar, dan tanya ke sana kemari. Lha sudah malam, banyak yang sudah tutup. Mau pulang naik angkot, ternyata angkot sudah tidak ada lagi.
Sudah terlalu malam – untuk ukuran jam kerja Angkot. Keputusan: jalan kaki – sambil membawa 2 tikar.
Sambil hatinya mbrebes mili. Tapi fisik kami ketawa-ketawa. (Agus Suryomo)-FR Bersambung………………